Jumat, 16 September 2016

[ TRANSLATE ] Biblia Vol 2 Prolog : Sakaguchi, Michiyo. "Cra Cra Diary" Bungeishunjū Part I

  Let the game begin...
x x x







  Suara kepakan sayap dari Burung Gereja yang beterbangan di atap mulai terdengar ketika pintu toko yang kubuka menimbulkan suara deritan yang cukup keras.

  Kumpulan burung tersebut biasanya terbang menyeberangi jalanan di depan hingga Stasiun Kereta Api di sebelah. Belakangan ini, aku mulai sering melihat banyak sekali kumpulan burung-burung di berbagai tempat. Mungkin, ada orang di sekitar daerah sini yang memberi makan mereka. Ada cukup banyak keluarga-keluarga yang cukup senior di daerah sekitar sini dan memiliki kebun yang cukup terawat, jadi aku tidak heran jika melihat ada orang di sekitar sini yang memiliki banyak sekali kumpulan burung di pekarangan rumah mereka.

  Cuaca pagi ini terasa menyenangkan, sebagaimana biasanya. Kehangatan kecil yang dibawa oleh embusan angin laut ini masih terasa membawa kehangatan dari musim panas yang sudah berlalu. Disamping itu, pepohonan di sekitar pemukiman yang berada di sekitar sini sudah mulai berubah ketika memasuki bulan Oktober.

  Kita-Kamakura juga mulai melihat tanda dari musim gugur. Tidak lama kemudian, akan datang gerombolan turis yang hendak melihat pemandangan gugurnya dedaunan di Kuil Engaku dan Kenchou.

  Kulihat kembali papan tanda nama toko ini yang berada di luar. Jenis tulisannya saja yang terlihat kuno, tapi papan ini sebenarnya masih baru. Yang lama, sudah rusak karena kejadian tempo hari, dan kami memesan yang baru di tukang pembuat papan nama untuk membuat replikanya. Sebenarnya buatan mereka bagus, hanya saja terasa lebih berat daripada yang dulu.

  Akhirnya, aku berhasil menggeser posisi papan nama itu hingga tepat di depan toko. Tulisan di papan ini bertuliskan "Membeli buku-buku lama, menyediakan jasa penilaian buku yang jujur". Papan nama itu mulai berputar ketika aku menggesernya, dan nama toko ini terlihat jelas olehku.

  "Toko Buku Antik Biblia"

  Benar sekali, toko ini bisnisnya terfokus di buku lama. Bisnis ini sudah berjalan di Kita-Kamakura sejak lama. Sedang aku sendiri baru bekerja disini di musim panas lalu   

  Well, sebenarnya itu tidak begitu akurat. Aku pernah berhenti dari pekerjaan ini karena sesuatu, dan mulai bekerja lagi seminggu yang lalu. Banyak hal terjadi padaku semenjak aku bekerja disini, dan mengundurkan diri, dimana aku sendiri sangat sulit untuk menjelaskannya dengan kata-kata. Malahan, jika aku menceritakan kisahku itu, mungkin bisa dijadikan sebagai cerita untuk satu buah buku. Mari kita singkirkan dahulu hal itu, aku harus menyiapkan semuanya dahulu sebelum membuka toko untuk hari ini.

  Kupindahkan trolli yang berisi buku-buku seharga 100Yen keluar, dan setelah itu, kubersihkan lorong-lorong yang berada diantara rak itu dengan buku. Buku-buku ini tidak hanya berada di rak saja, tapi juga ditumpuk di lorong, memberikan aroma lorong yang khas ala buku.

  Toko ini fokus di buku-buku literatur klasik, sejarah, filosofi, dan buku-buku tentang kemanusiaan. Yang kau temukan disini, bukanlah buku-buku yang tanggal cetakannya masih baru. Biasanya, semua buku-buku ini dulunya koleksi pribadi dari seseorang. Dan setiap buku ini memiliki ceritanya sendiri.

  Ada buku-buku yang dibaca dan dicintai oleh pemiliknya, dan mungkin ada juga buku yang selama ini hanya disimpan saja dan dilupakan oleh pemiliknya.

  Kata orang, buku tua yang diberikan oleh seseorang ke orang lain, memiliki cerita unik tersendiri di dalamnya; cerita dari perjalanan buku ini sendiri juga menceritakan sesuatu. Buku-buku di toko ini pada akhirnya akan berada di tangan seseorang, dan disitulah akan ada cerita baru lagi tentang buku tersebut.

  Well, asumsi itu akan terjadi jika buku-buku ini terjual.

  "...ra."

  Kudengar suara yang lemah dari seorang gadis dan akhirnya aku menghentikan pekerjaanku karena suara itu. Ada sebuah pintu di dekat area kasir yang menuju rumah dimana si pemiliknya tinggal selama ini. Suara tersebut tampaknya berasal dari arah sana. Si pemilik tersebut memang bilang kepadaku kalau dia akan mengambil beberapa benda di dalam rumah setelah menaruh uang kembalian di kasir, namun dia belum kembali ke kasir hingga saat ini.

  "...Goura."

  Dia ternyata sedang memanggilku.

  Kubuka pintu di belakang kasir tersebut dan yang terlihat olehku adalah sebuah tempat kecil untuk menaruh sepatu dan sebuah lorong yang remang-remang, sepertinya lorong ini mengarah ke bagian rumah. Tapi, aku masih belum bisa melihat orang yang memanggil namaku tadi.

  "...Maaf...umm..."

  Sebuah suara yang terkesan ragu terdengar dari balik atap ruangan ini. Sepertinya, dia berada di lantai dua. Awalnya aku ragu, tapi aku kuputuskan untuk melepas sepatuku dan melangkah masuk ke lorong itu.

  Bagian rumah dari gedung ini, ternyata terlihat sama tuanya dengan toko di depan, dan suara deritan dari lantai kayu ini terdengar setiap kali aku melangkah di lorong ini. Biasanya, aku masuk ke ruangan ini jika hendak menggunakan toilet saja. Hanya karena aku bekerja disini, bukan berarti aku bisa seenaknya masuk ke rumah pemilik toko. Lagipula, ada dua wanita muda yang tinggal disini.

  "Apa kau butuh bantuan?"

  Aku mengatakan itu dari bawah tangga yang menuju lantai dua. Tangga tersebut masih berbelok di tengah jalan, sehingga aku tidak bisa melihat jelas apa yang terjadi di lantai dua. Si pemilik sendiri memiliki situasi kaki yang kurang bagus, dan ada pegangan tangan khusus di pinggir tangga yang dipasang untuk memudahkannya berjalan di tangga.

  "...Tunggu...Sebentar ya..."

  Aku mendengar suara lemah itu lagi, tapi aku sendiri tidak yakin apa maksudnya. Apa dia memintaku untuk naik ke lantai dua atau menunggunya disini?

  "Apa tidak apa-apa jika aku naik ke lantai dua?"

  "...Ya."

  Wah, ada apakah ini?

  Setiap kali aku melangkahkan kakiku di anak tangga, rasa gugupku semakin bertambah besar saja. Setahuku, kamar dari si pemilik ini ada di lantai dua, jadi aku meyakinkan diriku untuk tidak tolah-toleh kesana-kemari dan hanya melihat seperlunya.

  "...Whoa!"

  Kedua mataku akhirnya melihat dengan jelas lantai dua yang suasanya terlihat remang-remang tersebut. Lorongnya terisi dengan tumpukan tinggi dari buku-buku. Jika ada orang yang tidak tahu apa-apa datang kesini, mereka akan berpikir kalau ruangan ini adalah semacam ruangan gudang. Di ujung lorong itu, aku melihat sebuah pintu geser.

  Jujur saja, melihat pemandangan semacam ini bukanlah hal yang mengejutkan bagiku. Pemilik dari Toko Buku Antik Biblia ini adalah orang yang sangat senang tenggelam dalam lautan buku. Sederhananya, dia adalah kutu buku. Dia dirawat di rumah sakit dan baru keluar belakangan ini, dan Ibu Suster Rumah Sakitnya juga komplain tentang banyaknya tumpukan buku di kamar rumah sakitnya.

  Aku menghentikan langkahku tepat di depan pintu geser tersebut dan hendak memanggilnya, tapi sesuatu menarik perhatian dari kedua mataku. Di sebelah kiriku, ada tumpukan buku dan sebuah sayap putih dari seekor burung yang terlipat, tersembunyi diantara tumpukan buku itu.

  Tentu saja, itu bukanlah sayap dari seekor burung sungguhan, tapi sebuah lukisan kanvas yang ditaruh di pinggir lorong. Ujung dari lukisan itu adalah satu-satunya bagian yang bisa kulihat dari posisiku saat ini.

  Kenapa ada lukisan di tempat seperti ini?

  Kumiringkan kepalaku. Lukisan itu tampaknya adalah sebuah lukisan tua, dan permukaannya diselimuti oleh debu yang cukup tebal. Fakta kalau lukisan ini hanya ditaruh di tumpukan buku begitu saja, bukan ditempel di dinding ataupun disimpan dengan baik, membuatku merasa janggal.

  Gambar lukisan itu sendiri juga membuatku heran.

  Di belakang gambar sayap burung itu, ada gambar tumpukan buku, mungkin bisa dikatakan mirip dengan keadaan lorong di tempatku saat ini yang dipenuhi dengan buku. Aku tidak pernah melihat lukisan dengan latar belakang tumpukan buku dan ini benar-benar membuatku penasaran dengan gambar lukisan yang utuh sebenarnya seperti apa.

  Tiba-tiba, pintu gesernya terbuka, membuatku kembali ke pikiranku yang biasanya.

  "Ah...!"

  Orang yang meneriakkan itu bukanlah diriku, tapi seorang wanita muda yang kurus dan berambut hitam panjang. Wajahnya cantik, pucat, dan berusia sekitar 25 tahun. Dia memakai cardigan dress biru berpola bunga, dan frame kacamata yang ada di hidungnya itu hampir bertabrakan dengan dadaku.

  "Ma-Maafkan aku..."

  Wajahnya memerah ketika dia berusaha mengambil langkah mundur dengan gugup. Tubuhnya tampak goyah, tapi dia langsung memegangi kruk-nya untuk memperoleh keseimbangan.

  Nama wanita ini adalah Shinokawa Shioriko, dan dia adalah pemilik dari Toko Buku Antik Biblia.

  "Apa kau baik-baik saja?"

  "Um...Ya..."

  Dia memalingkan pandangan matanya sambil malu-malu...

  Tidak, bukan itu. Sebenarnya dia hanya berusaha memastikan kalau tumpukan buku literatur modern yang bertumpuk di sampingnya tidak jatuh.

  Sepertinya, ruangan itu dulunya adalah dua ruangan, dan dinding pemisahnya dibongkar untuk membuat ruangan ala keluarga Jepang. Kalau melihat kasur dan pakaian-pakaian yang berada di dekat jendela yang menghadap ke selatan, lantai kedua sepertinya juga menjadi ruang keluarga.

  Meski begitu, ruangan itu berisi banyak sekali buku-buku. Ada sebuah rak besi dengan buku-buku yang beraneka warna, album foto, dan buku-buku seni yang tinggi raknya hampir menyentuh atap ruangan. Juga, ada sebuah rak kayu dekat pintu kaca yang berisi ensiklopedia. Bahkan, lantainya sendiri bertumpuk banyak sekali buku seperti filosofi, sejarah, literatur kuno, dan manga anthologi kuno. Mirip sekali dengan kondisi lorong di lantai dua dimana kau akan sulit sekali menemukan ruang untuk berdiri.

  Tumpukan buku di lorong itu kemungkinan besar berasal dari sini. Kalau begini terus, tidak lama lagi tangga ke lantai dua akan dipenuhi oleh buku-buku.

  "A-Aku tidak bisa membuatnya tampak rapi. Kurasa, ini buku-buku disini memang terlalu banyak, benar tidak?"

  "Eh? Tidak juga."

  Aku tidak ada niat untuk mengkomentari lebih jauh kata-katanya. Aku sudah menduga kalau dia akan punya buku sebanyak ini. Lagipula, ruangan yang semacam ini memang terlihat sangat menenangkan hati.

  Bukannya aku membenci buku atau sejenisnya. Aku tertarik dengan buku, meski membacanya saja sudah terlihat sangat sulit bagiku. Jika aku membaca sebanyak sepuluh halaman atau kurang lebih sebanyak itu, aku mulai berkeringat dingin dan jari-jariku mulai gemetaran. Kurasa, ini karena trauma psikologis, kalau kusederhanakan lagi, ini memang semacam fobiaku.

  Aku masih tertarik dengan buku dan hal-hal yang berkaitan dengan itu meski aku tidak bisa membacanya.

  "Jadi, apa yang terjadi?"

  "Umm...Bisakah kau bawa tumpukan buku yang diikat ini ke bawah? Ini sebenarnya milikku pribadi, tapi aku tidak akan membacanya lagi, jadi aku ingin menaruh ini di trolly yang berada diluar dan menjualnya."

  Dia mengatakan itu sambil menunjuk sebuah tumpukan buku yang berada di sampingnya. Sampul buku-buku ini terlihat tebal, dan memiliki tali buku yang terbuat dari vinyl.

  Ada dua tumpukan buku yang berisi sekitar sepuluh buku atau seperti itu, dan kalau melihat dari bentuknya, sepertinya ini semacam novel dan essay. Meski begitu, kondisi buku-buku ini masih bisa dikatakan bagus.

  "...Apa ini semua akan dijual seharga 100Yen per bukunya?"

  "Tidak...Tolong nanti buku-buku ini diberi label 300Yen dan 500Yen. Tumpukan buku yang diikat dan berada di atas ini, jual dengan harga 500Yen, dan tumpukan buku yang diikat di bawah ini, jual dengan harga 300Yen. Tolong cek sekali lagi kondisinya sebelum menaruhnya di trolly."

  Cara berbicara Shinokawa terdengar lebih lancar dari biasanya. Dia memang selalu tampak antusias jika membicarakan soal buku.

  "Kalau bisa, tolong cabut dulu tulisan 'semua buku harganya 100Yen' yang berada di trolly."

  "Oke."

  Setelah selesai menjelaskan, dia mengambil satu ikatan dari tumpukan buku itu dengan tangan kirinya dan menaruhnya di depanku. Akupun menganggukkan kepalaku untuk memberitahunya kalau aku memahaminya, tapi yang kulihat malahan sesuatu yang mengejutkan. Mungkin karena dress yang dia pakai itu kebesaran, ketika aku menundukkan kepalaku, aku bisa melihat belahan dadanya. Aku sendiri tidak bisa merasa antusias atau semacamnya, karena aku sudah tidak tahu lagi harus menoleh ke arah mana. Memberitahu dirinya soal itu, bukanlah sebuah pilihan bagiku, jadi kuputuskan untuk jongkok saja di depan buku-buku ini untuk 'mengamankan' arah penglihatanku.

  "...Jadi yang dibawah ini setiap bukunya seharga 500Yen?"

  Kutanyakan itu untuk menghilangkan situasi yang terasa aneh ini, dan jarinya yang putih itu terlihat olehku.

  "Sebaliknya. Yang 500Yen itu adalah yang atas."

  Posisi tubuhnya agak membungkuk di atas kepalaku, dan aku merasa kalau ada dada yang besar sedang menyentuh rambutku. Ujung rambut panjangnya itu terasa menyentuh telingaku dan membuatku terdiam karena shock yang kudapatkan.

  "...Maaf ya...Apa kau bisa memahami penjelasanku?"

  Suaranya terasa sangat manis sekali. Mungkin dia melakukannya secara tidak sengaja, tapi ini malah memperparah situasinya.

  "Te-Tentu saja."

  Kuputuskan untuk menatap tumpukan buku ini untuk menenangkan hatiku yang sedang gugup.

  Cra Cra Diary.

  Judul buku ini terlihat olehku. Penulisnya bernama Sakaguchi Michiyo. Text tulisannya, terlihat seperti tulisan yang dibuat secara terburu-buru, dan ditulis di atas sampul buku yang berwarna abu-abu ini. Entah mengapa, kelima buku yang ternyata satu-set ini memiliki judul yang sama. Cra Cra Diary, Cra Cra Diary, Cra Cra, Cra Cra      Ini hanya membuatku bertambah jengkel saja.

  "Cra Cra Diary ini tentang apa sih?"

  Pertanyaanku ini disambut dengan sebuah kesunyian.

  "...Buku-buku ini adalah essay yang ditulis oleh istri Sakaguchi Ango setelah suaminya meninggal dunia."

  Jadi ini ditulis oleh keluarga Sakaguchi? Aku pernah mendengar tentang Sakaguchi Ango; kalau tidak salah itu adalah nama dari seorang penulis di masa lalu. Fakta kalau aku bahkan kenal dengan nama orang ini, maka orang ini pastilah orang yang terkenal. Sayangnya, aku tidak pernah membaca bukunya.

  "Itu bercerita tentang kisah keluarga Sakaguchi, dari awal mereka berdua bertemu hingga Ango meninggal dunia. Itu membuatmu membaca sebuah cerita tentang pasangan yang bahagia dan harmonis. Kurasa ceritanya cukup bagus."

  Suaranya terdengar lembut, saking lembutnya hingga aku kesulitan untuk mendengarnya.

  "Kalau begitu, kenapa judulnya Cra Cra Diary?"

  "Setelah suaminya meninggal, si penulis membuka sebuah bar di Ginza dan menamakannya Cra Cra. Menurut afterwords si penulis, dia bertanya kepada Sishi Bunroku ketika hendak menamakan barnya, dan muncullah nama itu. Sepertinya, bar itu sering dikunjungi oleh orang-orang terkenal."

  Dia menjawabnya dengan lancar, bahkan tanpa jeda sedikitpun. Seperti biasanya, pengetahuannya memang sangat mengagumkan jika berhubungan dengan buku.

  "Apa Cra Cra itu maksudnya merujuk kata Kura Kura yang berarti mabuk?"

  "Bukan...Itu adalah Bahasa Perancis yang berarti Burung Dara."

  "Burung Dara?"

  Ini jawaban yang diluar dugaan.

  "Well, nama Dara itu sendiri juga sering dijadikan nama seorang gadis."

  Mendengar soal Burung Dara, membuatku teringat dengan lukisan burung yang kulihat di lorong. Mungkin saja kalau burung di lukisan tersebut adalah Burung Dara.

  Aku mendengar sebuah desahan. Sikapnya ini memang agak aneh. Dia biasanya tampak antusias jika membahas tentang sebuah buku.

  "Shinokawa, apa ada sesuatu yang salah?"

  Akupun menegakkan kepalaku untuk menatapnya, tapi lipatan roknya itu menghalangi pandanganku.

  "Oh? Tidak...Tidak apa-apa..."

  Dia lalu menegakkan tubuhnya dan berjalan mundur beberapa langkah. Tapi aku masih belum bisa melihat jelas ekspresi wajahnya.

  "Hanya saja...Buku-buku ini..."

  "Buku?"

  "Entah mengapa aku tidak bisa menyukai buku-buku ini. Meski, aku sendiri mengakui kalau buku-buku ini sudah ditulis dengan sangat baik."

  Jadi ini bukanlah tipe buku yang dia sukai. Mungkin itulah alasannya mengapa dia hendak menjual murah buku-buku ini. Sangat normal bagi seorang pembaca untuk punya kesukaan untuk hal-hal tertentu.

  Kuambil tumpukan buku-buku ini dengan kedua tanganku dan berdiri.

  "Baiklah kalau begitu, aku akan membawa ini ke bawah."

  "Terima kasih ya."

  Kutinggalkan ruangan itu dan berjalan menyusuri lorong dengan perlahan sehingga tidak terjatuh. Buku-buku ini kemudian terlihat sekilas olehku.

  Tiba-tiba, ada sebuah keraguan muncul di kepalaku.

  Kalau dia tidak menyukai ini, kenapa dia malah punya satu set koleksinya?

  Sepertinya, dia membeli buku-buku ini atas kehendaknya sendiri. Tapi kalau dia tidak menyukai buku ini, kenapa dia  membeli banyak sekali buku-buku ini? Akupun berhenti sejenak dan menatap ke arah pintu geser yang terbuka dan berada di belakangku.

  Ah sudahlah, mungkin itu tidaklah penting.

  Kunaikkan bahuku dan berjalan menuju tangga. Kurasa, tidak ada gunanya memikirkan itu.

  Aku mendengar cuitan burung-burung di kejauhan. Mungkin, suara itu berasal dari burung 'Cra Cra'...

  Dengan begitu, kuputuskan untuk berhenti memikirkan tentang buku-buku ini.







x Prolog | END x

Tidak ada komentar:

Posting Komentar