Kamis, 27 Oktober 2016

[ TRANSLATE ] Biblia Vol 2 Chapter 2 : Fukuda, Sadaichi. Kumpulan kalimat-kalimat bijaksana tentang seorang karyawan. June Paperback -2

x x x





  Sakamoto dan diriku dulunya saling kenal gara-gara posisi nama kami sering berdekatan ketika melihat daftar siswa dalam satu kelas. Itu pula yang membuat kami seringkali duduk berdekatan. Kalau Kousaka Akiho, bisa jadi kursinya dekat denganku, tapi aku tidak begitu ingat soal itu. Dia tiba-tiba bergabung ke diskusi kami tanpa aku sadari.

  Dia memiliki bibir berwarna pucat yang terkesan sensual, sehingga dia terlihat menarik. Dia juga, memiliki nada suara yang bisa menghidupkan suasana. Sikapnya lembut, tapi tegas, dan kadang dia mengatakan sesuatu yang mengejutkan. Dia terlihat lebih dewasa dari gadis-gadis seumurannya.

  Berbeda dengan Sawamoto yang sibuk dengan aktivitas Klub Kendonya, Akiho dan diriku tidak ikut Klub. Meski kita sering mampir ke restoran keluarga yang berada di depan Stasiun Ofune dimana dia biasa bekerja, kami sebenarnya benar-benar mengenal dekat ketika Liburan Musim Panas kelas dua SMA. Kami sering bertemu di perpustakaan dan menyelesaikan PR kita disana.

  Gara-gara Sawamoto yang mulai berpacaran dengan juniornya di Klub Kendo, kami akhirnya sering menghabiskan waktu kami bersama-sama. Kami tidak punya hal-hal yang kami sukai bersama, dan karena kami bukan tipe orang yang suka mengobrol, kami hanya mengisi pembicaraan kami dengan apa yang terjadi di sekolah selama ini. Ketika memasuki musim gugur, kita seperti dua orang yang sulit untuk dipisahkan. Bahkan, gosip tentang kami yang berpacaran sudah menyebar jauh hari sebelum kami mengungkapkan perasaan kami masing-masing. Sebelum musim dingin tiba, gosip itu mulai sampai ke telinga kami. Tidak seperti diriku yang merasa malu-malu dengan gosip itu, Akiho tetap terlihat tenang.

  Dia benar-benar orang yang sulit diduga. Lalu suatu hari, ketika kami sedang berjalan pulang dari sekolah, tiba-tiba dia berkata.

  "Setelah ujian selesai, mau tidak kalau kita mulai berpacaran saja?"

  Waktu itu, kupikir aku sangat terkejut dan tidak bisa mengatakan apapun, akhirnya aku bisa mengatakan sesuatu, dan itu kukatakan dengan terbata-bata. Itu adalah pertamakalinya kami mengatakan perasaan kami.

  Seperti yang kauduga dari pasangan yang sedang belajar untuk ujian, kamipun bersikap seperti itu. Kadang kami jalan-jalan sepulang les dan mampir ke pabrik kosong sambil bergandengan tangan. Tangan dari Akiho lebih kecil dariku, meski begitu aku merasa kalau tangannya lebih hangat dari yang kuduga.

  Musim semi tahun berikutnya, aku akhirnya diterima masuk jurusan ekonomi dari Universitas yang tidak terkenal. Sedang Akiho sendiri diterima masuk jurusan literatur di Universitas Negeri. Tapi, dia malah berakhir di jurusan seni fotografi di Universitas Swasta. Sikapnya yang mengumumkan diri kalau dia harus menjadi fotografer bagaimanapun caranya, membuat diriku dan orang-orang sekitarnya terkejut.

  Memang, kadang dia membawa kamera SLR ketika kami berkencan, dan dia bekerja paruh waktu hanya untuk mengganti lensa kameranya. Meski begitu, aku yakin kalau itu hanyalah sekedar hobinya saja.

  Kupikir, itu adalah awal mulanya aku mulai merasakan keretakan dalam hubungan kami. Mengapa Akiho tidak pernah memberitahuku hal ini? Apa aku ini tidak benar-benar memahami dirinya? Meski begitu, aku senang karena kita akhirnya terbebas dari ujian, dan perasaan tidak nyaman itu tiba-tiba hilang begitu saja.

  Kousaka Akiho tidak begitu suka membicarakan keluarganya. Kedua orangtuanya bercerai dan dia tinggal bersama ayahnya. Dia tidak begitu menyukai ayahnya. Hanya itulah yang kutahu tentangnya, dan itupun aku mendengarnya secara sepotong-sepotong     semacam informasi yang tidak begitu jelas.

  Dia memiliki jam malam yang ketat, dan sangat mengganggu. Bahkan ketika dia bersekolah di Tokyo, dia harus pulang ke Kamakura sebelum jam 8 malam, tidak peduli apapun itu. Kampusnya sendiri ada di daerah Nerima, Tokyp dan butuh tiga jam baginya untuk bolak-balik. Dia tidak punya waktu luang sama sekali selama kuliah.

  Meski dia tidak menyukainya, Akiho masih mematuhinya. Meski begitu, dia pernah pulang terlambat ketika kami pergi berkencan di Motomachi, Yokohama. Kita pergi melihat gereja tua di bukit, dan akhirnya tersesat untuk pulang. Meski sudah terburu-buru untuk naik Kereta Negishi, waktu sudah menunjukkan lewat dari jam 8 malam sesampainya di Kamakura.

  Aku tidak menuruti permintaannya yang memintaku untuk cukup mengantarnya sampai Stasiun, tapi aku memutuskan untuk menemaninya sampai ke rumah. Dia tinggal di kompleks pemukiman yang berada di Onarimachi, dan akupun terkejut melihat sebuah mansion yang dia sebut rumah. Gerbang yang luar biasa besar dan kebun besar bergaya Jepang membuatku terkagum-kagum. Tapi yang membuatku terkejut sebenarnya adalah keluarga yang menunggunya disana.

  Seorang pria tua pendek yang berdiri di atas jalan setapak, sambil menyilangkan lengannya. Rambut pendeknya yang berwarna abu-abu tampak sangat necis, sedang baju tradisional Jepang yang berwarna gelap itu tampak bagus dipakai olehnya. Dia ini, sepertinya ayah dari Akiho, kepala keluarga di rumah ini. Tatapannya terlihat sangat dingin.

  "Senang bertemu dengan anda. Nama saya Goura Daisuke."

  Tentunya, aku tidak datang kesini untuk sekedar mampir dan menyapa. Kubungkukkan tubuh dan kepalaku dengan sangat rendah.

  "Saya tadi tersesat dalam perjalanan pulang bersama Akiho. Saya memohon maaf yang sebesar-besarnya."

  Tidak ada respon apapun.

  Secara perlahan, aku tegakkan kepalaku. Orang tua ini tiba-tiba menggerak-gerakkan dagunya ke arah rumah kepada Akiho. Dia lalu pergi ke arah rumah dan Akiho terburu-buru untuk mengikutinya dari belakang. Aku ditinggalkan begitu saja di gerbang. Aku yakin, kalau malam itu adalah titik balik hubungan kami berdua.

  Tepat sebelum musim hujan tiba, Kousaka Akiho pindah dan hidup sendiri, di suatu tempat yang dekat dengan Tokyo. Fakta kalau dia kini bebas melakukan apapun membuatku senang. Sekarang, tidak ada seorangpun yang bisa menggagalkan kemesraan kita berdua.

  Meski begitu, setelah dia pindah, kami malah jarang bertemu.

  Dia ternyata harus bekerja paruh waktu di beberapa tempat untuk membayar sewa tempat tinggalnya. Di saat yang bersamaan, aku juga masuk ke Klub Judo di Universitas dan menghabiskan mayoritas waktuku untuk fokus mendapatkan sabuk.

  Karena kami mulai sulit untuk bertemu, jarak antara pertemuan selanjutnya mulai terasa semakin lama. Setiap kali kita bertemu, dia tampak seperti orang yang kelelahan dan senyumnya mulai jarang terlihat.

  Jika seandainya dia mau bercerita tentang apa yang membuatnya lelah dan apa saja yang membuatnya tidak bahagia, mungkin kita bisa mengatasinya. Tapi, dia tidak mau menunjukkan kepada orang lain seberapa lemah dirinya. Setiap kali kita pergi berkencan, aku tidak pernah melihatnya meminta saran kepadaku. Akupun juga merasa kalau aku tidak bisa melakukan apapun untuk bisa memahaminya. Seandainya saja kita berdua adalah dua orang anak kecil, mungkin semuanya akan terasa mudah, tapi, dengan situasi sekarang ini, aku tidak tahu harus melakukan apa untuk menjembatani situasi ini.

  Musim panas yang aneh dan tidak bisa melakukan apapun akhirnya telah terlewati, dan SMS yang kuterima darinya mulai berkurang ketika musim dingin tiba. Meski dia tidak mengatakan apapun, aku sendiri yakin kalau hubungan kami berdua sudah berakhir Meski begitu, aku merasa takut melihat diriku yang selama ini berpura-pura kalau semuanya baik-baik saja. Bagi pasangan yang berpacaran sejak SMA dan akhirnya terpisah oleh tempat kuliah yang berbeda     munculnya jarak dan berakhir dengan putus merupakan cerita yang cukup umum.

  Meski begitu, aku tetap ingin tahu dimana tempat sebenarnya kaki kami berdua berpijak. Pertemuan terakhir kami terjadi di malam sebelum natal, di taman umum dekat Stasiun Ikebukuro. Dia terlihat lebih kurus dan sangat letih. Mungkin untuk jaga-jaga ada momen yang bagus untuk diabadikan sebagai foto, dia membawa kamera SLR yang dia gantung di lehernya.

  "Kita sudah berteman sejak kelas satu SMA, tapi kalau terus begini, hubungan kita bisa berakhir."

  Setelah mempertimbangkan ini dan itunya, aku akhirnya mengatakan apa yang kurasakan selama ini. Aku tidak tahu harus melakukan apalagi.

  "Kalau kau merasa tidak bisa berkencan lagi denganku, maka katakan dengan jelas kalau kau ingin putus."

  Tempat ini sangat dingin dan salju tampaknya akan turun sebentar lagi. Matahari sudah tenggelam dan tidak ada seorangpun lagi selain kami di taman ini. Embusan napas kami terlihat berwarna putih karena cuaca dingin ini.

  "Yah, seperti katamu tadi."

  Setelah diam sejenak, dia akhirnya mengatakan sesuatu. Nada suara yang sama ketika pertemuan pertama kami dulu, akhirnya terdengar lagi.

  "Mungkin memang lebih baik jika kita tetap berteman saja seperti dulu."

  Kata-kata tersebut adalah akhir dari hubungan kami.

  Dia bilang kita hanya akan menjadi teman saja, tapi kami tidak pernah saling berhubungan lagi setelah itu. Aku sendiri baru sadar setelah itu kalau kami selama ini tidak pernah mengucapkan "Aku mencintaimu" selama kami berpacaran.

  "...Dulu aku belum terbiasa hidup sendiri, dan bekerja paruh waktu benar-benar melelahkan, tahu tidak,"

  Akiha mengatakan itu sambil meminum lemon di gelasnya. Dia sudah meminum setengah dari isi gelasnya.

  "Tentunya, aku tidak begitu saja bolos kerja dan kuliah...Situasi menjadi buruk, bahkan aku sudah tidak punya waktu lagi untuk orang lain."

  "Ah, kupikir aku paham maksudmu. Situasinya berubah dan kau kewalahan, sejenis itu ya." Sawamoto berusaha menebak makna kata-katanya barusan.

  "Meski begitu, aku terus berpikir kalau aku harusnya bisa memperlakukan Daisuke lebih baik. Kalau pada akhirnya situasinya berubah dan aku tidak bisa menatap matanya lagi karena apa yang sudah terjadi..."

  "Bukankah kita semua ada disini, benar tidak?"

  Kugunakan jari telunjukku untuk menunjuk ke wajah kami bertiga sambil meminum gelas bir keduaku. Untunglah, kita bisa bereuni selama sepuluh menit. Aku tidak berharap kalau kita akan membicarakan hal-hal yang serius disini.

  "Ah, begitu ya...Maaf soal itu."

  "Tidak perlu minta maaf lah."

  Bukannya aku marah tentang hal itu. Bahkan aku sendiri paham kalau itu adalah situasi yang sudah tidak bisa tertolong lagi.

  Kami berdua saling menatap untuk sejenak dan Akiho langsung memasang senyum yang lebar. Kira-kira apa dia memang selalu seperti ini? Di masa lalu dia terlihat seperti tenang dan terkontrol, tapi saat ini dia terlihat terbuka.

  "Jadi Kousaka, katanya kau sekarang sudah bekerja? Memangnya kau kerja dimana?"

  Sawamoto langsung mengganti topiknya. Dia menanyakan itu dengan cepat, seperti orang yang bisa membaca suasananya dengan baik.

  "Di studio fotografi, daerah Sangenjaya. Seniorku menceritakan hal-hal bagus tentangku kepada pemiliknya dan sekarang aku bekerja disana sebagai asisten." kata Akiho.

  "Dan, well, sebenarnya gajinya tidak begitu bagus, tapi setidaknya sekarang aku bisa mengambil foto dengan serius. Aku akan memberi kalian alamat websitenya nanti, aku juga mengupload karya-karyaku di internet..."

  Dia kemudian mulai antusias bercerita tentang pekerjaannya. Dia bercerita kalau baru saja mengunjungi sebuah apartemen tua yang dibangun di era Showa, dia hendak mengambil gambar pemukiman-pemukiman di sekitarnya juga. Tampaknya, dia benar-benar berusaha keras agar menjadi fotografer profesional.

  Kalau dibandingkan dengan dirinya di masa lalu, dia yang saat ini tampak lebih banyak berbicara dan juga lebih baik dalam berinteraksi dengan orang-orang. Aku bisa tahu kalau lingkungan kerjanya saat ini dipenuhi oleh orang-orang yang berdedikasi. Sambil mendengarkan ceritanya, secara tidak sadar aku mulai penasaran dengan cerita asmaranya. Ini sangat mengejutkan diriku karena aku secara tidak sadar tertarik dengan hal itu. Dengan siapa dia sekarang, padahal itu tidak ada hubungannya lagi denganku.

  "Jadi, pacarnya Daisuke ini adalah wanita yang lebih tua dan pemilik Toko Buku Antik di Kita-Kamakura?"

  Seperti mengetahui kalau aku sedari tadi hanya terdiam, Akiho mengganti topiknya.

  "Soal itu...Sepertinya mereka belum berpacaran."

  Orang yang mengatakan itu tidak lain adalah Sawamoto.

  "Huh? Kupikir malah itu benar adanya karena infonya dari mulutmu langsung."

  "Dia tuh cuma kerja paruh waktu di tokonya, tidak kurang tidak lebih. Itu semacam situasi yang kompleks."

  "Ah, begitu ya. Well, kenapa kita tidak mampir ke tokonya dan berusaha jodohkan mereka?"

  Mereka berdua yang tersenyum jahil, sedang berusaha menjadikanku bahan becandaan mereka.

  "Kalian berdua ini kepo." kataku.

  "Eh eh, kita ini mampir kesana bukan jahilin, tapi benar-benar ada urusan loh."

  "Bukankah lebih enak kalau mendiskusikannya disini? Kau juga bisa meminta saran dari kami."

  "Benar, benar. Kami akan memberikanmu saran kapanpun kau butuh."

  Sawamoto dan rekannya malah semakin antusias. Sepertinya, mereka berencana untuk membullyku sampai akhir acara. Belum lagi efek dari alkohol yang mulai terasa, suasananya menjadi sangat cair. Ini mengingatkanku dengan berbagai obrolan kami ketika kami masih SMA dulu.

  Ketika aku melihat ke arah wajah Akiho yang tenang itu, topik kini beralih kepada dirinya.

  "Apa tidak masalah mabuk-mabukan disini bersama kita? Bukannya kau katanya ada kerabat yang meninggal?"

  "Hari ini pemakamannya dan, well...Sepertinya semuanya akan baik-baik saja jika aku tidak ada disana, jadi aku pergi keluar ketika acara makan malam bersama."

  Biasanya, tidak ada yang baik-baik saja jika ada seseorang yang pergi meninggalkan acara makan malam bersama. Mungkin, di masa lalu, dia tidak begitu akrab dengan kerabatnya.

  "Meski begitu, kami belum mendengarnya darimu. Memangnya, siapa yang meninggal?" tanya Sawamoto. Dia mulai meminum bir dari gelas ketiganya.

  "Ayahku." Akiho menjawabnya dengan santai.

  Suasana yang santai dan cair tiba-tiba menghilang. Ini adalah pertamakalinya aku mendengar kalau ayahnya ternyata selama ini ada di Kamakura. Sawamoto dan diriku tiba-tiba menurunkan gelas kami secara perlahan dan mulai menunjukkan simpati kami. Akiho lalu menggelengkan kepalanya dan melambai-lambaika tangannya.

  "Ah, tidak apa-apa, tidak apa-apa. Maaf ya, aku sudah membuat kalian susah. Aku tahu kalau kesehatannya belakangan ini memburuk, dan aku sendiri tidak punya waktu untuk bersama dengannya." Dia mulai menceritakan kepada kami tentang keluarganya.

  Ini mengingatkanku dengan suatu malam ketika aku menemani Akiho pulang ke rumahnya setelah lewat batas jam malam. Yang ada disana waktu itu adalah seorang pria tua yang berdiri di gerbang. Dugaanku, ayahnya sengaja berdiri disitu menunggunya. Dia menunggu putrinya hingga pulang.

  "Aku sebenarnya datang kesini untuk berbicara ke Daisuke tentang sesuatu."

  Akiho lalu melihat ke arahku, tiba-tiba ekspresinya berubah serius.

  "Huh?" detak jantungku mulai bertambah kencang. Memangnya apa yang hendak dia katakan?

  "Aku berusaha menghubungimu lagi, tapi nomor HP dan emailmu ternyata sudah berubah."

  "Ah."

  Dulu, setelah lulus kuliah dan mencari kerja, aku berganti HP dan nomor. Aku sendiri sudah tidak punya nomor Akiho. Aku memutuskan untuk mengakhiri semuanya setelah putus, jadi aku hapus nomornya.

  "Memangnya kau mau membicarakan apa?"

  Kuputuskan untuk waspada kali ini. Seorang gadis yang putus denganku empat tahun lalu dan sekarang mencoba menghubungiku     pasti bukan untuk membicarakan hal yang normal. Kecuali kalau ini membahas sekte keagamaan atau hendak mengajakku untuk ikut MLM.

  Juga ada satu kemungkinan lagi.

  Apa yang akan kulakukan jika dia mengatakan sesuatu seperti, "Bagaimana kalau kita coba lagi hubungan kita yang dulu?"

  Tentunya, aku sudah punya Shinokawa     Tunggu dulu, aku SUDAH PUNYA Shinokawa?

  Bukannya kita resmi berpacaran sih. Seperti kata Sawamoto tadi, ini adalah situasi yang kompleks.

  "Ini soal pekerjaanmu," kata Akiho.

  "Huh? Pekerjaanku?"

  "Benar, ini soal toko tempatmu bekerja. Aku punya beberapa buku tua yang ingin kujual."

  Seluruh tekanan tiba-tiba hilang dari bahuku. Aku ternyata terlalu melebih-lebihkannya. Kuturunkan kewaspadaanku dan sekarang aku sendiri yang merasa malu. Aku selalu berpikir berlebihan tentang sesuatunya.

  "Buku-buku peninggalan almarhum ayahku, aku ingin menjualnya. Ke Toko Buku Antik Biblia."







x Chapter II Part 2 | END x

  

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar