Jumat, 29 Januari 2016

[ TRANSLATE ] Qualidea of The Scum Chapter 6 : Kusaoka Haruma 3



x  x  x






  Aku sudah melakukan 1 putaran penuh : jalan-jalan di toko buku dan permainan ketangkasan, membaca buku di kafe lalu window shopping di swalayan. Tanpa kusadari, waktu berlalu begitu cepat.

  Meski ini sudah hampir tengah malam, suasana kota masih terlihat sibuk.

  Jalan-jalan utama yang membentang dari timur ke barat masih terlihat terang-benderang. Di sepanjang jalan tersebut terlihat banyak sekali lampu penerangan jalan dan minimarket di tiap tikungan, begitu pula dengan bar dan karaoke, restoran sake dan ramen. Tapi jika kau berbelok ke salah satu gang sempit di jalan raya, tiba-tiba kau akan merasakan kegelapan. Cahaya dari lampu penerangan jalan raya hanya membuat bayangan terlihat lebih gelap dan pekat.

  Dengan pemikiran yang sama, Tokyo ketika senja mungkin akan terlihat lebih gelap daripada kota lainnya. Tidak karena gemerlap cahaya pertokoan di sepanjang jalan dan tidak pula karena suara keramaian dari para siswa yang sedang berjalan di seberang.

  Satu-satunya cahaya yang terlihat ketika kegelapan tiba adalah lampu kabut dari kendaraan yang berjalan di jalan raya dan lampu penerangan jalan yang samar-samar. Juga, cahaya dari lampu gedung-gedung tinggi ketika aku melihat ke arah langit.

  Sang cahaya yang bersinar di atas langit ini bukanlah cahaya bintang, tapi cahaya merah dari lampu. Bayangan sebuah gedung besar seperti bercampur dengan kegelapan malam dan menjadi tidak terlihat dengan jelas. Hanya kedipan lampu merah yang berada di gedung tersebut yang memberitahukan kehadiran gedung tersebut dengan jelas.

  Ketika siang hari, latar gedung tersebut seakan-akan tidak pernah kusadari keberadaannya, bahkan aku sendiri jarang sadar kalau ada gedung tersebut disana. Ketika bentuk gedung tersebut seperti tersembunyi dari pandanganku, aku mulai menajamkan penglihatanku untuk mencari keberadaan gedung tersebut.

  Oleh karena itu, apa yang kau lihat adalah apa yang akan kau dapatkan. Dan apa yang kau dengar mungkin adalah sesuatu yang ingin kau dengarkan.

  Bla bla bla. Aku memikirkan banyak hal yang tidak berguna ketika berjalan pulang ke rumah.

  Karena banyak rumah dan gedung-gedung apartemen baru dibangun di sana-sini, mengurangi jumlah lahan yang tersedia dan mengakibatkan jalan akses ke perumahan tersebut menjadi sempit. Mobil yang berlalu-lalang seperti berjalan perlahan karena jalan yang sempit, dan setiap itu terjadi, lampu mobil tersebut menerangi orang-orang yang sedang berjalan di trotoar jalan tersebut. Ada sebuah sepeda sedang berjalan dari arah yang berlawanan dan sepasang kekasih yang masih muda sedang berjalan di depanku. Tidak ada orang lain lagi yang terlihat. Kalau dibandingkan dengan jalan utama tadi, jalan ini terasa sangat sepi.

  Sayangnya, saking sepinya, aku bisa mendengar pasangan yang sedang bermesraan di depanku ini mengobrolkan sesuatu.

  "Maaf ya sampai membuatmu mengantarkanku sampai sejauh ini..."

  "Aku sebenarnya memang ingin mengantarkanmu pulang, kok..."

  "Oh jangan begitu, aku sebenarnya sudah senang sich kamu mengantarkanku ke stasiun. Tapi, terima kasih."

  Gadis itu mengatakannya sambil bermanja-manja di dekat si pria.

  Aku tidak bisa melihat dengan jelas wajah mereka karena gelap, tapi kalau melihat tampilannya, kurasa mereka masih muda. Mahasiswa, atau siswa SMA? Karena si gadis punya model rambut yang disanggul, memberikan kesan manis. Sedangkan si pria, dia tampaknya seumuran denganku, tapi apalah, masa bodo sama si pria.

  Keduanya seperti sangat menikmati waktu mereka berdua; ketika si pria berjalan di sisi trotoar yang lebih dekat ke jalan, dia menggenggam erat tangan pacarnya. Aku secara spontan mengepalkan tanganku. Berhentilah bermesraan di kompleks perumahanku, sialan. Mungkin karena aku menebarkan aura emosi yang tidak tertahankan, si pria terlihat sedang berkeringat dingin.

  "Harusnya aku yang berterima kasih kepadamu karena kau mau menemuiku, Maria."

  "Oh tidak, aku memang suka mampir ke tempatmu, Tsutomu..." si gadis mengatakannya sambil memandangi wajah si pria.

  Keduanya saling menatap satu sama lain. Tiba-tiba, mereka disinari lampu halaman rumah warga. Karena itu, aku bisa melihat wajah mereka. Ketika itu, aku berhenti mengepalkan tanganku. Maksudku, well, tidak ada satupun alasan bagiku untuk marah!

  "Lagipula, kalau aku tidak mampir ke tempatmu, kamu tidak akan pernah membersihkan ruanganmu, Tsutomu."

  "Ah, maaf ya. Oh, soal itu, kan kamu selalu ada di tempatku. Apa kamu ingin jalan-jalan dan pergi ke suatu tempat seperti tempo hari?"

  "Oh, ide yang bagus! Tapi aku sedang kesulitan keuangan..."

  Sedangkan aku dipenuhi oleh kebencian...

  Pria yang tampan dan gadis yang cantik akan terlihat enak jika berpasangan di depan mataku, tapi ketika sepasang manusia dengan wajah pas-pasan sedang bermesraan, hanya akan menimbulkan polusi saja. Persis seperti sebuah karakter di Hanasaka Tenshi ketika membaca puisi dengan keras-keras.

  Ketika sepasang kekasih mengumumkan kalau mereka berpacaran, mereka melakukan itu karena mereka tidak percaya diri dengan cinta mereka berdua. Ketika orang lain terlihat memasang ekspresi tidak setuju, mereka dengan yakin menafsirkan itu sebagai, "Kami ini saling mencintai satu sama lain, sehingga membuat orang lain terlihat cemburu," seperti mencari pembenaran. Ketika aku memikirkan itu, aku...aku tidak cemburu sama sekali! Sumpah!

  Ketika aku memikirkan itu dengan ekspresi suram, ternyata aku sebentar lagi akan tiba di pertigaan jalan. Kalau kau hendak menuju stasiun, maka kau belok ke kiri. Kalau ke kompleks perumahanku, maka belok kanan. Harusnya, di pertigaan ini adalah tempat mereka dan diriku akan berpisah.

  Sesuai dugaanku, suara percakapan mereka terdengar semakin menjauh seperti berbelok ke arah stasiun. Akupun bernapas lega dan mengambil langkah untuk hendak berbelok ke arah kompleks perumahanku.

  Setelah itu, sebuah pemandangan yang familiar tersaji di depanku. Setiap aku lewat tempat ini, aku akan bertemu dengan sebuah pertigaan.

  Tapi, kali ini aku menghentikan langkahku.

  Aku tidak melihat satupun orang datang dari arah kanan, dan tidak ada satupun orang di arah kiri. Malahan, suara sepasang kekasih tadi semakin terdengar jauh dan menjauh, seperti sedang berjalan berduaan dan semakin jauh dariku.

  Ada sebuah lubang besar terbuka di ujung pertigaan, dimana harusnya ada tembok besar yang menghalangi itu. Di kejauhan, terlihat ada lampu berwarna biru dan berkabut, berkerlip di tengah udara yang panas.

  "Kalau seandainya kau punya uang, kau maunya kemana?"

  "Oh, aku tidak masalah pergi kemana saja."

  Pembicaraan tidak jelas itu semakin jauh dan menjauh.

  Udara seperti semakin pekat.

  Itu juga berlaku ke kabut yang menyelimuti jalan ini juga. Dan cahaya lampu-lampu yang berasal dari pintu masuk apartemen sekitar terlihat merembet melalui kabut ini.

  Lampu merah dari menara gedung juga terpengaruh. Membentuk semacam ilusi dari gunung yang berkabut, dan seperti mustahil untuk melihat beberapa langkah ke depan.

  Meski begitu, sepasang kekasih tadi terus berjalan di tengah kabut tersebut.

  Langkah mereka seperti tidak terganggu, seperti tidak ada yang berubah sama sekali. Mereka seperti terus bergandengan tangan dengan mesra sambil membicarakan rencana liburan mereka.

  Ada sebuah portal dimensi, dimana membuka jalan menuju dunia yang berbeda. Dan yang lebih mengejutkan daripada pemandangan di depanku ini adalah sepasang kekasih tadi. Mereka mengobrol dengan santai, tanpa mempedulikan kejanggalan di pertigaan ini. Mungkin ada benarnya jika seseorang mengatakan kalau pasangan yang hendak bunuh diri bersama akan memiliki ekspresi wajah yang tenang.

  Setelah itu, keduanya menghilang dalam kegelapan.

  Yang tersisa hanyalah sebuah lubang hitam. Tidak, sebenarnya bukanlah lubang. Harusnya, tempat ini ada sebuah tembok besar, lalu tembok ini terlihat hilang dan ada jalan yang mengarah entah kemana, mungkin mengarah ke sebuah tempat yang tidak berujung.

  Kalau begitu, mungkin lebih tepat jika ini disebut sebuah jalan.

  Tepat ketika suara sepasang kekasih tersebut tidak terdengar lagi, jalan tersebut tiba-tiba menghilang.

  Entah mengapa, aku memaksakan kakiku yang membeku ini untuk terus berjalan, ketika aku melihat itu dari dekat, yang kulihat hanyalah tembok besar. Aku lalu menjulurkan tanganku, dan memastikan kalau ini benar-benar tembok.

  Tidak ada jalan di tempat tembok ini berdiri.

  Aku menyentuh tembok ini lagi sekali lagi, lalu menempelkan wajahku di tembok tersebut. Rasa dingin yang menyentuh wajahku ini sudah cukup untuk meyakinkanku kalau aku sedang berada di dunia yang nyata dan kembali ke realita.

  "...Sialan, apa-apaan ini?"

  Aku mengumpat begitu saja dan melihat ke sekelilingku. Meski begitu, aku tidak bisa melihat sepasang kekasih tadi. Mereka harusnya masih ada dalam jangkauan pendengaran, dan aku jelas-jelas sedang mengikuti mereka dengan mataku hingga saat-saat terakhir, meski begitu, aku tidak bisa melihat mereka dimanapun.

  Ada sebuah penjelasan familiar tentang situasi ini.

  Ada gosip yang mengatakan jika kamu berjalan bersama kekasihmu di pertigaan yang dekat kompleks perumahan pada waktu tengah malam, sebuah jalan baru akan terbuka di pertigaan tersebut. Mustahil untuk mengetahui jalan mana yang benar. Kalau kau memilih jalan yang salah, kau tidak akan bisa kembali lagi    atau semacam itu.

  Apa gosip itu benar adanya...? Tidak tidak tidak, mustahil itu benar. Pasti ini semacam trik atau plasma atau ilusi putri kerajaan atau bintang jatuh...

  Ngomong-ngomong, untuk melaporkan kejadian ini, aku mengambil HP-ku dan menekan beberapa tombol, lalu aku terhenti.

  ...Ini konyol sekali.

  Aku hanya berjalan dengan diselimuti rasa lelah, lalu salah melihat sesuatu. Entah itu sebuah ilusi karena aku kelelahan, atau itu hanya teman imajinasiku karena aku sendiri tidak punya teman yang real. Karena mereka tidak ada lagi, mungkin aku sudah selangkah lebih dewasa! Meskipun terdengar luar biasa dan romantis, "selangkah lebih dewasa" tadi merupakan kesimpulan dari mengalami hal yang mistis.

  Menelpon seseorang setelah menyadari melakukan kesalahan adalah trik anak SMP untuk mencari alasan agar bisa mengirim SMS ataupun menelpon gadis yang mereka sukai, tahu tidak?

  Aku harusnya pulang saja dari tadi.

  Sial, aku harus melihat hal-hal semacam tadi gara-gara omong kosong yang menghantuiku belakangan ini.








- Chapter VI | END -




  

  

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar