Minggu, 12 Juni 2016

[ TRANSLATE ] Oregairu Vol 2 Chapter 4 : Karena Alasan Tertentu, Kawasaki Saki Keluar Dari Jalannya -2

x x x






  Aku mulai mendengar suara cuitan suara dari burung pipit, pertanda hari sudah menginjak pagi. Jadi, inikah yang disebut "berpindah ke hari berikutnya" yang biasa ditulis di cerita novel?

  Aku lalu membuka mataku, yang kudapatkan adalah sebuah hal yang mengejutkan. Itu karena aku melihat sebuah atap ruangan yang tidak familiar ketika aku biasa bangun tidur setiap harinya. Maksudku, aku baru sadar kalau aku bangun tidur di ruang keluarga. Sepertinya, kami tertidur setelah belajar semalam. Hal terakhir yang kuingat, adalah menginterograsi Komachi tentang status hubungannya.

  "Hei Komachi...Sudah pagi." akupun mengatakan itu.

  Itu adalah momen dimana aku tidak bisa melihat adikku di tempat manapun. Kulihat di sekelilingku untuk beberapa detik. Selanjutnya, aku melihat ke arah jendela. Matahari sudah bersinar cukup tinggi. Butuh 3 detik untuk menyadarkanku tentang situasiku ini. Lalu aku mulai berkeringat dingin ketika melihat jam dinding di ruangan ini. Ini sudah jam 9 pagi! Kulihat lagi berkali-kali, ternyata masih jam 9 pagi. Butuh sekitar total 10 detik untuk memproses semua situasi ini.

  Setelah 10 detik, aku mulai sadar masalah apa yang hendak menabrakku sebentar lagi.

  "Aku pasti akan benar-benar terlambat..." aku mengatakan itu dengan depresi.

  Aku lalu langsung ke meja makan, disana ada roti panggang, daging dan telur goreng, bersama dengan sebuah surat dengan tulisan tangan Komachi disana.



Kakakku yang tersayang, aku berangkat duluan karena aku tidak ingin telat. Istirahatlah yang cukup!

SP. Pastikan kau memakan sarapanmu!!



  "Dasar bodoh...Memangnya SP itu singkatan dari Security Police?"

  Harusnya yang benar itu adalah PS, singkatan dari Playstation.

  Ngomong-ngomong, karena aku sudah dijamin pasti telat dan ini adalah sesuatu yang diluar kuasaku, aku memakan sarapanku dengan santai dan bersiap menuju ke sekolah. Sepertinya, kedua orangtuaku sudah berangkat kerja. Karena kedua orangtuaku pergi bekerja sedari pagi, rumah tangga keluarga Hikigaya sudah terasa hidup ketika pagi baru menjelang. Ibuku yang biasanya membuat sarapan, tapi Komachi yang biasanya membuat makan malam.

  Dan kurang ajarnya, tidak ada satupun orang yang membangunkanku untuk berangkat ke sekolah. Daripada mengkhawatirkan apakah aku benar-benar dicintai sebagai anggota keluarga disini atau tidak, aku lebih suka percaya kalau membiarkan orang tertidur dengan lelap merupakan salah satu bentuk cinta dalam keluarga.

  Darahku mulai menggelora ketika aku mengganti baju. Setelah memastikan kalau pintu rumah terkunci, aku meninggalkan rumah.

  Sambil bersepeda di jalan yang berada di sebelah sungai, aku melihat kumpulan awan yang berjajar rapi di langit.

  Hari ini, jalan menuju ke sekolah terlihat sepi. Ini membuatku bisa bersepeda dengan tenang. Biasanya, rute ke SMA Sobu seperti sebuah lomba balap sepeda dimana ketika ada dua siswa dari sekolah yang berbeda bertemu. Saling menyalip satu sama lain dan berteriak "Maju! Magnum!" adalah sebuah emosi yang terbaik. Ketika kau menghadapi sesama anak laki-laki, kau terlihat bersemangat dan mengatakan sesuatu seperti, "Aku tidak akan kalah! Sonic!"

  Hari ini, aksi yang cukup menghibur sepanjang perjalananku hanyalah antara ibu-ibu gendut yang berusaha menghilangkan lemaknya dan kakek-nenek yang berjalan-jalan dengan anjing mereka, aku memperhatikan mereka dengan serius seperti menonton orang yang memancing. Kurasa, pergi ke sekolah ditemani pemandangan seperti ini bukanlah sesuatu yang buruk. Sebenarnya, aku mulai berpikir kalau bersepeda di bawah langit yang biru ini terasa enak sekali. Seperti sebuah sensasi ketika mengajak orang lain untuk bolos bersamamu, dan itu benar-benar efektif dengan peluang sekitar 50%.

  Entah mengapa, ketika sudah dekat dengan sekolah, tiba-tiba aku dihinggapi sebuah perasaan yang nostalgia...?

  Meski begitu, aku tidak berusaha untuk mengendap-endap untuk masuk ke sekolah. Bahkan, aku masuk ke lingkungan sekolah seperti tidak terjadi apapun. Di waktu yang seperti ini, para guru sedang ada di kelas, begitulah, jadi mereka tidak mungkin melihatku telat masuk ke lingkungan sekolah. Ketakutan adalah hal yang tidak berguna disini. Aku belajar itu dari 72 kali pengalamanku telat di kelas 1 SMA, dimana itu mungkin mulai mempengaruhi nilai akademisku. Jujur saja, aku ingin mencapai 200 kali kemenangan ketika lulus dari SMA ini.

  Melewati gerbang sekolah cukup mudah. Masalah mulai muncul ketika hendak masuk kelas. Kuparkir sepedaku di tempat parkir dan berjalan ke arah halaman sekolah. Setelah menginjak halaman sekolah, entah mengapa aku merasa kalau gravitasi di planet ini seperti terasa lebih berat dari biasanya.

  Bisa jadi aku ini sedang berada di planet Vegeta?

  Kuseret kakiku menuju tangga dan akhirnya tiba di lorong dimana tidak ada seorangpun siswa disana, hingga akhirnya aku sampai di depan pintu kelasku.

  Kutarik napasku dalam-dalam ketika berada di depan pintu. Lalu, kupegang handle pintu itu. Di momen itu, aku merasa perutku seperti dipenuhi oleh kupu-kupu liar.

  Pintu terbuka.

  Lalu semua mata tertuju kepadaku, tidak ada yang mengatakan apapun. Ruangan ini terasa sunyi sekali. Suara guru yang sedang menjelaskan materi pelajaran tiba-tiba hilang entah kemana.

  Aku tidak benci telat ke sekolah. Tapi yang kubenci adalah suasana seperti ini.

  Misalnya ya, jika Hayama yang telat, aku yakin para siswa disini akan becanda seperti, "Hei Hayama! Coba datang lebih telat lagi lain kali!", "Hayama, kau lambat sekali!", "Hahaha, Hayama kau norak sekali!"

  Tapi karena akulah yang saat ini telat, tidak ada satupun siswa yang mencandaiku, malahan, tatapan mereka semua seperti bertanya, "Dia ini siapa sih?". Aku menjawab tatapan mereka itu dengan diam sambil melangkahkan kakiku yang berat ini untuk masuk ke kelas. Setelah aku duduk di kursiku, tiba-tiba tubuhku merasakan perasaan lelah yang luar biasa.

  Akupun bernapas lega. Tapi bagi guru di ruangan ini, itu seperti memberinya kode kalau aku sudah siap menanti penghakiman atas sikapku ini.

  "Hikigaya. Temui saya setelah jam pelajaran ini selesai," kata Hiratsuka-sensei sambil memukulkan kepalan tangannya di meja guru.

  "Ba-Baiklah..."

  ...Mati gue.

  Tubuhku langsung lemas mendengarnya, tapi itu malah membuat Hiratsuka-sensei mengangguk puas dan membalikkan badannya. Dia melanjutkan kembali menulis materi di papan, mantel putih panjang yang dipakainya mengibas ketika dia membalikkan badannya tadi.

   Tunggu dulu, 15 menit lagi pelajaran ini berakhir!

  Dan jahatnya, 15 menit tersebut berlalu dengan cepat. Sementara itu, dari tadi aku tidak memperhatikan pelajarannya dan sibuk memikirkan berbagai alasan mengapa aku telat hari ini, lalu bel berbunyi.

  "Kurasa pelajaran Ibu cukupkan untuk hari ini. Hikigaya, segera menghadap, sekarang!"

  Hiratsuka-sensei mengatakan itu seperti tidak sabar akan sesuatu.

  Aku lalu berjalan ke depan dan berdiri tepat di depannya, diriku ini seperti dipenuhi hasrat untuk kabur entah kemana.

  Hiratsuka-sensei lalu mengatakan sesuatu dengan kesal.

  "Sebelum pukulan ini melayang ke arahmu, aku akan bertanya dulu apa alasanmu telat hari ini, hanya sebagai formalitas."

  Dia sudah memutuskan untuk memukulku!

  "Bukan begitu, Sensei salah paham. Tunggu sebentar. Apakah Sensei tahu kalau orang penting itu selalu datang terlambat? Pada dasarnya, ini adalah latihan jika suatu saat nanti saya menjadi orang yang penting, seorang eksekutif level elit."

  "Bukannya kau bercita-cita menjadi suami rumahan?"

  "Urk!" aku terkecoh, tapi tidak lama kemudian aku kembali ke diriku.

  "Be-Begini. Adalah sebuah kesalahan jika berpikir kalau datang terlambat adalah sebuah hal yang buruk. Apa Sensei paham maksud saya? Para polisi saja mulai bergerak setelah terjadinya tindak kriminal. Logika yang sama juga dipakai untuk istilah pahlawan selalu datang di menit-menit akhir. Dengan kata lain, mereka semua selalu terlambat. Tapi pernahkah mereka disalahkan?! Tidak pernah! Jadi saya juga menginginkan sebuah keadilan dalam hal datang terlambat hari ini!" akupun meneriakkan itu dengan segenap jiwaku.

  Entah mengapa, tatapan mata Hiratsuka-sensei seperti diliputi emosi yang mendalam.

  "...Hikigaya. Biar kuberitahu sesuatu. Membenarkan pelanggaran atas nama keadilan itu tidak jauh berbeda dengan sebuah kejahatan."

  "...Atas dasar keadilan itu harusnya lebih baik dari kejaha     tunggu! Jangan pukul saya! Tidak!"

  Seperti moto grup Shinsegumi yang menghancurkan kejahatan, Aku Soku Zan, kepalan tangan Hiratsuka-sensei langsung melayang ke arah ulu hatiku. Tubuhku kesakitan menerima serangan tersebut. Ketika aku terbaring di lantai karena menerima pukulan itu, aku mulai batuk-batuk.

  Hiratsuka-sensei langsung mendesah kesal melihatku yang kesakitan di lantai.

  "Ya ampun...Kelas ini seperti tidak ada habis-habisnya dengan anak-anak yang bermasalah."

  Tapi anehnya, dia tidak mengatakan itu dengan ekspresi jijik     malahan, dia terlihat senang atau sejenis itu.

  "Aku tidak sedang membicarakanmu, tapi ke orang lain."

  Seperti tidak mempedulikan diriku yang terbaring di lantai, sepatu dari Hiratsuka-sensei mengarah ke arah pintu belakang kelas. Kulihat ke arah yang sama, ternyata ada seorang siswi yang baru masuk dan membawa tasnya.

  "Kawasaki Saki. Apa kau juga terlambat?" Hiratsuka-sensei memanggilnya dengan senyum yang kecut.

  Tapi gadis yang bernama Kawasaki Saki ini hanya diam saja. Dia lalu berjalan melewati tubuhku yang tergeletak di lantai menuju tempat duduknya.

  Rambutnya yang hitam dan panjang itu menutupi punggungnya; kancing lengan blazernya dibiarkan terbuka; kakinya yang panjang itu terlihat seperti siap kapan saja untuk menendang orang.

  Tapi yang membuatku teringat padanya adalah tatapan matanya yang kosong, seperti entah sedang melihat kemana. Tidak lupa juga, ujung rok dan blazernya dihiasi renda hitam seperti dibuat sendiri olehnya.

  Aku berani bersumpah kalau aku pernah melihat gadis ini entah dimana...Tunggu sebentar, kalau dia sekelas denganku, bukankah wajar jika aku bilang pernah melihatnya?

  Karena aku tidak bisa mengintip dibalik roknya dengan jelas dari posisiku yang miring seperti ini, aku lalu membiarkan tubuhku terlentang di atas lantai begitu saja.

  Aku tidak ingin seorangpun curiga kepadaku.

  Di momen itu, sesuatu tiba-tiba muncul di kepalaku.

  "...Kau ini gadis yang berenda hitam tempo hari?"

  Dengan begitu, semua keraguanku tiba-tiba lenyap.

  Entah mengapa, aku teringat dengan kejadian itu. Dia adalah gadis yang mempermainkanku ketika kami bertemu di atap gedung tempo hari.

  Oh, jadi dia sekelas denganku? Ini adalah momen untuk mengkonfirmasi lagi kalau gadis yang pernah kutemui tempo hari itu bernama Kawasaki Saki. Dia tidak langsung pergi ke tempat duduknya, tapi dia malah berdiri di sampingku dan melihatku dari balik bahunya.

  "...Apa kau ini bodoh?" tanya Kawasaki Saki.

  Dia tidak menendang atau memukulku. Wajahnya terlihat memerah, tapi ini bukan memerah karena malu, sepertinya memerah karena marah     dia seperti tidak tertarik kepadaku. Lebih tepatnya, aku seperti pengganggu baginya.

  Jika Yukinoshita Yukino terlihat tidak ramah, maka Kawasaki Saki bisa disebut dingin. Meski mereka berdua sama-sama dingin, ini seperti es kering dan es normal. Yukinoshita seperti akan menyiram wajah siapapun yang menyentuhnya dengan segelas air panas.

  Dengan ekspresi jijik, Kawasaki mengibaskan rambutnya sekali sebelum berjalan menuju tempat duduknya. Setelah dia menarik kursinya dan duduk, dia lalu melihat ke arah jendela dengan tatapan kosong, seperti bosan akan sesuatu. Dia seperti ingin terus melihat ke arah luar sehingga dia tidak perlu repot-repot mengetahui ada apa di ruangan kelasnya.

  Tidak ada seorangpun di dunia ini yang tidak menyadari aura "jangan mengajakku bicara".  Tapi level aura "jangan mengajakku bicara" miliknya masih rendah. Tidak ada seorangpun yang mau mengajakku bicara meski aku menebarkan aura "tolong ajak aku bicara".

  "Kawasaki Saki, huh...?"

  "Hikigaya, berhentilah menggumamkan nama gadis yang roknya baru saja kau intip dengan emosi yang mendalam."

  Hiratsuka-sensei menaruh tangannya di bahuku. Tangannya terasa dingin sekali.

  "Kita masih punya 'pembicaraan sesi kedua' dari keterlambatanmu hari ini. Menghadap ke ruang guru setelah bel pulang sekolah berbunyi."






x Chapter IV Part 2 | END x







  Perasaan nostalgia Hachiman ketika bersepeda hendak mendekati sekolah itu adalah lokasi terjadinya kecelakaan setahun lalu. Hachiman berangkat 1 jam lebih awal, tentunya situasi jalanan lenggang seperti di chapter ini.

  ...

  Lucu jika melihat Hachiman membandingkan Yukino dan Saki. Karena dua gadis tersebut benar-benar 2 gadis yang memenuhi kualifikasi Hachiman menjadi istrinya. Bisa membayar tagihan rumah tangga, bisa memasak, bisa mengurus anak.

  ...

  Monolog Hachiman tentang Yukino yang menyiramkan air panas jika disentuh seseorang.

  Lucunya, Yukino akan sering bersentuhan dengan Hachiman di volume-volume ke depannya. Hachiman sendiri merasa senang dengan itu...





  

  

2 komentar: