Kamis, 24 November 2016

[ TRANSLATE ] Biblia Vol 2 Chapter 2 : Fukuda, Sadaichi. Kumpulan kalimat-kalimat bijaksana tentang seorang karyawan. June Paperback -6






  "Aku harusnya menyadari itu sejak lama."

  Setelah kita meninggalkan rumah keluarga Kousaka, Shinokawa mengatakan penyesalannya.

  "Sebenarnya, request yang masuk ke toko kita bulan lalu itu adalah sebuah tes."

  "Sebuah tes?"

  "Itu adalah sebuah tes untuk mengetahui seberapa besar pengetahuan karyawan Toko Biblia tentang buku-buku tua. Karena kau lulus tes tersebut, dia membuat request agar toko kita membeli koleksi buku-buku perpustakaannya."

  "Huh? Tapi aku sendiri tidak punya pengetahuan yang baik soal buku-buku."

  "Benar. Apa yang ayah Kousaka cari adalah orang yang tidak berpengalaman dengan buku-buku tua. Dia berencana untuk membuatmu datang sendirian agar bisa menyelesaikan semuanya sebelum aku keluar dari Rumah Sakit."

  Kalau diingat kembali, orang yang menelepon itu memang pernah bertanya kepadaku apakah aku satu-satunya orang yang ada di toko saat itu."

  Akiho memberitahu gosip yang tidak bertanggungjawab dari Sawamoto ke ayahnya tanpa mengetahui kalau Shinokawa sudah keluar dari Rumah Sakit. Pertanyaan tersebut kemungkinan besar untuk memeriksa apakah benar hanya diriku yang ada di Toko Buku Biblia waktu itu.

  "Tapi mengapa dia harus melakukan itu...?"

  "Coba ingat-ingat kembali apa instruksi yang diberikan kepada Akiho. Perintahnya adalah mengundang kita datang ke perpustakaan, lalu kita diperbolehkan membeli buku-buku yang sudah dinilai. Buku-buku yang tidak bisa dinilai, tidak akan kita bawa. Tapi, buku-buku semacam itu pasti harus dibawa keluar dari rumah...Jika instruksinya diikuti dengan benar, menurutmu apa yang akan terjadi?"

  Aku berpikir sejenak sambil mengemudikan mobil kami. Mobil van kami sedang naik di tanjakan Bukit Hase dan baru saja keluar dari terowongan  yang berhiaskan dedaunan dengan warna-warna musim gugur.

  "Akiho pasti harus membawa buku-buku yang tidak bisa kita nilai."

  Dia memang pernah bilang kalau dirinya berniat untuk membawa kardus buku-buku yang tidak bisa dinilai itu ke rumahnya. Kalau tidak karena saran dari Shinokawa, dia pastinya langsung akan melakukan hal itu.

  "Akan sangat lumrah jika seorang amatir melakukan kesalahan. Ada peluang yang sangat besar kalau kau akan salah memberi penilaian tentang harganya. Ayah Kousaka berencana untuk memberikan buku-buku tertentu kepada putrinya."

  Dengan kata lain, ini adalah sebuah hadiah yang diberikan dengan cara yang rumit.

  "Dengan kata lain, yang hendak diberikan adalah sebuah buku yang harusnya seharga ratusan ribu Yen?"

  "Benar...Meski sulit untuk menjamin kalau buku itu saat ini akan seharga ratusan ribu Yen. Mungkin jika kondisi bukunya lebih baik, harganya bisa lebih dari ratusan ribu Yen."

  "Kalau begitu, bukankah lebih baik jika memberikannya secara langsung daripada menyiapkan metode yang rumit seperti ini.? Ditambah lagi, bukankah mereka berdua bertemu secara langsung bulan lalu?"

  "Mungkin ada kemungkinan kalau ada seseorang yang mendengarkan percakapan mereka? Jika itu terjadi dan Akiho menerima buku langka dari ayahnya, maka saudaranya yang lain akan..."

  "Ah..."

  Ini mengingatkanku kembali dengan wanita yang berkimono tadi   kakak Akiho yang mengatakan kalau dia punya pendengaran yang baik. Alasan Akiho tidak memiliki hubungan yang baik dengan kerabatnya dan menjadi target kebencian mereka kemungkinan besar karena masalah uang dan harta gono-gini.

  "Mungkin ada alasan lainnya juga...Tapi entah apa itu, sepertinya sesuatu yang aku lewatkan. Sepertinya, aku menaruh buku yang diduga langka itu di bagian buku-buku yang tidak bisa dinilai. Aku memang melihatnya untuk sejenak, tapi aku sendiri tidak bisa mengingatnya dengan baik...Kurasa ini akan memakan waktu yang lama."

  Dia lalu terlihat seperti berusaha menekan kedua bibirnya. Ini adalah pertamakalinya aku melihat dirinya memasang ekspresi frustasi. Ternyata, dia juga bisa begitu ya.

  Mobil van kami kini melewati jembatan Monorail. Kami hampir tiba di tujuan kami, tapi jika Akiho sudah menjual buku-buku itu, akan sangat sulit untuk mendapatkannya kembali. Bisa mendapatkannya kembali atau tidak, kurasa ini sudah kupasrahkan kepada keberuntungan kami.

  "...Tapi ayah Akiho sendiri yang membuat buku itu seperti sesuatu yang sulit untuk ditemukan, benar tidak?"

  Aku mengatakan itu tanpa mengalihkan pandanganku dari jalanan. Aku teringat dengan nenekku, Goura Kinuko, yang memiliki sebuah rahasia yang tidak bisa dia ceritakan ke siapapun dan rahasia itu berada dalam buku Karya Lengkap Souseki.

  "Shinokawa, ini bukan tentang masalah dirimu yang tidak mampu untuk memecahkannya. Sejak awal, ini tentang rahasia seseorang   orang ini sejak awal memang mendesain peristiwa ini agar tidak bisa diungkap dengan mudah."

  Kesunyian melanda mobil kami. Aku merasa ada seseorang sedang menatapku dari samping dan akupun menoleh ke arahnya. Kedua matanya terbuka lebar dan dia seperti hendak meneteskan air matanya. Shinokawa menatap ke arahku. Sepertinya, dia tergerak oleh kata-kataku. Sebenarnya, aku tidak punya niatan apapun ketika mengatakan kata-kata itu.

  Tatapannya yang seperti itu, yang membuatku merasa tidak tenang, dan situasi ini benar-benar memalukan. Akupun lalu pura-pura batuk.

  "Jadi, buku yang semacam apa yang sedang kita kejar ini?"

  Papan nama Toko Buku mulai terlihat. Akupun melambatkan laju mobil van kami.

  "Sebenarnya, dalam kotak-kotak buku itu..."

  Ketika Shinokawa hendak berbicara, ada sebuah pemandangan di toko tersebut yang menarik perhatianku. Ada seorang wanita yang memakai mantel hijau natural dan terlihat sangat familiar baru keluar dari toko. Sepertinya, dia baru saja membeli sebuah minuman. Setelah menutup botol minumannya, dia mulai berjalan ke arah mobilnya.

  Kebetulan, tidak ada mobil di belakang kami, dan mobil yang ada di jalur seberang masih terlihat berada di kejauhan. Kunyalakan lampu tanda berbelok dan parkir di dekat toko tersebut. Kumatikan mesinnya dan langsung keluar dari mobil.

  Akiho tampak hendak memasukkan kunci mobilnya yang berwarna merah ke pintu mobilnya.

  "Akiho!"

  Aku berteriak sekeras yang kubisa.

  Kedua matanya tampak terbuka lebar.

  "Daisuke...Dan Ibu Pemilik Toko. Ada apa?"

  "Apa habis dari toko buku itu?"

  "Huh? Yeah, aku baru saja dari sana. Aku sendiri hendak kembali ke Tokyo."
  
  Meski kami sudah berusaha secepat mungkin, tampaknya kami sudahterlambat. Dengan lemah, aku menaruh tanganku di atas mobilnya. Seandainya saja kita kami datang lima menit lebih awal   

  "Hmm?"

  Aku melihat jendela penumpang mobilnya. Ada sebuah kotak kardus terbuka yang cukup besar disana. Didalamnya, terdapat tumpukan buku-buku tua yang sudah dikemas.

  "Kenapa buku-buku itu masih disana?"

  "Oh, itu," Akiho lalu menaikkan bahunya.

  "Aku tadi sempat membawa kardus itu ke dalam Toko Buku, tapi aku berubah pikiran. Mengesampingkan hal-hal lainnya,  buku-buku ini tetaplah kenang-kenangan dari ayahku...Kurasa tidak masalah jika aku menyimpan buku-buku ini di ruangan rumahku untuk sementara.

  Secara spontan, akupun bernapas lega. Mungkin saja ayah Akiho sudah menduga kalau putrinya akan melakukan ini. Putrinya tidak akan tega membuang buku-buku itu dengan mudahnya setelah diwariskan kepadanya.

  "Maaf, apakah tidak apa-apa jika aku melihat sekali lagi buku-buku yang ada di kardus itu?"

  Shinokawa yang baru saja keluar dari van, berbicara.

  "Sebenarnya aku sendiri tidak keberatan...Tapi memangnya apa ada sesuatu?" tanya Akiho.

  Shinokawa lalu menaruh kardus itu di atas aspal tempat parkir, dan diapun duduk di kursi penumpang. Sambil memeriksa satu-persatu buku yang ada disana, aku menjelaskan situasinya ke Akiho. Aku memberitahunya kalau ada buku yang berharga disana dan buku itu harusnya diberikan kepadanya. Kami datang kesini untuk mencegahnya menjual buku-buku itu ke toko.

  "...Tapi rasanya sulit dipercaya kalau ayahku akan melakukan sejauh ini hanya untuk memastikan kalau aku mendapatkan buku mahal tersebut." Akiho lalu memasang ekspresi penasaran di wajahnya.

  "Katamu, dia tidak mengatakan apapun kepadamu ketika kau berbicara kepadanya bulan lalu...Jika seandainya itu benar, bukankah setidaknya dia memberimu petunjuk tentang apa yang sedang dia rencanakan?"

  Mungkin ini aneh. Kalau ayahnya ingin memberitahuku, dia harusnya bisa memberitahuku petunjuknya. Bisa jadi ini memang sifatnya yang suka memberikan sesuatu dengan cara-cara yang seperti ini.

  "Kurasa, ada orang-orang yang tidak suka memberitahu apa yang sedang mereka pikirkan, kurasa begitu."

  Akiho memasang ekspresi suram.

  "Kurasa, akupun termasuk dalam kategori orang itu."

  "Oh bukan maksudku hendak mengatakan itu, maafkan aku."

  "Itu bukan sesuatu dimana kau harus meminta maaf."

  "...Umm, ini dia."

  Mendengar suara Shinokawa, kami lalu berkumpul di sekitar kotak kardus tersebut. Dia menunjuk ke arah sebuah buku yang cukup tipis. Buku itu sendiri kondisinya seperti sudah sering dibaca dan terlihat tua. Sampulnya yang berwarna orange dan hitam tampak memudar, dan setiap sudut bukunya tampak berbagai kerusakan.

  Judulnya adalah kumpulan kalimat-kalimat bijaksana tentang seorang karyawan. Disitu tertulis "Analect Humor" dan penulisnya adalah Fukuda Sadaichi   nama yang belum pernah kudengar sebelumnya.

  "Apa benar-benar buku yang ini?" entah mengapa aku tampak kecewa.

  Kalau dari judul yang tertulis di sampulnya, ini adalah buku bacaan untuk para karyawan. Kau tidak akan mengira kalau buku ini adalah buku yang mahal.

  "Ya, tidak salah lagi. Ini adalah buku yang ayah Kousaka hendak beri kepadanya." Shinokawa mengatakannya dengan nada yang meyakinkan.

  Karena Akiho tidak berusaha untuk mengambil buku itu, maka aku berinisiatif untuk mengambil buku tersebut dari Shinokawa dan melihatnya. Seperti yang tertulis di judulnya, sepertinya ini adalah kumpulan kata-kata bijak yang ditulis seperti sebuah essay.

  Ada beberapa kata-kata bijak yang berasal dari Tokugawa Ieyasu sebelum meninggal. Ada juga yang berasal dari Goethe, dan juga beberapa kata-kata bijak dari Barat. Jujur saja, aku merasa kalau caranya menggabungkan kalimat-kalimat ini terlihat kurang baik.

  Kubuka halaman awal buku ini, dan melihat apa yang tertulis disana.

  

  Meski aku menyebut ini sebagai Analect untuk Karyawan, aku berani mengatakan kalau orang-orang di era Showa akan melihat ini sebagai tantangan kepada Confucius. Perbedaan antara Confucius dan karyawan rendahan ini seperti bintang di langit dengan cacing tanah yang berada di bumi.



  Meski dia sedang menulis bukunya sendiri, sepertinya dia menganggap dirinya sendiri serendah itu. Mungkin, si penulis buku ini adalah benar-benar karyawan biasa.

  "Kenapa buku ini bisa disebut sebagai buku langka?" aku masih belum paham mengapa buku ini bisa semahal itu.

  "Fukuda Sadaichi sebenarnya adalah nama asli dari Shiba Ryoutarou."

  "Eh?"

  Shinokawa lalu melanjutkan kata-katanya tanpa mempedulikan kami yang sedang terkejut.

  "Ini terbitan tahun 1955, setahun sebelum dia menjalani debut sebagai penulis novel. Sebelum itu, dia bekerja di sebuah perusahaan penerbitan koran sebagai seorang karyawan. Seperti Swine and Roses, buku ini tidak pernah dikategorikan sebagai Karya Lengkap dari Shiba Ryoutarou.

  Tiba-tiba aku melihat buku yang tipis ini dengan sudut pandang yang berbeda.

  Orang yang menyebut dirinya sebagai karyawan rendahan ini, menjadi seorang penulis terkenal yang karyanya dibaca oleh banyak orang, bahkan setelah kematiannya. Waktu itu, bahkan Shiba Ryoutarou sendiri tidak bisa membayangkan kalau dia akan bisa sesukses ini.

  "Mungkin si penulis tidak menganggap ini sebagai hasil karya yang memuaskan. Meski begitu, buku ini dibaca oleh banyak orang. Ada beberapa kali cetak ulang setelah buku ini terbit, dan pernah dicetak ulang dua kali dengan judul yang berbeda."

  Shinokawa dengan lancar mulai menjelaskan apa yang dia tahu tentang buku ini. Sepertinya, dia kembali ke dirinya yang dulu.

  "Shiba Ryoutarou sendiri tidak benar-benar menulis pengalaman hidupnya dalam karya-karyanya. Pengecualian ada di buku ini, ada sekitar 20 cerita tentang kehidupannya yang dia tulis dalam gaya essay. Dalam masa-masa awal setelah usainya perang, Fukuda Sadaichi yang  selesai menjalankan wajib militernya mulai bekerja di perusahaan penerbitan koran dan banyak mengalami kesulitan. Itu adalah sesuatu dimana hanya pembaca yang pernah menjadi saksi hidup di jaman itu saja yang bisa merasakan apa yang terjadi. Ayah dari Kousaka sendiri adalah satu dari sekian orang-orang tersebut."

  Akiho lalu mengambil buku Kumpulan kalimat-kalimat bijaksana itu dan melihatnya dari dekat.

  "Kau pasti dengan mudah tahu kalau ayah menyukai buku ini hanya dengan melihatnya sekilas."

  Akiho menggumamkan itu sambil mengingat sesuatu.

  "Ketika aku meninggalkan rumah di Kamakura beberapa tahun lalu, aku jarang sekali berbicara dengan ayahku. Dia kadang hanya terus melihat ke arah buku-buku bacaannya, tapi seperti biasanya, dia tidak pernah mengatakan apapun...Tapi mengapa dia memberikan buku ini kepadaku...?"

  Shinokawa merespon pernyataannya dengan membuka halaman buku tersebut. Di akhir halaman buku, ada tulisan yang ditulis tangan oleh Fukuda Sadaichi.

  "Ini buku yang ditandatangani langsung oleh penulisnya...?" gumamku.

  Fakta kalau buku ini ditandatangani langsung oleh penulisnya saja sudah menjelaskan harga buku ini. Yang kita bicarakan ini adalah 200ribu atau 300ribu Yen, tapi tampaknya harganya masih di atas itu.

  "Aku sendiri tidak bisa menjamin apakah ini tulisan aslinya atau tidak. Ini adalah pengalaman pertamaku untuk melihat tulisan tangan yang memasang nama asli pengarangnya. Andaikan itu asli, dan itu ditandatangani setelah dia menjadi penulis, aku penasaran mengapa dia tidak menulis nama penanya. Mungkin tandatangan itu terjadi sebelum dia punya nama pena     atau setidaknya sebelum dia menggunakan nama pena itu dalam karya-karyanya."

  Akupun berpikir sejenak. Kalau begitu...

  "Kalau begitu, bukankah ini artinya ayah Akiho kenal Shiba Ryoutarou sebelum dia menjalani debutnya?"

  "Itu juga yang menjadi kesimpulanku. Katamu, ayahmu dulu pernah bekerja sebagai resepsionis di sebuah galeri seni?"

  Akiho menjawab pertanyaan Shinokawa barusan dengan anggukan.

  "Shiba Ryoutarou...Fukuda Sadaichi kalau tidak salah adalah seorang reporter yang bekerja di bagian kebudayaan di koran Sankei Shimbun. Bukankah wajar bagi dia untuk sering keluar masuk museum dan galeri seni untuk menulis artikel tentang tren di dunia seni? Ada kemungkinan mereka berkenalan disana."

  Aku terdiam seperti orang bodoh saja. Aku merasa pecahan-pecahan cerita itu kini menjadi satu dengan cara-cara yang tidak bisa kubayangkan.

  Shinokawa lalu menyentuh buku Kumpulan kalimat-kalimat bijaksana  yang ada di tangan Akiho.

  "Ayahmu dulu pernah bilang kalau buku-buku karya Shiba Ryoutarou itu seperti semacam jimat, benar tidak? Shiba Ryoutarou adalah seseorang yang awalnya menjadi karyawan rendahan dan akhirnya menjadi penulis terkenal. Bagi ayahmu yang dulunya bekerja dengan keras, masuk akal jika ini dianggap sebagai semacam jimat. Dia ingin buku ini menjadi jimat untukmu juga, kupikir seperti itu."

  "...Padahal dia selalu menentang keinginanku untuk bekerja..." Akiho mengatakannya dengan nada yang terkejut.

  "Bukankah itu alasan yang sangat masuk akal jika ayahmu berpikir kalau dirimu sangat membutuhkan jimat ini?"

  Shinokawa lalu mengeluarkan secarik kertas yang terlipat, dan menaruhnya di tangan Akiho.

  "Kertas ini jatuh dari kotak kardus itu. Kupikir itu berasal dari buku ini."

  Hanya secarik kertas kecil.

  Sambil memegangi buku itu, Akiho secara perlahan membuka kertas tersebut.



  Untuk Akiho

  -Ayah



  Kertas ini hanya memiliki kata-kata tersebut; tidak ada hal lain yang tertulis disana.

  "...Hanya itu saja?"

  Aku membisikkan itu ke Shinokawa dan diapun mengangguk. Tulisan itu bahkan jauh lebih kusam dari kertas bekas fax yang pernah dikirimkan ke toko kami, dan tulisannya terkesan lemah. Dia pasti sudah tidak punya tenaga lagi yang tersisa untuk menulis lebih jauh.

  Akiho lalu melipat kertas itu dan menaruhnya diantara halaman buku itu.

  "Aku ini...Tidak pernah bisa akrab dengan ayahku."

  Akiho menggumamkan itu sambil melihat ke arah langit yang tak berawan.

  "Aku ini arogan, dingin, dan sulit untuk didekati. Bahkan ketika kita punya momen untuk saling melihat satu sama lain...Aku sendiri tidak tahu harus mengatakan apa. Dia selalu mengatakan hal yang sama kepada saudaraku yang lain, dan obrolan kami akan selalu berakhir dengan debat. Aku yakin kalau ayahku itu juga tidak tahu bagaimana caranya untuk akrab denganku. Kita seperti benar-benar menggambarkan diri kita masing-masing.

  Akiho lalu tersenyum dan menatap Shinokawa.

  "Apa kau tahu alasan yang sebenarnya dari ayahku yang mau membuat rencana yang seperti ini hanya untuk memberikan buku ini kepadaku?"

  "Aku tidak tahu." Setelah berpikir sejenak, Shinokawa menggelengkan kepalanya.

  "Apa yang ingin dia sampaikan kepadaku, apakah tidak masalah memberikan buku ini kepadaku? Dia sendiri tidak pernah menunjukkan perasaannya yang sebenarnya kepadaku...Misalnya surat yang seperti ini..."

  Tiba-tiba, wajah Akiho mulai bermandikan air mata.

  Ini adalah momen dimana aku pertamakalinya melihat dirinya menangis.






x Chapter II Part 6 | END x

   
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar