Minggu, 13 Maret 2016

[ TRANSLATE ] Qualidea of The Scum Epilog 1 : Kusaoka Haruma 1


x  x  x




  Dunia ini diciptakan oleh pendapat subjektif, ada beberapa hal di dunia ini yang aku tahu kalau aku tidak boleh lakukan (kalau itu memang masalahnya, harusnya diberi tanda tanya besar jika aku menyebut itu duniaku), tapi, kali ini adalah satu-satunya kejadian dimana aku tidak bisa paham mengapa bisa menjadi seperti ini.

  Tidak, aku sudah melakukan apa yang harus kulakukan. Aku sudah memberikan yang terbaik untuk memahami ini, bahkan aku sudah bersikap seharusnya. Tapi entah seberapa gigih orang yang mencoba melawan sistem seperti seekor monster hijau dengan mata yang sayu, ini jelas tidak akan berakhir bagus. Pada akhirnya, hanya kekosongan yang kudapat.

  Akupun tertidur di sebuah tempat tidur yang tidak kukenal dan membuka kedua mataku, dan yang kulihat adalah sebuah langit-langit ruangan yang tidak kukenal.

  Angin bertiup melewati jendela, seperti mendinginkan kulitku yang berkeringat. Akupun mengembuskan napasku dan melihat ke sekeliling tempat tidur ini.

  Meski dihalangi tirai jendela, cahaya yang berwarna kuning dari matahari sore ini menembus masuk.

  Cahaya tersebut menyinari rambut hitam yang berada di atas selimut, kulitnya yang putih, dan senyum seorang gadis di lenganku.

  Chigusa tersenyum dengan diselimuti selimut di sekujur tubuhnya, wajahnya terkubur dalam bantal. Bahu dan kakinya terpapar begitu saja, dan aku bisa melihat sedikit belahan dadanya. Melihatnya seperti ini seperti sebuah mimpi; bahkan aku secara sadar terus mengatakan kalau ini bukanlah kenyataan. Atau kau mungkin bisa mengatakan kalau ini semacam mimpi yang terus kuimpikan selama ini.



  Banyak hal di dunia ini yang bisa melanggar sebuah kesepakatan bersama. Saatnya untuk menghadapi kenyataan dan mengungkap misteri ini.

  "Umm, boleh kutanyakan sesuatu?"

  "Ada apa, Haruma-san?"

  "...Apa kau tidak masalah dengan ini? Dengan, umm...diriku," akupun terbata-bata mengucapkannya, suaraku terdengar sangat menyedihkan.

  Merespon itu, Chigusa menaruh jarinya di bibirku. Lalu dia mendekatiku dengan tawanya. Heh heh. Kedua bahu kita bersentuhan, membuat aroma tubuh kita bercampur menjadi satu seperti sampanye.

  "Aku tidak masalah dengan itu. Benar-benar tidak masalah. Maksudku, bahkan jika kau melakukan sedikit kesalahan, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Clumsyoka-san!"

  "...Bukan itu maksudku. Oh, ya sudah kalau begitu katamu. Maaf ya, Chibusa-san."

  Ketika kukatakan itu, dia menamparku. Thwack!

  "Ouuuch! Umm, ada apa? Serius, kau baru saja memukulku?!"

  "Aku selalu serius."

  Chigusa terlihat kesal. Dia lalu melepas selimut yang menyelimuti dadanya, dengan hembusan napas yang pendek, dia seperti hendak menyanyikan sesuatu.

  "Oleh karena itu aku serius ketika aku senang kau ada disini disampingku, Clumsyoka-san."

  "Oh, baiklah..."

  Kalau dia maunya begitu, maka aku tidak bisa menolaknya.

  Setelah terdiam sejenak, akupun berkata.

  "Kalau begitu aku juga ikut senang, Chibusa-san."

  Harusnya adegan tadi menjadi adegan manis antara kita berdua, tapi aku malah ditampar lagi dengan lebih keras olehnya, kali ini pipi sebelah kiriku. Ouuuch! Ya ampun, apa dia sebegitu marahnya soal dadanya? Maaf, lagipula aku tidak begitu peduli...

  Setidaknya, begitulah yang kupikirkan tentang mengapa dia menamparku, tapi kali ini alasannya berbeda.

  "Kau harus memanggilku dengan nama depanku. Lakukan dengan normal," kata Chigusa sambil memalingkan wajahnya dan membelakangiku.

  "Chigusa?"

  Tidak ada satupun respon ketika aku memanggilnya. Aku berusaha memperoleh perhatiannya beberapa kali tapi dia tidak mempedulikanku.

       Ini berarti bahwa, jika aku harus mengatakan itu, maka sekarang saatnya.

  "Yuu."

  Ketika aku menyebut namanya, Yuu membalikkan badannya. Jari-jarinya menyentuh tubuhku dan dia berbisik di telingaku.

  "Hanya seseorang yang kuanggap spesial saja yang kuperbolehkan memanggil nama depanku. Aku ini gadis super premium. Apakah kau bersedia mengorbankan seluruh hidupmu untuk itu?"

  "...Sampai sisa hidupku? Ini bukan penawaran yang bagus."

  Kali ini, dia menamparku di kedua pipiku seperti berusaha untuk meremasku. Kubilang sakit, tahu! Aku harusnya mengatakan itu, tapi itu tidak pernah keluar dari mulutku. Yuu memegangiku wajahku, dan yang bisa kulihat hanyalah wajahnya.

  Tubuh kami sedang berhadapan satu sama lain, tempat tidur ini bergetar seperti ada paus raksasa di sekitarnya. Getarannya tidak mau pergi; memberiku semacam perasaan yang aneh.

  Tidak ada tempat berpijak yang bagus untukku, tapi aku sendiri tidak sedang mencarinya. Wajah kami mulai mendekat satu sama lain, karena kami berdua memang menginginkan itu.

  Ketika kedua bibir kami bersentuhan, Yuu mendesah kecil. "Ah."

  Kedua matanya yang lebar menatap ke arah luar jendela. Ketika aku melihat dibalik bahuku untuk mengetahui apa yang dilihatnya, dia memaksa kepalaku untuk terus memandangnya.

  Duniaku, dan dunia penyendiri milikku, akan berakhir.

  Sebuah bayangan hitam menyelimuti dunia itu. Rambut hitamnya yang tertiup angin memantulkan cahaya senja.

  Ini terjadi begitu saja, ketika aku sedang tidak waspada.

  Kami berciuman, menandakan akhir dari cerita itu.




x Epilog I | END x

1 komentar: