Selasa, 26 April 2016

[ TRANSLATE ] Oregairu Vol 2 Chapter 3 : Hayama Hayato Selalu Berada di Belakang Semuanya (1/3)


x  x  x










  Meski sekarang memasuki jam istirahat, tapi aku sendiri tidak pernah bisa beristirahat.

  Suasana kelas diisi oleh obrolan para siswa. Semua orang seperti terlepas dari borgolnya yang berada di rumah dan pergi ke sekolah, dan sekarang mereka berbicara dengan akrab bersama teman-teman mereka tentang rencana mereka sepulang sekolah besok dan apa yang mereka lihat di TV belakangan ini, yadda yadda yadda. Kata-kata mereka seperti masuk ke telinga kanan dan keluar dari telinga kiri. Pembicaraan mereka mungkin memakai bahasa asing karena hanya sedikit yang bisa kupahami dari obrolan mereka. Aku mungkin saja saat ini berada di dimensi yang berbeda.

  Kurasa obrolan hari ini terasa lebih ramai dari biasanya. Sepertinya, ini dikarenakan Wali Kelas kami mengatakan kalau kami boleh bebas memilih siapa saja untuk grup ‘Kunjungan Tempat Kerja’. Meski Wali Kelas sudah mengatakan kalau besok lusa akan diberikan waktu luang bagi siswa untuk memilih grup dan kemana mereka akan pergi, teman-teman sekelasku sepertinya sudah selangkah di depan. Pembicaraan mereka kurang lebih seperti “Kemana kau akan pergi?” atau juga “Kau mau pergi bersama siapa?”. Mayoritas siswa disini seperti membuat rencana spesial bersama orang yang mereka inginkan.

  Ini sangat jelas sekali. Sekolah bukanlah sebuah tempat dimana kau hanya akan mendapatkan ilmu. Kalau kita telaah baik-baik, sekolah itu seperti sebuah komunitas kecil, sebuah kebun kecil yang berisi setiap tipe manusia yang ada di dunia ini. Karena itulah kehidupan SMA juga memiliki medan perangnya tersendiri dan itu ditunjukkan oleh hal-hal seperti bullying. Dan seperti sosial masyarakat pada umumnya dimana mereka mempunyai kelas sosial, SMA juga memiliki kelas sosial. Tentunya, karena kita menganut sistem demokrasi, teori kelompok siapa yang jumlanya paling banyak, maka dia yang paling kuat akan berlaku. Mayoritas – dan siapapun yang bersama kaum mayoritas – menguasai SMA ini.

  Akupun melihat perilaku teman sekelasku sambil menopang daguku dengan tangan dan mata yang setengah tertutup. Aku sebenarnya sudah cukup tidur dan aku begini bukan karena lelah atau sejenisnya, tapi aku selalu menghabiskan jam makan siangku seperti ini sejak kecil, tertidur adalah sebuah gerakan refleks bagiku.

  Ketika pandanganku mulai terlihat kabur dan aku mulai menunduk, ada sepasang tangan yang menggoyang-goyang tubuhku. Ketika kulihat, Totsuka Saika duduk di kursi yang berada di depanku.

  “Selamat siang,” Totsuka menyapaku dengan senyumannya.

  Akupun mengigau.

  “...Tolong buatkan sarapan untukku setiap pagi.”

  “H-Huh?! Apa yang kau...?”

  “Oh, tidak. Aku barusan setengah tertidur.”

  Sial, aku meminta sesuatu kepadanya tanpa berpikir dahulu. Sial, kenapa dia semanis ini sih? Tapi dia itu seorang pria! Pria! Pria?...Bukannya aku sedang berusaha mengiyakan permintaanku agar dia membuat sarapan untukku tiap pagi.

  Kami berdua hanya bisa terdiam.

  “Jadi, ada apa?” tanyaku.

  “Tidak ada apa-apa...” dia menjawabku. “Kupikir aku ingin menyapamu karena kau kebetulan ada disini, Hikigaya-kun...Apa aku mengganggu kegiatanmu?”

  “Nah, setidaknya tidak begitu. Malahan, aku sangat senang jika kau mau mengobrol denganku setidaknya 4 sampai 6 jam sehari.”

  Jangan lupa juga, aku sangat suka jika dia mau mengatakan kalau dia mencintaiku selama 4-6 jam sehari.

  “Kalau begitu, bukankah itu berarti aku harus selamanya bersamamu?” Totsuka tertawa dengan manis, menaruh tangannya di mulutnya. Seperti menyadari sesuatu, dia menepuk kedua tangannya dan berkata.

  “Hikigaya-kun, apa kau sudah memutuskan akan pergi kemana dalam kegiatan ‘Mengunjungi Tempat Kerja’?”

  “Apa yang akan terjadi, maka terjadilah. Dan apa yang tidak akan bisa terjadi, maka tidak akan terjadi,” kataku.

  Seperti terkejut dengan kata-kataku, Totsuka melihatku sambil memiringkan kepalanya. Aku melihat area diantara kerah baju olahraganya dan tulang selangkanya, dan itu membuatku memalingkan pandanganku. Mengapa dia bisa punya kulit yang indah? Dia pakai sabun apa sih?

  “Ah, pada dasarnya aku tidak peduli kemana aku akan pergi,” jawabku. “Dimanapun selain rumahku terlihat sama bagiku. Semuanya tempat-tempat yang tidak berharga.”

  “Oooh, kau kadang-kadang mengatakan kata-kata yang puitis, Hikigaya-kun.”

  Aku tidak ingat kalau pernah mengatakan kata-kata yang puitis, tapi melihat Totsuka yang mengagumiku, tampaknya kata-kataku itu sudah memberikan kesan yang mendalam padanya.

  Aku merasa Totsuka hendak memberiku raspberri dan level keakrabannya akan meningkat. Tapi kalau melihat fakta dia bisa menaikkan level keakraban tidak peduli kata apapun yang keluar darinya, kupikir itu adalah sesuatu yang menakutkan. Aku hampir saja memilih rute yang harusnya tidak pernah ada.

  “Jadi...Kau sudah memutuskan kemana kau akan pergi, huh?”

  Totsuka melirik ke arahku dengan ekspresi ragu-ragu, tapi tampaknya dia salah paham terhadap kata-kataku tadi.

  Aku tidak tahu harus membalas apa. Kata-katanya seperti memiliki arti “Aku ingin pergi denganmu tapi karena kau sudah memutuskan, sayang sekali ya?”.

  Ini membuatku lebih waspada untuk saat ini.

  Serangan tiba-tiba dari Totsuka membuat pintu tentang kenangan-kenangan lamaku kembali terbuka. Memang, pernah terjadi sesuatu yang seperti ini di masa lalu...

  Tahulah, ketika aku masih kelas 2 SMP dan aku dipaksa menjadi perwakilan kelas untuk siswa laki-laki, gadis manis yang menjadi perwakilan siswi perempuan tersenyum kepadaku dan berkata, “mari lakukan yang terbaik untuk tahun ini”...

  Uuuurk! Sial! Sekali lagi, aku hampir saja ditipu oleh kata-kata yang tidak bertanggung jawab. Aku bukannya hendak terluka lagi atau semacamnya.

  Aku sudah pernah mengalaminya sekali. Seorang penyendiri yang berpengalaman ketika tergigit sekali, tidak akan pernah tergigit lagi. Pengakuan cinta itu seperti kalah dalam hom pim pa, surat cinta palsu adalah apa yang ditulis oleh anak laki-laki, dan itu yang didikte oleh gadis yang mereka sukai – aku tidak punya urusan lagi dengan mereka. Aku adalah veteran dari sebuah peperangan. Tidak ada yang tahu rasanya kalah seperti diriku ini.

  Oke. Tenang. Di momen seperti ini, gunakanlah jurus meniru – itu tidak memerlukan usaha yang banyak.

  Akupun menjawab sebuah pertanyaan dengan sebuah pertanyaan.

  “Kau sendiri sudah memutuskan akan pergi dengan siapa?”

  “A-Aku?”

  Dia bingung karena pertanyaannya ditanyakan balik kepadanya, lalu wajah Totsuka terlihat memerah.

  “Aku, umm, sudah memutuskan soal itu.” Dia menutup matanya secara perlahan dan melirik ke arahku untuk menunggu reaksiku.

  Meh, kurasa beginilah hidup. Totsuka adalah member klub tenis, itu artinya dia punya skill komunikasi yang spesial dan tentunya membuat dia memiliki banyak koneksi. Sangat jelas sekali kalau dia akan punya banyak teman di kelas ini.

  Aku sendiri, di lain pihak, bergabung dengan sebuah klub yang seperti sebuah ruangan isolasi bagi siswa-siswa yang aneh di sekolah ini, mustahil aku bisa punya teman.

  “Kalau dipikir-pikir – sebenarnya, ini tidak perlu dipikirkan lagi – aku ternyata tidak punya satupun teman laki-laki.”

  “Er, uh...Hikigaya-kun...” Totsuka mengatakan itu dengan pelan. “Aku ini laki-laki, tahu tidak...”

  Dia manis sekali, membuatku tidak bisa mendengarnya dengan jelas.

  Ngomong-ngomong, ini semacam sebuah perasaan yang aneh bisa mengobrol dengan seseorang di kelas. Setelah kejadian yang berhubungan dengan klub tenis beberapa waktu lalu, banyak orang yang menyapaku dengan dua hingga tiga kata ketika mereka melihatku. Meski begitu, haruskah kusebut mereka itu temanku? Aku meragukan itu. Kalau cuma sekedar level menyapa, kurasa apakah kita kenal atau tidak bukanlah sebuah masalah – kita malah bisa saling menyapa meski kita tidak kenal. Misalnya ketika kau sedang mengantri untuk membeli ramen, kau mungkin akan memiliki sebuah obrolan dengan mengatakan “Wah ramai juga ya?”, “Aku capek setiap hari mengantri seperti ini”. Tapi kau sendiri tidak mau menyebut mereka teman.

  Seperti inilah teman yang seharusnya:

  “Hayato-kun, kau sudah memutuskan akan pergi kemana?”

  “Aku berpikir untuk mengunjungi sesuatu yang berhubungan dengan media atau perusahaan multinasional.”

  “Whoa, bro, lu serius amat. Hayato, lu ini superman ato gimana? Kita ini umur berapa coba? Gue juga harus menghormati orang tua gue juga.”

  “Kita harus menentukan lokasinya dengan serius, eh?”

  “Bener banget bro. Meski begitu, jangan lupa kalau kita juga masih remaja.”

  Bukankah obrolan semacam itulah yang dimiliki oleh teman? Menjadi teman berarti mampu berbicara ke yang lain tanpa mempedulikan dunia ini. Aku bahkan hampir tertawa jika melakukannya, jadi pertemanan atau sejenisnya itu adalah hal mustahil bagiku. Apa-apaan tadi omong kosong tentang menghormati orang tua? Apa dia itu semacam rapper?

  Hayama Hayato dikelilingi 3 pria dan dia menjadi pusatnya, seperti yang kulihat setiap harinya. Semuanya sangat senang memanggilnya Hayato, dan Hayama sendiri mau memanggil nama depan mereka juga. Sikap yang menunjukkan ‘pertemanan’ itu menunjukkan sebuah adegan yang terasa hangat.

  Tapi aku bisa merasakan kalau mereka itu hanya pura-pura memanggil teman mereka dengan nama depan masing-masing. Memanggil nama depan seseorang adalah sesuatu yang hanya terjadi di sinetron, manga, dan anime. Adegan mereka semua itu hanya berdasarkan skenario. Mereka hanya membohongi teman mereka masing-masing.

  ...Kurasa tidak ada ruginya jika aku sendiri mencoba hal itu, benar tidak? Mungkin akan menjadi pengalaman yang bagus. (Aku sebenarnya tidak punya dendam terhadap manga yang belum kubaca, aku hanya dendam terhadap orang yang menggambarnya. Jika aku mencoba membaca manga itu dan ternyata jelek, aku akan menghajar orang yang menggambar manga itu sekuat tenagaku).

  Experimen: Apakah memanggil nama depan seseorang akan mengubah hubunganmu dengan orang itu?

  “Saika.”

  Ketika aku memanggil nama depannya, Totsuka hanya diam saja. Dia hanya diam tidak bergerak. Kedua matanya melebar dan berkedip dua hingga tiga kali, mulutnya dibiarkan terbuka.

  Nah lihat buktinya? Itu tidak membuat hubunganmu menjadi lebih baik. Biasanya, memanggil nama depan seseorang ketika kau sendiri tidak akrab akan membuat mereka jengkel. Seperti, ketika Zaimokuza memanggilku Hachiman, aku secara otomatis akan tidak mempedulikannya. Yang ingin kukatakan adalah ketika para babi yang menganut prinsip riajuu melakukan itu, mereka sebenarnya berbohong dan pura-pura tidak marah.

  Kurasa aku harusnya segera minta maaf ke Totsuka.

  “Ah, maaf yang barusan...”

  “...Aku sangat senang. Ini pertamakalinya kau memanggil nama depanku.”

  “Aku baru saja...Apa...?”

  Totsuka tersenyum kepadaku, kedua matanya seperti dipenuhi sebuah emosi yang dalam. Apa-apaan ini? Apakah ini artinya hidupku akan terasa berarti? Terpujilah para riajuu(penyelamatku!). Aku bahkan mulai menangis dibuatnya.

  Totsuka melihat ke arahku dan pura-pura batuk.

  “Jadi, umm...Bolehkah kupanggil kau dengan Hikki?”

  “Jangan pernah menyebutku dengan nama itu.”

  Tidak, sekali lagi tidak. Saat ini hanya ada satu orang yang memanggilku dengan nama aneh itu, dan jika orang lain tahu maka habislah aku. Melihat bagaimana aku menolak hal itu, Totsuka terlihat kecewa, lalu dia pura-pura batuk lagi.

  “Kalau Hachiman, bagaimana?”

  ...

  DING DING DING!

  Suara itu terdengar di kedua telingaku.

  “Bi-Bisa ulangi lagi?!”

  Totsuka tersenyum, seperti bingung akan permintaanku yang aneh itu. Dia tampak manis ketika bingung – kecuali mendapatkan masalah yang sebenarnya.

  “...Hachiman,” dia mengatakan itu dengan malu-malu, melihat reaksiku diantara kedua jari-jarinya.

  “Hachiman?” dia mengatakan itu dengan nada yang penuh tanya dan memiringkan kepalanya.

  “Hachiman! Apa kau mendengarkanku?” dia mengatakan itu dengan keras, sambil mengembungkan pipinya.

  Melihat ekspresi Totsuka yang marah itu sudah cukup untuk membuatku kembali ke diriku yang normal. Oh sial, aku membiarkan diriku terperangkap dalam manisnya dirinya tanpa berpikir banyak...

  “Uh, uhhh. Maaf. Apa yang kau katakan tadi?” aku berpura-pura kalau aku baru saja melamun, tapi sebenarnya aku sedang menulis hasil eksperimenku barusan di pikiranku.

  Kesimpulan: Totsuka sangat manis sekali ketika kau memanggilnya dengan nama depannya.









x x x









  Menjelang petang, suasana ramai di halaman sekolah mulai tidak terdengar lagi. Dari ruangan ini, kau bisa melihat cahaya terakhir dari matahari yang tenggelam di teluk Tokyo, memberikan jalan bagi kegelapan yang mulai menguasai angkasa.

  “Ohh...Jadi sudah tiba saatnya bagi kegelapan untuk datang, huh...?”

  Seorang anak muda membisikkan itu sambil mengepalkan tangannya. Sambil melakukan itu, sarung tangan kulit palsu yang dia pakai itu membuat bunyi seolah-olah tangannya mengepal dengan serius. Dia menatap ke arah lengannya yang seberat 1kg itu, lalu mendesah.

  “Sudah tiba saatnya untuk menghancurkan segel itu...”

  Tidak ada satupun suara yang merespon kata-katanya itu.

  ...Meskipun ada 3 orang lainnya yang berada di ruangan ini.

  Orang yang melihat kami bertiga, dan tentunya berharap kami untuk mengatakan sesuatu, adalah Zaimokuza Yoshiteru. Dan orang yang tidak mempedulikannya dan hanya membaca bukunya sedari tadi adalah Yukinoshita Yukino. Orang yang sedang gugup sambil melihat ke arahku dan Yukinoshita seperti hendak meminta tolong adalah Yuigahama Yui.

  “Jadi apa maumu, Zaimokuza?” tanyaku, setelah itu aku mendengar suara embusan napas Yukinoshita yang berat.

  Yukinoshita lalu menatapku dengan tajam. Kedua matanya seperti berkata... 

  [Kau harusnya tidak mempedulikan dia!]

  [Yeah, tapi harus ada orang yang melakukan itu!]

  Aku sebenarnya tidak ada minat untuk berbicara dengannya, tapi dia mengoceh kesana-kemari selama setengah jam. Ada apa dengan bahasannya tentang But Thou Must di Dragon Quest V? Kalau aku tidak berbicara kepadanya, dia akan terus mengoceh sampai kiamat.

  Setelah aku bertanya kepadanya, Zaimokuza menggaruk ujung hidungnya dengan gembira dan tertawa seperti sedang tersanjung. Sial, orang ini benar-benar sangat mengganggu.

  “Ah, maafkan aku. Aku baru saja mendapatkan sebuah kalimat yang bagus, jadi aku harus mengatakan itu dengan keras agar memperoleh ritme dan perasaan tentang itu. Oho, memang aku ini seorang penulis tulen...Aku memikirkan tentang novelku ketika aku terbangun dan ketika aku tertidur. Ini memang sebuah takdir yang dimiliki oleh seorang penulis.”

  Yuigahama dan diriku terlihat lelah melihat tingkahnya dari tadi. Yukinoshita lalu menutup bukunya. Zaimokuza langsung kaget dibuatnya.

  “Kupikir seorang penulis adalah seseorang yang menciptakan sesuatu...” Yukinoshita mengatakan itu. “Jadi apakah kau sudah menulis sesuatu, bisa kulihat?”

  Tubuh Zaimokuza seperti merespon kata-katanya dan membuat suara aneh seperti sedang tersedak. Reaksinya sangat mengganggu. Tapi memang cukup aneh, Zaimokuza terlihat berani sekali hari ini. Dia lalu menegakkan posisinya dan pura-pura batuk.

  “...Ahem. Itu benar untuk hari ini...Aku akhirnya bisa menggapai apa yang kuinginkan. Aku sedang berada di jalan menuju El Dorado!”

  “Apaan, apa kau memenangkan hadiah?” tanyaku.

  “Bukan, belum sampai kesitu...Ta-Tapi, itu hanya menunggu waktu saja!” Zaimokuza menyatakan itu dengan memasang pose, berpura-pura sangat antusias dan superior, entah kenapa dengan dia hari ini.

  Zaimouza mengibaskan bagian belakang jubahnya.

  “Hahaha, dengarkan dan kagumlah!” dia berteriak dengan suara yang aneh.

  “Di kesempatan ini, aku telah memutuskan untuk mengunjungi penerbit novel sebagai tempat kegiatan ‘Mengunjungi Tempat Kerja!’! Dengan kata lain – apa kalian paham, paham tidak?”

  “Tidak, kamu ngomong apa sih?”

  “Kesimpulan yang buruk sekali, Hachiman. Dengan kata lain, ini pertamakalinya bakatku ini akan dikenali. Aku sedang membuat sebuah koneksi dengan penerbit.”

  “Hei, jangan besar kepala dulu.” akupun berhenti sejenak. “Sumpah ini, kau ini mirip seperti bocah yang bergaul dengan seorang Senpai yang nakal. Kau bahkan lebih buruk daripada seorang pengidap sindorm kelas 8 yang tidak bisa menahan dirinya.”

  Zaimokuza tidak mempedulikan kata-kataku dan mengerang seperti tidak pernah terjadi apa-apa dengan kata-kataku. Jujur saja, suaranya terdengar menakutkan ketika mengatakan:

  “Studionya yaitu...Castingnya...” dia mengatakan itu ke dirinya sendiri.

  Lagipula, diluar sana banyak sekali penerbit yang jelek. Jika dia percaya kalau masa depannya akan sangat cerah, maka aku tidak bisa mengatakan apapun lagi kepadanya.

  Tapi, ada sesuatu yang aneh dari semua ini.

  “Zaimokuza, aku kagum dengan grupmu yang mau mendengarkan pendapatmu.”

  “Apa? Apa kau beruaha mengatakan kalau aku ini orang lemah...Well, terserah kamu. Kebetulan saja aku bertemu dengan dua orang otaku lain di kelasku. Aku bahkan tidak mengatakan kalau aku ingin pergi ke penerbit dan mereka sudah memutuskan untuk pergi kesana. Mereka terlihat tersenyum licik dan berpikiran kotor. Aku cukup yakin kalau mereka ingin pergi ke penerbit novel gay itu. Cinta mengalahkah segalanya, dan aku tidak punya hal lain untuk kukomplain.”

  Yuigahama terlihat berusaha menghindari untuk melihat wajah Zaimokuza.

  “Kau harusnya mencari grup yang berisi orang-orang setipe denganmu...” dia mengatakannya sambil mendesah pasrah.

  Tapi Zaimokuza sudah terlibat terlalu dalam. Ada sesuatu dimana dia menolak untuk mengikuti ide itu karena dia sedang berada bersama orang-orang yang memiliki hobi serupa. Kupikir ini semacam perang suci keagamaan.

  “Begitu ya, mengunjungi tempat kerja, huh...” Yuigahama menggumamkan itu dengan emosi yang dalam.

  Dia lalu melirik ke arahku sebelum memalingkan pandangannya. Kedua matanya seperti baru saja keluar dari kolam renang dan wajahnya terlihat memerah. Apa dia kena flu?

  “Umm, Hikki, kau sendiri mau pergi kemana?” dia menanyakan itu dengan ragu-ragu.

  “Ke rumahku.”

  “Yeah, bukan itu!” Yuigahama mengatakan itu sambil mengibas-ngibaskan tangannya.

  Aku masih belum menyerah soal itu, tapi karena aku tidak ingin melihat Hiratsuka-sensei menghajarku hanya karena jawaban itu, jadi kuputuskan untuk memikirkannya dengan baik.

  “Hmph, well, terserah grupku saja mau kemana, aku tinggal ikut mereka saja.”

  “Wow, kau tidak mau mengusulkan tempat ke teman grupmu?”

  “Nah...Aku pernah melakukan hal serupa di masa lalu, tapi aku akhirnya malah merepotkan orang-orang, jadi aku malas untuk berbicara lagi.”

  “Begitu ya – oh, tunggu. Oh.”

  Seperti biasanya, dia menginjak ranjau darat. Yuigahama mungkin sangat buruk dalam bermain minesweeper.

  “Maaf.”

  Kalau dipikir-pikir lagi, ini mengingatkanku akan sesuatu. Sebenarnya, “buatlah grup yang terdiri dari 3 orang” adalah perintah yang sangat buruk daripada “buatlah grup yang terdiri dari 2 orang”. Kalau cuma berdua, kau bisa diam saja dan biarkan orang yang lain memutuskan. Tapi kalau grup berisi 3 orang, dan dua orang lainnya berdebat tentang sesuatu, maka kau seperti berada dalam sebuah loop.

  “Jadi, pada akhirnya kau tidak mau mengusulkan...?” Yuigahama menggumamkan itu.

  “Kalau kau sendiri, hendak pergi kemana, Yuigahama-san?” tanya Yukinoshita.

  “Yeah. Kurasa tempat yang dekat-dekat saja.”

  “Jawaban itu merupakan jawaban yang selevel dengan pikiran Hikigaya-kun...”

  “Jangan melibatkanku dengan grupnya,” kataku. “Aku ingin ke rumahku itu sudah merupakan sebuah impian terbaikku. Ngomong-ngomong, kemana kau akan pergi? Ke kantor polisi? Pengadilan? Atau mungkin penjara?”

  “Salah semua,” Yukinoshita terlihat berusaha menahan tawanya dengan ekspresi yang dingin. “Kau tampaknya tahu betul caraku berpikir.”

  Ufufu.
 
  Lihat kan maksudku? Suara tawanya sangat menakutkan.

  Sejauh yang kutahu, Yukinoshita akan selalu terlihat sangat pintar, tapi itu ketika dia benar-benar tidak menyukaimu. Anehnya, dia tidak hanya mengatakan sesuatu yang kejam, dingin, dan tidak manusiawi. Ufufu. Ada apa dengan suara tawanya yang lugu itu?

  “Kupikir aku akan pergi ke sebuah tempat yang bersifat think tank – seperti lembaga penelitian. Kurasa aku akan memilih yang seperti itu.”

  Fakta kalau Yukinoshita sudah menentukan pilihannya menunjukkan bagaimana dia sangat efektif dalam mengambil keputusan. Kalau begini, akan sangat mudah membuatku teringat bagaimana dirinya berubah dengan cepat dari sikap yang dingin menjadi sikap yang serius.

  Ada seseorang yang menarik lengan blazerku, membuatku penasaran. Oi bocah, lu ngapain? Akupun menolehkan kepalaku untuk melihatnya.

  Ternyata Yuigahama. Wajahnya terlihat dekat tanpa sepengetahuanku. Bau tubuhnya ternyata enak juga, dan rambutnya yang terurai itu dekat dengan leherku. Ini pertamakalinya aku merasa dekat secara fisik dengan Yuigahama. Berbeda dengan sikapku yang menganggapnya mengganggu, jantungku mulai berdetak kencang.

  “H-Hikki...”

  Dia berbisik di telingaku dan terdengar embusan napas dari mulutnya. Itu saja sudah cukup membuat telingaku gatal.

  Dari jarak kami berdua, kami bisa mendengar ada dua detakan suara. Mungkinkah itu...Tidak...Mungkinkah yang kudengar barusan itu suara detakan dadanya...?

  “Apa sih thinkie tank itu? Apa tanknya komunitas sosial?” dia mengatakan itu seperti suara dari wanita paruh baya saja.

  Tiba-tiba aku tidak mendengarkan suara itu lagi, mungkin suara tadi semacam kelainan jantung atau semacamnya.

  “...Yuigahama-san,” Yukinoshita mengatakan sambil mendesah.

  Setelah Yuigahama menjauh dariku, Yukinoshita mulai menjelaskan kepadanya. “Tahu tidak, think thank itu – “

  Yuigahama mengangguk untuk menunjukkan perhatiannya atas penjelasan itu. Keduanya seperti sedang melangsungkan sesi belajar bersama. Melihat mereka di salah satu sudut mataku, akupun teringat kegiatan penting yang tertunda yaitu membaca manga shoujo. Setelah Yukinoshita selesai menjelaskan ke Yuigahama, sudah 15 halaman terlewati.

  Matahari senja sudah hampir menyentuh lautan. Dari ruangan ini, aku bisa melihat permukaan lautan terlihat memantulkan cahaya dari kejauhan. Jendela lantai empat ini memberikan pemandangan para member klub baseball yang sedang membersihkan lapangan, para member klub sepakbola yang sedang mengangkut gawang mereka, dan member klub atletik sedang membawa halang rintang beserta alat kegiatan mereka yang lain.

  Kurasa sebentar lagi kegiatan klub akan selesai. Di saat yang bersamaan, kedua mataku melihat ke arah jam dinding, Yukinoshita menutup kedua bukunya. Tiba-tiba, Zaimokuza kaget ketika Yukinoshita melakukannya. Ya ampun, orang ini mudah sekali ketakutan.

  Aku tidak tahu siapa yang memulai hal ini, tapi sikap Yukinoshita yang menutup bukunya harusnya menjadi sinyal kalau kegiatan klub berakhir untuk hari ini. Seperti melihat tanda itu, Yuigahama juga ikut membereskan barang-barangnya disini dan bersiap untuk pulang seperti diriku.

  Pada akhirnya, tidak ada satu orangpun yang datang ke klub dan meminta pertolongan kami. Entah mengapa, satu-satunya orang yang datang hanya Zaimokuza, dan dia adalah orang yang paling tidak kami inginkan untuk datang.

  Bagaimana jika pulang sekolah nanti aku mampir ke warung ramen...

  Ketika aku memikirkan tentang makan malam, ide mampir ke Horaiken tiba-tiba muncul di kepalaku. Itu adalah restoran ramen di Niigata, tapi kuah sup mereka merupakan sup terbaik yang pernah ada. Zaimokuza pernah menceritakan itu kepadaku. Oh sial, aku mulai meneteskan air liurku, heh.

  Tiba-tiba, aku mendengarkan suara ketukan pintu yang berirama. “Siapa yang mengetuk pintu di jam segini?”  Karena membuat imajinasiku tentang ramen buyar seketika, aku menatap ke arah jam dinding dengan kecut.

  Aku sering berpura-pura tidak ada di rumah ketika kejadian seperti ini terjadi di rumahku. Ketika aku menatap ke arah Yukinoshita untuk bertanya apa yang harus kita lakukan, dia mengatakan “Silakan masuk!”. Dia bahkan tidak melihat ke arahku ketika menjawabnya!

  “Maaf sudah mengganggu.”

  Suara itu adalah suara pria yang terdengar keren, suara yang bisa membuatmu tenang ketika mendengarnya. Jadi pria inilah yang mencuri ramenku barusan...

  Akupun menatap ke arah pintu dengan ekspresi kesal, dan diriku terkejut ketika melihatnya. Dia adalah seseorang yang kupikir tidak akan pernah datang ke ruangan ini.







x x x







  Dia adalah pria tertampan dari semua pria di sekolah ini. Saking tampannya sehingga julukan tampan tidak cukup lagi untuk menggambarkan dirinya.

  Rambutnya yang berwarna coklat ditata rapi seperti memakai minyak rambut. Tanpa sadar, dia melirik ke arahku lewat frame kacamatanya yang terlihat trendi, dan entah mengapa dia memasang senyum yang terlihat picik ketika kedua mata kami bertemu. Secara spontan, aku menatapnya dengan sinis juga. Saking tampannya sehingga aku hampir saja membungkuk di hadapannya.

  “Maaf karena momennya kurang tepat. Aku ada sedikit request untuk kalian.” Dia mengatakan itu sambil menaruh tas olahraga bermerk UMBRO di lantai dengan santainya. Lalu dia menarik kursi terdekat sehingga berhadapan dengan Yukinoshita sambil mengatakan “Apa boleh duduk disini?”.

  Semua yang dia lakukan seperti memancarkan aura tertentu. “Ya ampun, aku kesulitan untuk pergi kesini dari klubku. Karena kegiatan klub akan vakum ketika mendekati ujian, jadi kupikir aku harus menemui kalian hari ini tidak peduli apa yang terjadi. Maaf ya.”

  Orang-orang yang punya keperluan semuanya seperti itu. Dia bahkan tidak menyadari diriku yang hendak pulang dan menikmati kebebasan di rumah. Mungkin karena diriku ini adalah seorang ninja.

  Dia barusan bilang datang kesini setelah sibuk dengan klubnya, karena klub kami hari ini hanya duduk-duduk saja, mengapa tidak ada bau keringat darinya yang menyebar di ruangan ini? Malahan, ada bau lemon yang menyegarkan mulai tercium di ruangan ini.

  “Kurasa sampai disitu basa-basinya,”

  Yukinoshita mengatakan itu dengan datar, memotong obrolan ceria pria tersebut. Entah mengapa, aku merasa sikapnya jauh lebih tajam dari biasanya.

  “Kau kesini karena ada keperluan, benar begitu? Hayama Hayato-kun.”

  Nada tegas dari Yukinoshita tidak menggoyahkan senyuman Hayama Hayato.

  “Ah, kau benar. Kalau tidak salah, ini adalah Klub Relawan, benar tidak? Hiratsuka-sensei menyuruhku untuk datang kesini jika membutuhkan bantuan, jadi...”

  Setiap kali Hayama berbicara, ada tiupan angin yang menyegarkan bertiup dari arah jendela, entah mengapa bisa begitu. Ya ampun, apa dia bisa mengontrol kekuatan angin atau sejenisnya?

  “Maaf kalau momennya tidak tepat. Kalau kau, Yui, dan yang lain ada rencana, aku akan datang lagi di lain waktu...”

  Setelah mendengar namanya disebut, Yui langsung tersenyum. Tampaknya seluruh orang yang berada di atas kastaku tidak bisa luput dari Hayama.

  “Kurasa tidak masalah. Aku tidak keberatan. Kau kan calon kapten Klub Sepakbola, Hayato-kun. Tidak heran kalau kau butuh waktu lama untuk pergi kesini!”

  Satu-satunya orang yang berpikir seperti itu adalah Yuigahama. Yukinoshita sendiri tidak terpengaruh, sementara Zaimokuza duduk terdiam, dengan wajah terlihat pucat.

  “Ahh, harusnya aku juga mengatakan maaf kepadamu, Zaimokuza-kun,” kata Hayama.

  “Huh?! A-Ahem! Er, aku sendiri tidak keberatan, uhh, kurasa aku akan pulang lebih dulu...”

  Hanya dengan membuka mulutnya, Hayama langsung menghilangkan aura ramah di ruangan ini kepada Zaimokuza. Setelah Hayama selesai melakukan pekerjaannya, Zaimokuza terlihat seperti satu-satunya orang yang bersalah dengan tetap berada di ruangan ini.

  Zaimokuza lalu pura-pura batuk.

  “H-Hachiman, sampai jumpa nanti!”

  Dia mengatakan itu dengan terburu-buru dan pergi. Meski dia terlihat sedang berlari, aku bisa melihat ekspresi wajahnya yang sedang tersenyum.

  ...Kurasa aku paham bagaimana rasanya terluka seperti itu.

  Jujur saja, aku tidak tahu mengapa bisa begini. Tapi orang yang terbuang di SMA sepertiku ini, selalu menghindari terlibat kontak dengan siswa-siswa populer. Kita selalu memberikan jalan bagi mereka ketika di lorong, dan ketika mereka berbicara kepada kita, 80% kita akan tergagap-gagap meresponnya. Bukannya kami ini cemburu atau membenci mereka. Ketika mereka mengingat nama kita, kita merasakan semacam kebahagiaan.

  Pria seperti Hayama mengetahui namaku dan siapa diriku. Mengetahui hal tersebut saja seperti memperoleh kehormatanku kembali.

  “Kau juga, Hikitani-kun,” kata Hayama. “Maaf sudah menyita waktumu.”

  “...Gah, tidak usah dipikirkan.”

  Dia salah menyebutkan namaku! Selamat tinggal kehormatanku yang malang.

  “Yeah, lu ngapain kesini?” Aku mengatakan kata-kata yang tidak baku tersebut, karena aku sendiri secara tidak sadar berusaha mengekspresikan emosiku karena dia salah menyebut namaku atau sejenisnya.

  ...Tidak, benar itu! Aku benar-benar tertarik dengan masalah Hayama. Jujur saja, sulit membayangkan kalau ada pria populer, pria yang dicintai oleh siapa saja bisa memiliki masalah. Bukan maksudku ingin mengetahui kelemahannya agar bisa mengejeknya...

  “Ah. Well, soal itu,” Hayama mengatakan itu sambil mengambil HP-nya.

  Dia menekan tombol-tombol di HPnya, mengakses bagian SMS dan menunjukkannya kepada kami.

  Disampingku, Yukinoshita dan Yuigahama mencondongkan kepalanya untuk melihat isi SMS tersebut. Dengan tiga orang berkerumun untuk melihat layar berukuran kepalan tangan, akupun terlihat pusing. Mereka berdua ternyata aromanya enak sekali. Tapi setelah aku mundur agar memberikan mereka ruang untuk melihat layarnya, Yuigahama mengatakan “Ah...”

  “Ada apa memangnya?” tanyaku.

  Yuigahama mengambil HP miliknya dan menunjukkannya kepadaku. Dia menerima SMS yang isinya kurang lebih sama dengan milik HP Hayama.

  Kurang lebih, isi SMS itu menceritakan tentang sesuatu. Dan SMS itu tidak hanya satu saja. Setiap Yuigahama menekan tombol scroll di daftar SMS yang diterimanya, ternyata penuh dengan SMS yang berisi hal-hal serupa. Apa mereka dikirim dari nomor-nomor khusus untuk spam? Kukira begitu. Setiap SMS yang masuk berisi gosip buruk tentang seseorang.




  Tobe member geng yang sering memalak siswa SMA bagian barat Chiba di sekitar stand permainan ketangkasan.



  Yamato ternyata super brengsek.



  Ooka sengaja bermain kasar di pertandingan persahabatan untuk membuat cedera pemain andalan musuh.

 


  Kesan keseluruhan yang kudapat dari SMS ini seperti pesan yang sama dikirim berulang-ulang dengan nomor yang berbeda. Dan selain tertera nama pengirimnya, ada juga SMS yang dikirim dari nomor SMS spam, jadi pesan ini seperti sebuah SMS yang dikirim ulang dari beberapa nomor.

  “Hei, ini kan...”

  Yuigahama mengangguk.

  “Aku pernah mengatakan ini tempo hari, benar tidak? Inilah yang sedang ramai di kelas...”

  “Pesan berantai, begitu ya,” Yukinoshita yang sedari tadi diam, mulai berbicara.

  Seperti nama istilahnya, sebuah pesan berantai adalah sejenis pesan yang menyebar seperti rantai. Orang terakhir yang menerimanya, menyebarkan pesan tersebut lagi, semacam begini, “Sebarkan SMS ini ke lima orang” atau sesuatu sejenis itu. SMS ini seperti “Pesan terkutuk” di masa lampau: “Kalau kau tidak menyebarkan pesan ini ke lima orang dalam tiga hari, kau akan dikutuk”, blah blah. Ya semacam itulah SMS ini.

  Ketika melihat layar HP-nya, Hayama tersenyum kecut.

  “Setelah SMS semacam ini menyebar, suasana di kelas seperti menjadi tegang. Plus, aku marah karena yang digosipkan teman-teman sekelasku adalah teman-temanku.”

  Ekspresi Hayama berubah seperti Yuigahama yang sebelumnya: Dia seperti emosi karena hal itu disebabkan oleh pelaku yang tidak menampakkan wajahnya.

  Tidak ada yang lebih buruk dari seekor Iblis yang tidak bisa kau lihat wajahnya. Jika ada orang yang menghinamu tepat di depanmu, kau bisa balik menghina mereka. Atau kau bisa melampiaskan emosi dan kemarahanmu ke benda lain. Karena emosi seperti itu adalah salah satu sumber energi, kau bisa memanfaatkannya ke hal positif. Tapi jika perasaan emosi, iri, dan dengki tidak tahu harus diarahkan ke siapa, maka kau hanya bisa memendam emosi itu. Yang kau dapatkan adalah perasaan tidak nyaman yang menghantuimu setiap harinya.

  “Aku ingin menghentikan ini. Aku merasa ini sudah tidak benar,” Hayama menegaskan itu. Lalu dia menambahkan.

  “Oh, aku tidak ingin membuat ini menjadi semacam kegiatan berburu penyihir. Aku ingin tahu bagaimana caranya menyelesaikan ini secara damai. Jadi, kuharap kalian bisa membantuku untuk masalah ini.”
[note: perburuan penyihir ini mengacu ke kegiatan massif di tahun 1450-1750 dengan berburu penyihir, mengerahkan massa secara besar-besaran. Sangat masif di Eropa dan Amerika, sekitar 35000-100000 jiwa tewas akibat perburuan ini. Meski, saat ini masih ada kegiatan semacam ini secara terselubung.]

  Yak ini dia. Hayama baru saja melepaskan jurus mautnya: “The Zone”.

  Ijinkan aku untuk menjelaskan. “The Zone” adalah skill unik yang hanya dimiliki oleh seorang riajuu sejati, dan efek utama skill itu adalah kemampuan untuk mengontrol orang-orang di sekitarnya. Tidak seperti mereka yang merupakan riajuu gadungan (HA!) yang hanya berkumpul dan menunjukkan ekspresi idiot mereka, seorang riajuu sejati adalah orang yang sangat puas dengan dunia ini. Karena itulah, mereka tidak pernah memandang rendah siapapun – mereka terlihat ramah bagi orang yang paling hina di dunia ini. Jadi aku punya pedoman paten untuk menentukan apakah mereka riajuu gadungan atau sejati, yaitu “Apakah kau bersikap ramah terhadap Hikigaya Hachiman?”.

  Kupikir, Hayama adalah nice guy. Maksudku, dia mau berbicara kepadaku, tahu tidak? (Meski dia salah menyebutkan namaku).

  Sederhananya, kau bisa menyebut “The Zone” adalah sebuah aura unik dimana hanya orang-orang karismatik saja yang mempunyainya.  Kalau kubilang, mereka itu adalah orang baik yang bisa membaca suasana. Tapi kalau boleh jujur, mereka itu adalah golongan orang yang tidak memiliki opini sendiri. Kasarnya, mereka itu semua adalah makhluk sampah. Well, meski begitu aku tetap menyebut mereka sebagai orang baik.

  Di depan Hayama yang mengaktifkan kemampuan spesialnya, Yukinoshita menggaruk-garuk dagunya seperti sedang berpikir, lalu dia membuka mulutnya.

  “Jadi intinya, kau ingin kita menghentikan penyebaran SMS ini, benar?”

  “Mmm, kurang lebih begitu.”

  “Kalau begitu, kita harus menemukan siapa pelakunya,” kata Yukinoshita.








x  x  x




  Kalau merunut monolog Hachiman, sebenarnya banyak siswa yang menyapanya di sekolah, tapi Hachiman sendiri yang menganggap dirinya adalah penyendiri.

  ...

  Cerita Hachiman dengan gadis perwakilan kelas ada di vol 1 chapter 3.

  ...

  Sepertinya, 2 gadis di grup Zaimokuza adalah gadis fujoshi.

  ...

  Ufufu.

  ...

  Interaksi member klub ketika bertanya tentang lokasi kunjungan. Hanya pertanyaan dari Hachiman kepada Yukino yang dijawab dengan detail. Sepertinya Yukino memang berharap Hachiman yang bertanya seperti itu, sedang Hachiman sendiri berharap Yukino mau menjawabnya.

  ...

  Hayama memakai kacamata itu memang tanda tanya jika membaca volume 2 saja. Tapi terjawab di vol 10 chapter 4, Hayama mengemudikan mobil pribadi ke sekolah. Kacamata yang dipakai Hayama adalah kacamata style untuk pengemudi mobil.

  Kemungkinan lensa kontak? Hayama adalah (calon) kapten Tim Sepakbola, super langka melihat kapten tim sepakbola memiliki gangguan penglihatan.

  ...

  Kemungkinan besar sikap sinis Hayama terpicu oleh kedekatan Hachiman dan Yukino di vol 1 chapter 7.

1 komentar: