Jumat, 11 Desember 2015

[ TRANSLATE ] Oregairu Vol 7 Chapter 8 : Meski begitu, Hayama Hayato tidak bisa mengambil sebuah keputusan



x Chapter VIII x








  Pagi hari di hari ketiga darmawisata.

  Ini adalah hari dimana setiap siswa diberi kebebasan untuk pergi kemanapun mereka suka. Karena tidak diwajibkan harus bersama teman sekelas ataupun grup, kau bisa menghabiskan waktumu dengan klubmu. Para pasangan juga bisa memakai hari ketiga ini untuk berkencan juga. Ini juga berarti kau bisa pergi ke Osaka atau Nara karena tidak ada aturan yang menyebutkan kau harus pergi di daerah sekitar Kyoto. Selama tertulis bebas kemana saja dan bersama siapa saja, ini artinya kemanapun oke. Dan ini juga berarti sendirian kemanapun juga oke.

  Kegembiraan semacam itu membuatku merasa bisa tidur dengan cepat dan lelap.

  Seingatku, Totsuka barusan mencoba membangunkanku untuk sarapan, tapi karena aku masih linglung karena sehabis bangun, aku berkata “duluan saja, nanti aku susul”. Aku juga bahkan mengingat kalau aku membalasnya dengan gaya yang keren.

  Dan hasilnya, Hayama, Tobe, dan Totsuka pergi duluan dan sarapan bersama. Aku sendiri akhirnya memutuskan untuk segera bangun dan sarapan secepatnya sebelum jam makan pagi lewat.

  Tapi, aku tidak bisa tidur terus untuk saat ini. Bukannya aku takut ketinggalan untuk sarapan, tapi karena kita akan berganti penginapan malam ini. Dan itu berarti aku harus mengemas barang-barangku disini ke dalam tas dan menaruhnya di lobi secepatnya sehingga bisa dipindahkan oleh kurir.

  Aku mengucapkan selamat tinggal kepada futon yang selalu menemani diriku. Menyiapkan baju, menyelesaikan urusanku di kamar mandi, lalu mengganti bajuku serta menyiapkan tasku.

  ...Oke, tampaknya selesai, sekarang tinggal sarapan, lalu kembali ke kamar dan siap pergi. Ketika keluar ruangan, seseorang memanggilku.

  “Pagi, Hikki!”

  “Yo.”

  Otakku masih dalam status ‘booting’ karena statusku masih setengah mengantuk. Jadi, aku lupa bertanya mengapa dia ada di depan pintu kamar ini.

  “Oke, ayo pergi!”

  Dia terlihat sangat enerjik pagi ini.

  “Ah, aku mau makan dulu...kalau enggak salah ada di aula. Lantai dua kalau gak salah?”

  “Tidak, tidak, batalkan saja sarapannya.”

  “Batal? Ada apaan nih?”

  Mendengar kata-kata yang tidak familiar, aku akhirnya mencoba berpikir. Apa maksudmu dengan membatalkan sarapan?

  “Batalkan katamu? Tahu tidak, sebuah hari penuh energi itu berasal dari sarapannya. Tidak sarapan itu akan sangat buruk buatmu.”

  “Serius banget dengan hal-hal aneh...”

  Yuigahama tampaknya tidak mau memakai logikanya. Malahan, dia mendorongku dari belakang untuk masuk kembali ke ruanganku.

  “Yeah, yeah, cepat ambil tasmu dan taruh di lobi sehingga kita bisa langsung pergi.”

  “Tunggu, aku bingung ini! Ada apa ini...?”

  Mungkin ini keuntungan dari bawa barang sedikit, jadi aku cepat ketika menyiapkan tasku. Aku mulai malas untuk berdebat, jadi aku kembali saja ke ruanganku dan membawa tasku keluar.

  “Oke, sekarang taruh itu di lobi dan ayo kita pergi!”

  “Baiklah, tapi sebelum itu aku mau makan...”

  Aku bertanya itu kepadanya tapi Yuigahama hanya menggumam dan bernyanyi ceria seperti antusias untuk jalan-jalan di kota tanpa mempedulikan komplainku. Dia lalu berjalan di depanku seperti tidak pernah terjadi apapun.

  Oi...gimana sarapanku...?









x    x    x










  Belakangan ini, hotel terlihat semakin nyaman, terutama area dimana disitu banyak turisnya. Mereka menawarkan pengiriman tas dan barang bawaan ke tempat yang diinginkan para tamu. Service ini dimanfaatkan oleh peserta darmawisata. Kami gunakan service itu untuk mengirimkan tas kami ke penginapan yang akan kami gunakan malam ini.

  Penginapan yang akan kami gunakan nanti ada di Arashiyama, sebuah daerah yang terkenal di Kyoto, terutama karena keindahannya.

  Karena sistem service yang nyaman ini, siswa darmawisata di hari ketiga benar-benar merasakan sebuah arti dari kebebasan.

  Harusnya kutambahkan juga kalau kebebasan itu sudah merambah ke perutku; dan ini gara-gara tidak sarapan.

  Setelah keluar dari hotel, kami memutuskan untuk jalan kaki.

  Diriku dan Yuigahama melihat sebuah kafe berwarna putih diantara deretan pertokoan disini. Di sebelah kafe tersebut ada toko dengan corak Jepang Kuno. Dari papan tokonya, tertulis kalau kafe dan toko tersebut berada di management yang sama.

  “Ah, sepertinya itu deh.”

  “Apaan...?”

  “Tempat dimana kita akan sarapan.”

  “Eh, bukankah kita akan sarapan di aula hotel lantai dua?”

  “Aku sudah bilang ke guru kalau kita membatalkan sarapannya.”

  Setelah mengatakan itu, dia masuk ke kafe tersebut. Eh, kau diperbolehkan untuk membatalkan? Maksudku, tentu, sekolah memang memberikan kita kebebasan untuk melakukan apapun yang kita mau, tapi itu terlalu berlebihan!

  Interior kafe ini memiliki motif Jepang jaman dulu, juga memiliki sebuah kebun di dalamnya. Kami harus melewati kebun tersebut untuk menuju tempat duduk pelanggan yang berada di teras. Di teras tersebut, ada seorang gadis yang terlihat elegan sedang meminum kopinya, Yukinoshita.

  “Oh, kau telat sekali.”

  “Tunggu dulu, ada apa ini?”

  Pikiranku tidak bisa diajak untuk berpikir logis karena di kepalaku sejak tadi terbayang Yukinoshita yang meminum kopinya di teras ini, dan pemandangan tersebut sangat cocok dengan dirinya.

  “Ya, ‘morning’.

  “Eh, yeah benar, ‘good morning’ juga.”

  Yukinoshita terlihat tenang dan memulai percakapan ini dengan sebuah pelajaran bahasa Inggris.

  “Maksudku bukan begitu. Maksudku, ini adalah ‘morning cafe’ dan punya ‘special morning service’.

  “Ah, kafe-kafe seperti itu juga lagi ramai di Nagoya.”

  “...Well, kalau kamu tahu itu, berarti tidak masalah.”

  “Kupikir Kyoto juga punya banyak kafe seperti itu?”

  “Uh huh. Kudengar tempat ini sangat terkenal juga.”

  Yuigahama memanggil pelayan kafe dan membuat pesanan.

  Memang betul, kafe semacam ini memang memiliki tampilan yang menarik, dan aku yakin ini sangat populer di kalangan para gadis. Oh, ini mungkin maksud Yukinoshita dengan melihat tempat-tempat rekomendasi yang disukai para gadis.

  “Aku tadi melihat Ebina-san jalan-jalan di kompleks pertokoan ini, kurasa mereka akan mampir kesini sebentar lagi.”

  “Ah, berarti Tobecchi benar-benar mengikuti rute yang kita sarankan.”

  Begitu ya. Setelah mendengarkan percakapan ini, aku sadar sepenuhnya maksud semua ini. Tampaknya ini yang dimaksud Yukinoshita kemarin dengan tempat-tempat yang bisa membuat nyaman para gadis.

  Jadi, dia memberitahu Yuigahama soal rutenya, lalu dia memberitahukan itu ke Tobe. Setelah itu, Tobe menawarkan Ebina untuk datang ke tempat menarik dan terkenal seperti ini. Hmph, kurasa Tobe benar-benar sedang berjuang keras.

  Ketika aku memikirkan itu sambil duduk santai, tampaknya piring pesananku sudah sampai.

  Menunya terdiri dari daging sapi dan roti, telur dadar dengan salad, kopi, dan jus jeruk. Meskipun ini menu sarapan yang standar, tapi cara mereka menyajikannya memang menggugah selera makanku.

  “Kalau begitu, ayo kita berdoa dahulu sebelum makan.”

  “Benar, terima kasih atas makanannya.”

  “Terima kasih atas makanannya.”

  Kami mengucapkannya sambil menepuk kedua tangan kami. Tapi, memang cukup janggal jika kita berdoa dengan gaya Jepang tapi menunya makanan barat.

  Ketika kami memakan sarapan kami, Yukinoshita menjelaskan rencana kita selanjutnya.

  “Pertama, kita akan kunjungi Fushimi Inari Taisha.”

  “Koridor Tori ya?”

  “Oh, aku sering melihatnya di TV.”

  Ketika Yuigahama menjawabnya, Yukinoshita mengangguk. Bukan hanya terkenal, pemandangan koridornya juga sangat sempurna. Kurasa itu sangat terkenal di kalangan para gadis.
[note:Koridor Tori di Inari sangat terkenal, ada semacam jalur dimana ada gerbang merah tersusun di sepanjang jalan. Ada dewa rubah yang terkenal, mitosnya menghuni kuil ini dan sebagai lambang dewa dari pangan (beras).]

  “Setelah itu kuil Tofukuji. Kita bisa mampir kesana setelah pulang dari Fushimi Inari.”

  “Aku baru kali ini mendengarnya.”

  Aku ini nol besar dalam ilmu sejarah Jepang. Kurasa tempat itu tidak termasuk dalam cagar budaya dunia. Yukinoshita secara perlahan menaruh cangkir kopinya dan berpikir sambil menaruh jarinya di bibirnya.

  “Well, itu bukan hal yang mengejutkan. Memang banyak agen-agen perjalanan wisata tidak menaruh rute itu dalam rute wisata mereka.”

  Memang benar, dalam darmawisata, kau biasanya mengunjungi tempat-tempat mainstream. Kuil Kiyomizu merupakan pilihan umum untuk hari pertama, dan pilihan selanjutnya dipilih berdasarkan tempat yang paling banyak memiliki sejarah kota Kyoto.

  “Memangnya Tofukuji terkenal karena apa?”
[note: Agar pembaca tidak mati penasaran, Tofukuji terkenal karena pemandangan musim gugurnya yang indah. Berbeda dengan Ninnaji yang terkenal dengan kebun batunya, Tofukuji terkenal karena memiliki banyak sekali kebun bunga yang indah.]

  “Kau akan tahu sendiri ketika sudah sampai.”

  Yukinoshita tersenyum. Kau pintar membuat orang penasaran, ya?

  “Setelah itu kita ke Kitano Tenman-gu.”

  ...Kau ternyata masih ingat obrolan basa-basi kita waktu itu?
[note: Kitano tenman-gu adalah kuil yang disarankan Yukino ke Hachiman di lobi vol 7 chapter 6 ketika Hachiman bertanya kuil untuk berdoa mengenai ujian Komachi.]

  “Maaf, bisa diulang?”

  “Itu untuk Komachi, benar begitu?”

  “Apa, eh? Bagaimana ini bisa berhubungan dengan Komachi?”

  Yuigahama bertanya sambil mengunyah rotinya.

  “Dia ingin berdoa agar Komachi sukses dalam ujiannya nanti.”

  “Apa itu berarti kita akan menemani tugasnya si ‘Siscon’...?”

  Tolong sebut siscon itu ‘sister-consideration’...












x   x   x












  Cuaca yang cerah menemani kota Kyoto ketika kami tiba di Yotsu-Tsuji, kompleks dari kuil Fushimi Inari. Kami tampaknya mendapatkan cuaca yang bersahabat dalam 3 hari belakangan ini.

  “Ooh, ini luar biasa!”



  Yuigahama terlihat kagum dengan pemandangannya.

  Di lain pihak, Yukinoshita, yang duduk di bangku terdekat terlihat kelelahan.

  Ini bisa dimaklumi. Ketika melewati gerbang tori, jalurnya menanjak. Dan panjang jalurnya sudah seperti mendaki sebuah gunung saja.

  Tapi ini hanya awalnya saja. Masih banyak gerbang tori yang menunggu kita. Tapi memang lumrah melihat banyak orang yang mulai malas untuk terus melanjutkan perjalanannya karena capek. Kebanyakan hanya sampai di spot sini dan mereka sudah kembali lagi ke bawah.

  Kita juga punya rencana sesudah ini. Jadi karena itulah mungkin kita tidak akan pergi lebih jauh ke puncaknya.

  Jangan lupa kalau disini ada seseorang yang tidak punya stamina tinggi untuk perjalanan jauh.

  “Kenapa kita tidak istirahat saja dulu disini?”

  “Benar...”

  Aku lalu duduk di bangku dan mengambil teh. Tubuhku yang terasa panas karena naik tangga ini, merasakan nyaman yang luar biasa karena tertiup angin musim gugur.



  Sementara kami beristirahat, jumlah turis yang datang mulai ramai.

  Setelah menatap sebentar ke para turis yang lewat, Yukinoshita berkata.

  “Bagaimana kalau kita mulai turun ke bawah saja?”

  “Kau baik-baik saja?”

  “Aku sudah menormalkan napasku kembali, kurasa aku baik-baik saja.”

  Setelah mengatakannya, kami mulai menuruni tangga. Mendekati siang hari, turis mulai terlihat menaiki tangga dan berlawanan arah dengan kami.

  “Ramai sekali disini...”

  Yukinoshita mengatakan itu dengan nada yang kurang nyaman. Tidak seperti ketika kita naik tadi, saat ini situasinya sangat ramai dan sesak.

  “Kupikir tempat yang akan kita tuju selanjutnya juga tidak akan jauh-jauh dari ini situasinya.”

  “.....”

  Dia tidak mengatakan apapun tapi kalau dari ekspresinya, dia tampak tidak menyukai situasi semacam ini.

  Seperti yang kuduga, Tofukuji juga sangat ramai dengan orang-orang.

  Kuil Tofukuji adalah salah satu spot di Tokyo yang ramai ketika musim gugur.

  Meskipun menjadi tempat yang terkenal, kuilnya sendiri berlokasi di pinggiran kota Kyoto. Jadi butuh usaha ekstra agar bisa ke tempat ini.

  Tidak hanya pemandangannya ketika musim gugur, tempat ini juga populer karena punya jembatan Tsutenkyo.

  Jembatan itu menyeberangi sungai kecil, dan pemandangan indah kuil Tofukuji tersaji dari jembatan tersebut. Karena pemandangan yang menentramkan hati tersebut, membuatmu berpikir kalau pemandangan seperti itu adalah pemandangan yang sangat elegan.

  Meski sudah lewat dari puncak musim gugur, harusnya turis yang kesini sudah mulai berkurang. Tapi, ternyata banyak sekali turis yang datang ke tempat ini, terutama jembatan tersebut.

  “Ah, itu Tobecchi.”

  Di dalam keramaian tersebut, terdapat pula Tobe dan Ebina.

  Mereka sedang mengambil gambar dengan latar pemandangan musim gugur. Orang yang mengambil gambar mereka adalah Hayama Hayato. Meskipun sangat ramai dengan orang-orang, dirinya terlihat nyaman dipandang oleh mata. Malahan, aku sempat berpikir kalau flashlight kamera yang dipegangnya berasal dari giginya yang bercahaya.

  “Hayama dan yang lainnya ada disana...”

  “Karena kita tidak melihat mereka ketika sarapan tadi, kurasa mereka memutuskan untuk jalan-jalan bersama.”

  “Yeah, memang kalau cuma Tobe dan Hina, mereka berdua akan terlihat aneh, jadi Hayato dan yang lainnya ada disana akan terlihat lebih lumrah.”

  “...Kalau begitu, tidak akan terjadi sesuatu.”

  Jika elemen tidak tentu seperti diriku tiba-tiba bergabung dengan mereka ataupun Yuigahama tiba-tiba datang dan mengatur ini-itu, mungkin bisa membuat skenario Tobe dan Ebina terjadi, tapi...

  “Tapi, kita tidak bisa datang begitu saja ke mereka dan memisahkan mereka berdua, benar tidak?”

  Kata-kata Yukinoshita memotongnya. Tepat seperti yang tuan putri barusan katakan.

  “Tampaknya begitu. Akan sangat buruk jika Ebina tidak nyaman dan menyadari usaha kita.”

  Dirinya yang lepas kontrol ke fujoshi mode bukanlah satu-satunya masalah. Kita juga tidak mau Ebina mengkhawatirkan sikap kita yang berusaha memecah Tobe dan Hayama. Kita ingin melakukan yang tidak ingin dia lihat di requestnya. Ini semacam melakukan pertunjukan yang harus menghibur semua penonton.

  “Ketika seseorang berpikir kalau akan ada seseorang yang akan menembaknya, kau bisa melihat itu dari suasana berisik dari orang-orang yang ada di sekitarmu. Yang bisa kau dengar dari sekitarmu hanyalah orang-orang yang menjahilimu disertai tawa yang cukup keras. Itulah yang dirasakan orang yang akan ditembak.”

  “Pengalaman pribadimu...?”

  Eh, sekarang aku baru sadar. Meski dia terlihat seperti ini, Yukinoshita Yukino adalah gadis cantik yang sangat populer di kalangan pria.

  “Perasaan semacam itu sangat tidak menyenangkan.”

  “Ooh.”

  “Rasanya seperti dipermalukan diam-diam di depan publik. Sangat mengganggu.”

  Yukinoshita melanjutkan kata-kata tersebut seakan-akan keluar dari lubuk hatinya yang terdalam.

  Aku sangat yakin kalau Ebina juga mengalami hal seperti itu. Lagipula, dia adalah gadis cantik berambut hitam dengan tubuh oke yang membuat semua pria menyukainya. Kalau begitu, kurasa tidak begitu aneh jika dia sangat sensitif terhadap pria yang lain.

  “Tampaknya rencana kita hari ini akan berakhir tanpa hasil...”

  Hayama dan yang lainnya tampaknya menyadari kehadiran kami dan dia melambaikan tangannya.

  Yukinoshita dan diriku cuek saja dengan sikapnya itu, tapi Yuigahama melambaikan tangannya dan berkata “heeei!”

  Mereka berempat mendekati kita seperti menggunakan simbol lambaian tangan tadi semacam sinyal untuk berkumpul.

  “Hei.”

  Sapaan pendek Hayama tampaknya diarahkan ke Yukinoshita dan diriku. Tapi Yukinoshita malah melirik ke arahku. Tunggu dulu, gue ini bukan penerjemahmu, tahu tidak!

  “Kebetulan sekali melihatmu ada disini. Kalian rencananya mau kemana?”

  Ketika aku mengucapkan pertanyaan basa-basi tadi, Tobe berbicara menggantikan Hayama.

  “Kami nih berencana ke Arashiyama, bro.”

  “Ah, gitu ya. Kebetulan sekali, kami juga mau kesana setelah beristirahat sebentar disini.”

  Yuigahama lalu berbicara seperti itu agar pembicaraan tetap berjalan normal. Gadis ini...pura-pura bicara seolah-olah tujuan kita dan mereka kebetulan saja, bukankah kamu sendiri yang membuat rencananya? Kau tidak boleh lengah terhadap kekuatan para gadis semacam ini!

  Dibandingkan dengan suasana harmonis antara Hayama, Tobe, dan Yuigahama, tampaknya musim dingin sudah datang lebih dulu di depan mereka.

  “.....”

  “.....”

  Miura dan Yukinoshita saling menatap dingin dan terdiam.

  Aku ingin pulang saja...mereka sangat menakutkanku...

  Ketika aku memalingkan pandangan mataku, aku bertemu pandang dengan seseorang.

  “Hikitani.”

  Suara yang ringan dan nada yang menyenangkan. Meskipun kadang fals, tapi terdengar ceria. Itu adalah Ebina. Tidak, lebih tepatnya kau bisa katakan kalau aku tahu itu dirinya dari caranya memanggilku dengan suara seperti itu.

  Jika itu adalah Ebina Hina yang kukenal, aku harusnya tidak tahu suara itu adalah suaranya, dan dia menatapku dengan pandangan matanya yang terlihat sedih.

  Dia lalu berjalan begitu saja setelah memanggil namaku.

  Dia tampaknya berjalan ke arah jembatan Tsutenkyo melewati kebun bunga. Dia masuk begitu saja ke kerumunan turis tanpa melihat ke belakang dan menghilang begitu saja.

  Sepertinya, dia memberitahuku untuk mengikutinya.

  Kalau sudah begini, yang bisa kulakukan hanyalah mengikuti kemana dia pergi.

  Kebun ini memiliki pemandangan yang sangat indah dari ragam warna bunga musim gugur, dan banyak sekali kerumunan turis yang sedang mengambil gambar pemandangan.

  Bagi diriku yang sudah terlatih untuk menghindari keramaian orang, level ramai yang seperti ini bukanlah masalah. Tapi, punya skill ini bukan berarti aku tahu dimana Ebina berada.

  Ketika keluar dari ujung keramaian ini, aku bisa melihat Ebina berdiri disana dan melihat orang yang lalu-lalang. Dia menungguku dan senyumannya menghiasi wajahnya.

  Aku lalu berdiri di sebelahnya dan mencoba bergabung dengannya untuk memperhatikan orang yang sedang lalu-lalang ini.

  “Kau tidak lupa requestku, bukan?”

  Dia lalu membalikkan badannya dan melangkah maju sehingga dia tepat berada di depanku. Itu adalah langkah kaki yang menutup jarak diantara kita.

  Aku tidak tahu harus bereaksi apa sehingga aku mundur selangkah. Ebina lalu berbicara seperti tidak tidak nyaman dengan kesunyian yang terjadi diantara kita.

  “Well well? Bagaimana dengan hubungan para pria disana? Apakah kalian semua super akrab??”

  Ah, begitu ya. Ini adalah Ebina. Ebina Hina yang kutahu dan Ebina Hina yang semua orang tahu.

  “...Tentu, kami sangat akrab. Kami bermain mahjong sampai larut malam dan hal-hal semacam itu.”

  Apa yang dia ingin dengar tampaknya berbeda dengan yang kukatakan. Dan kemudian, Ebina mengatakan itu di depanku dengan kesal.

  “Tapi aku tidak melihatnya, jadi bagaimana aku bisa menikmatinya!? Maksudku, seperti kalian para pria bersama-sama di suatu tempat yang bisa kulihat!”

  Jadi begini ya, aku tampaknya benar-benar tahu apa yang ingin kau katakan sebenarnya.

  Dan kamu datang ke Klub Relawan sebenarnya menginginkan itu.

  Meski aku sekarang tahu apa maksudmu yang sebenarnya, aku masih tidak punya ide mengenai solusi masalahmu itu. Lebih tepatnya, belum dapat idenya.

  “Well, kami akan pergi ke Arashiyama juga, mungkin nanti...”

  Aku mengatakan itu untuk menghindari kesan kalau aku sedang mengulur-ulur waktu. Setidaknya, aku masih punya beberapa jam sebelum deadline requestnya.



  “Aku sangat mengandalkanmu.”

  Kata-kata yang baru saja dia ucapkan mulai berdengung di telingaku.










x  x  x









  Grup Hayama meninggalkan Tofukuji dan menuju ke Arashiyama, sementara kita memakai rute yang berbeda. Ini terjadi karena kita berhenti di Kitano Tenman-gu dahulu gara-gara ‘urusanku’.

  Kami menunjukkan rasa hormat kami kepada Kitano Tenman-gu, membeli jimat keberuntangan dan menuliskan doa di papan kayu.

  Aku tahu kalau mereka akan menyebutku siscon jika melihatku menulis di papan kayu tersebut dengan ekspresi aneh. Jadi, aku meminta mereka menunggu di kejauhan.

  “Maaf sudah membuat kalian menunggu.”

  “Tidak masalah.”

  “Kalau begitu, sekarang menuju Arashiyama?”

  Arashiyama adalah salah satu tempat terindah di Kyoto.

  Tempat yang menunjukkan keindahan empat musim di Jepang: Mekarnya Sakura di musim semi, segarnya udara panas di musim panas, warna warni musim gugur, dan musim salju yang menyelimuti pegunungan seperti selimut putih. Harusnya, disebutkan juga pemandian air panasnya, tapi tanpa itupun Arashiyama sudah bisa disebut sebagai titik pusat semua keindahan negeri ini.

  Kami menggunakan kereta Keifuku untuk menuju Arashiyama. Suasana gerbong yang disetting seperti sebuah suasana antik membuat perasaan para turis menjadi antusias.

  Kami berganti kereta di stasiun Katabiranotsuji dan naik kereta yang lain.

  Ketika kami turun di stasiun selanjutnya, sebuah pemandangan musim gugur yang menunjukkan perubahan warna pegunungan menghiasi latar stasiun ini.

  Oh, begitu ya. Jadi ini alasannya mengapa orang dewasa sangat ingin datang kesini. Aku lalu menarik napas yang panjang dan melepaskannya secara perlahan.

  “.....”

  Bahkan Yukinoshita seperti kehabisan kata-kata melihatnya.

  Kami lalu berjalan menuju sekitar jembatan Togetsukyo. Setelah mengunjungi musem orgel, kami menuju Sagano.

  Selama perjalanan, kami menjumpai becak yang ditarik sedang berlalu-lalang. Banyak sekali pertokoan berdiri di samping jalan raya.

  Jalanan terlihat sangat menarik dan bersih, dan deretan pertokoan ini kebanyakan menjual makanan cepat saji. Ketika kami berjalan di trotoar, aroma makanan yang khas mulai menarik perhatian kami.

  Sebenarnya, bukan kami. Lebih tepatnya, Yuigahama.

  Dia membeli croquettes, ayam goreng, dan manju daging sapi. Auk dah, mungkin dia kelaparan karena sore ini belum makan. Anggap saja ini sebagai ‘makan sore’.

  Yukinoshita melihat ke arah Yuigahama dengan wajah penuh rasa takut, dia tampaknya ingin mengatakan sesuatu.

  “Kau tidak akan bisa makan apapun ketika makan malam nanti.”

  Yukinoshita mengingatkan dia seperti seorang Ibu, Yuigahama lalu terkejut mendengarnya. Karena itu, Yuigahama menjulurkan makanan yang sudah digigitnya itu kepadaku.

  “Eh...Kalau begitu ini kuberikan ke Hikki saja.”

  “Ogah ah....”

  Apa-apaan gadis ini? Memberiku makanan yang sudah digigitnya sedikit? Kalau separuh sih gak masalah.

  Yuigahama lalu menatap ke arah croquette dan manju di kedua tangannya dan melihat ke arah Yukinoshita dengan ekspresi memelas.

  “Umm, lalu aku harus apakan ini, Yukinon?”

  “Haa...sedikit saja tidak apa-apa.”

  Melihat Yukinoshita memakan makanan itu adalah sesuatu yang tidak akan bisa kau lihat sebulan sekali sehingga aku secara otomatis terus menatap dirinya. Perasaan ini setara rasanya dengan berhasil menjinakkan seekor rubah yang tidak nyaman berada di sekitar manusia.

  Ketika aku ketahuan kalau sedang memperhatikan dirinya, Yukinoshita menatapku kembali dengan tatapan tajamnya.

 


  “Kau juga bantu.”

  “Ha, apa ada yang bisa kumakan?”

  “Ah, kalau begitu yang ini.”

  Yuigahama membagi manju daging tersebut menjadi dua dan memberikannya kepadaku. Hmm, kalau begini tidak masalah. Aku menerimanya tanpa mengeluh dan memasukkannya begitu saja ke mulutku. Melihatku mengunyah makanan itu, Yuigahama seperti bernapas dengan lega.

  Setelah itu, Yuigahama memotong croquettenya separuh dan memberikannya kepadaku lagi. Aku seperti peliharaan yang sedang diberi makan disini. Kurasa, ini tidak begitu buruk. Makanan yang didapat tanpa perlu bekerja adalah makanan yang paling enak.

  Kami berjalan ke Arashiyama sambil makan di jalan.

  Kalau berjalan terus, lurus ke depan, maka akan menuju kuil Tenryuji.

  Suara angin yang bertiup terdengar dari sebelah kanan kami.

  Ketika aku melihat asal angin tersebut, ada sebuah kebun bambu yang tumbuh tinggi. Daun-daun bambu di pepohonan tersebut membuat embusan angin tersebut menjadi bersuara aneh.

  Aku tidak tahu bagaimana mereka membuat kebun semacam ini, tapi jalan ini tampaknya berhiaskan bambu dan serasa berada di terowongan bambu. Kami lalu mencoba berjalan ke tempat tersebut.

  Cahaya matahari seperti berusaha menembus pepohonan bambu ini. Dengan suara angin yang natural, jalan setapak ini seperti memberikan suasana yang nyaman.

  Kalau berjalan terus ke depan, ini seperti berjalan ke hutan bambu dan membuat kita terus masuk ke dalamnya. Karena aku tidak bisa melihat ujung dari jalan ini, aku merasa seperti berada dalam sebuah labirin.

  “Wow, ini luar biasa...”



  Yuigahama menghentikan langkahnya dan melihat ke sekitarnya. Cahaya matahari seperti berusaha menembus pepohonan ini, dan Yuigahama kemudian menutup matanya secara perlahan.

  “Memang. Hati-hati dengan kakimu.”

  Dia menunjuk ke area di sekitar kaki Yuigahama.

  “Lampion, ya?”

  “Ya. Ketika malam tiba, jalan setapak ini menjadi bercahaya.”

  Hutan bambu yang gelap dan cahaya lampion. Karena kontras, malam di Arashiyama tampaknya merupakan tempat yang sangat indah. Ini mengingatkanku dengan sebuah majalah wisata yang biasanya kubaca.

  Yuigahama tampaknya merasakan hal yang sama dan dia melirik kesana-kemari seperti menemukan sesuatu.

  “Ini dia tempatnya! Kupikir ini akan menjadi tempat yang bagus! Mungkin begitu!”

  “Untuk apa?”

  Aku tidak tahu gadis ini ngomong apa. Tidak hanya dia tidak menyebut ini untuk apa, tapi dia menambahkan ‘mungkin’ di akhir kalimatnya.

  “Se-seperti, tempat penembakan.”

  Ngapain ngomongmu malu-malu dan pelan?

  Yukinoshita tersenyum merespon sikap Yuigahama yang lucu tersebut.

  “Suasana disini cukup bagus. Dari semua tempat yang kita lewati, mungkin ini tempat terbaiknya.”

  “Be-benar kan!”

  “Jadi, Tobe akan menembak Ebina disini, ya?”

  Matahari sudah mulai tenggelam. Jika apa yang Yukinoshita katakan benar, maka jalan setapak ini akan bermandikan cahaya dari lampion-lampion yang berjejer di pinggir jalan.

  Angin musim gugur yang dingin ini mulai bertiup ke arahku.










x  x  x











  Setelah menyelesaikan makan malam terakhir di darmawisata, aku kembali ke ruanganku.

  Tampaknya, sebentar lagi adalah jadwal kelasku untuk memakai pemandiannya. Tapi, kita tidak punya momen untuk kabur keluar penginapan untuk pergi ke hutan bambu tadi. Jika kita memang ingin kesana, maka satu-satunya momen yang tepat untuk melakukan itu adalah menyelinap keluar penginapan ketika waktu pemandian tiba.

  Tobe terlihat sangat galau di ruangan ini.

  “Uaagh, sial. Aku jadi sangat gugup ini. Sial!”



  Yamato menepuk punggung Tobe sambil mengatakan sesuatu dengan nada yang dalam.

  “Kau akan baik-baik saja.”

  “Tobe bakal punya pacar kah? Kita tidak akan bisa kumpul-kumpul seperti biasanya lagi nih.”

  Ooka menatap ke arah Tobe sambil mengatakan itu. Tobe lalu meresponnya.

  “Itu enggak benar. Ah sudahlah, ini bukan saatnya membahas begituan, siaaaal!”

  Dia mulai gugup kembali. Yamato lalu menepuk punggungnya untuk kedua kalinya.

  “Santai aja bos, kau akan baik-baik saja.”

  Ini sepertinya akan menjadi sebuah adegan ‘infinite loop’. Tampaknya mereka bertiga memang berniat untuk membuatnya menjadi bahan becandaan.

  “Aku juga mulai merasa gugup loh.”

  Totsuka memang anak yang baik. Aku juga mulai merasa gugup seperti aku bisa menepuk sebuah nyamuk tanpa melihatnya sedikitpun.

  Hayama, yang dari tadi hanya diam saja, berdiri.

  “...Hei Tobe.”

  “Ada apa Hayato? Hatiku ini sudah gak karuan sekarang, tahu tidak?”

  “Enggak jadi deh, lupakan saja...”

  Percakapan yang tidak tuntas itu mulai mencuri perhatiannya.

  “Ada apa bro?

  “Aku tadinya mau bilang ‘beri yang terbaik’, tapi setelah lihat wajahmu yang seperti itu, aku mulai mengurungkan niatku.”

  “Bukankah itu kejam!? Ah, tunggu dulu, aku sudah mulai enggak gugup nih!”

  Hayama berusaha menyembunyikan ekspresinya yang sedih itu dari Tobe dan meninggalkan ruangan ini.

  ...Kau ada disini atau tidak, sikap Hayama tidak berubah.

  Ketika darmawisata, sejak awal, sikap Hayama memang sudah mencurigakan. Hayama, yang sejak awal bermain di dua kaki, mustahil dia tidak bisa melihat sikapnya yang berbeda dari biasanya. Tetapi barusan, sikapnya jelas-jelas sangat janggal. Sangat janggal sehingga seseorang sepertiku bisa menyadarinya.

  Aku keluar dari ruangan yang berisik ini dan mengikuti kemana Hayama pergi.

  Ketika dia berjalan di pinggir sungai, aku mulai memanggil namanya dari belakang. Membuatku memanggil namamu ini sudah bisa kau anggap sebuah service dariku, jadi kau harusnya bangga!

  “Kau berkali-kali sangat tidak kooperatif dengan kami.”

  “Masa begitu?”

  Hayama menjawabku tanpa menoleh ke belakang. Dia tampaknya memang mengharapkanku untuk mengikutinya dan karena dia menjawabku dengan diam tanpa membalikkan badannya, aku mulai kesal dengan sikapnya ini.

  “Benar. Sikapmu itu seperti berniat untuk menggagalkan semua rencana kami.”

  Yang kutahu, Hayama Hayato yang kutahu adalah manusia yang tidak peduli tempat, waktu, akan selalu memilih yang terbaik.

  Oleh karena itu aku bisa melihat kalau ada yang salah darinya ketika Hayama memilih untuk tidak mendukung temannya sendiri.

  “Aku sebenarnya tidak bermaksud begitu kok.”

  Hayama membalikkan badannya ke arahku dan mengatakan itu sambil tertawa. Kau sangat buruk sekali dalam berbohong.

  “Jujur saja, apa maumu dengan mensabotase kami?”

  “...Aku sudah bahagia dengan situasi kami sekarang. Aku benar-benar menyukai waktu-waktu yang kami habiskan bersama Tobe, Hina, dan semuanya.”

  Hayama mengatakan itu dengan santainya dan tanpa malu-malu kalau dia sudah berbohong.

  “Oleh karena itu...”

  Hayama lalu terhenti.

  Aku sudah tahu apa yang ingin dia katakan bahkan jika dia tidak berencana untuk menyelesaikan kalimatnya itu. Apa yang ingin kukatakan sudah kusiapkan sejak tadi.

  “...Kalau hanya dengan masalah begini saja hubungan grupmu akan hancur, maka itu membuktikan kalau hubungan di grupmu itu tidak benar-benar tulus.”

  “Kau mungkin benar. Tapi...Apa yang sudah hilang darimu tidak akan pernah bisa kaudapatkan kembali.”

  Dia berbicara seperti sedang melihat masa lalunya. Aku bukanlah orang yang suka melihat masa lalu orang lain. Apapun yang terjadi dengan Hayama di masa lalu, itu bukan urusanku.
[note:Hachiman berbohong, ketika terjadi gosip pacaran dengan Yukino di vol 10, Hachiman galau dan ingin tahu apa yang terjadi dengan HayamaxYukino di masa lalu.]

  Hayama terlihat tidak ingin membahas itu lebih jauh. Lalu dia berusaha menutupinya dengan suara tawanya.

  “Bisa jadi kita akan berpura-pura kalau tidak pernah terjadi sesuatu. Lagipula, grup kami ini sangat bagus dalam hal itu.”

  “Itu tidak berarti kau akan kehilangan semuanya.”

  Aku membalasnya dengan cepat. Aku tidak menyadari kalau kata-kataku sendiri mengandung pengalaman masa laluku.
[note: Merujuk vol 6 chapter 6, Hachiman kembali lagi bersama Yukino.]

  Di dunia ini, ada waktu dimana kau tidak bisa melupakan sesuatu yang kau sesali dengan mudah.

  Bahkan ada frase “Kau tidak bisa menghapus begitu saja apa yang sudah kau lakukan”.

  Hayama menutup kedua matanya dan mulai berbicara.

  “Seperti katamu tadi. Aku yakin Hina mungkin akan memikirkan hal yang sama.”

  “Jelas dia akan begitu. Apapun yang terjadi, jelas ada yang aneh dengan grup kalian jika kalian tetap ingin terus bersama meskipun kalian akan bersandiwara dalam grup itu.”

  Aku lalu menendang kerikil di dekat kakiku untuk mengusir emosiku. Kerikil tersebut terlempar ke kaki Hayama. Dia lalu mengambil kerikil tersebut dan menatapnya. Dia seperti berusaha menghindari tatapanku.

  “Entahlah...Aku tidak berpikir kalau grupku seburuk itu. Bagiku, hubungan kami di grup adalah segalanya.”

  “Tidak, grup kalian memang seperti itu. Coba kau pikir, bagaimana perasaan Tobe kalau tahu soal ini? Dia dari kemarin terus berusaha dengan keras untuk mewujudkannya. Apa kau tidak punya rasa kasihan sedikitpun kepadanya?”

  Aku terus menekannya dengan kata-kataku tadi dan dia tampak meremas kerikil tersebut.



  “Aku sudah membujuknya beberapa kali untuk menyerah. Itu karena kupikir Hina belum siap untuk membuka dirinya kepada Tobe...Meski sudah kulakukan, ternyata kami tidak bisa memprediksi apa yang terjadi di ujung jalan tersebut. Oleh karena itu, setidaknya aku tidak menginginkan ini berakhir secepat ini. Itu saja.”

  Hayama menatap ke arah sungai dan melempar kerikilnya. Kerikil tersebut memantul beberapa kali di permukaan sebelum akhirnya tenggelam.

  “Hal-hal yang tidak ingin hilang darimu adalah hal yang lebih penting daripada hal-hal yang bisa kauperoleh.”

  Hayama terus menatap ke permukaan sungai tersebut seperti hendak mencari kemana kerikil yang barusan dia lempar.

  Akhirnya, Hayama dan diriku mulai mendiskusikan hal-hal yang bisa hilang darimu.

  Hayama ini sadar betul kalau dia akan kehilangan hubungan itu. Entah itu hubungan teman atau semacamnya, semua pasti akan berakhir. Jika itu adalah hal yang sangat berarti, maka kau akan melakukan yang terbaik agar tidak kehilangan itu.

  Tapi, itu hanyalah sebuah kepalsuan.

  “Kau ini hanya alasan sana-sini dan isinya hanya omong kosong saja. Yang kulihat di lapangan, yang kau lakukan selama ini hanyalah demi kepentinganmu saja.”

  “Ya biarlah seperti itu!”

  Hayama mengatakan itu dengan suara tajam yang menggema. Dia menatapku dengan penuh emosi. Lalu aku menatapnya juga dengan serius.

  Ketika kubalas, dia tampaknya berusaha menyimpan rasa malunya tersebut dan menarik napas yang dalam. Lalu dia berkata.

  “Kalau begitu, apa yang akan kaulakukan? Kalau kau menjadi aku, apa yang akan kaulakukan?”

  “Jangan coba mengalihkan subjeknya kepadaku...”

  Kalau itu aku, maka...tentunya tidak. Memikirkan itu adalah sia-sia. Aku ini berbeda dengan Hayama. Tentunya, Tobe juga berbeda darinya.

  Melemparkan bola masalahnya dengan bertanya apa yang akan kulakukan hanyalah usaha yang sia-sia. Oleh karena itu, aku tidak ingin membahasnya.

  “Jadi intinya, kau tidak ingin ada yang berubah dari grupmu?”

  “...Ya, itu saja.”

  Suaranya bercampur dengan emosi dan ketidaksabaran, tidak seperti image Hayama selama ini.

  Kalau cuma itu...

  Perasaan agar tidak ada satupun yang berubah.

  Setidaknya, aku paham itu.

  Maksudku, itulah yang kulakukan selama ini.

  Sebuah hubungan dimana kau tidak melangkah lebih jauh dari garis itu. Sebuah hubungan dimana kau tidak akan memaafkan orang lain yang sudah melangkahi garismu. Sebuah hubungan yang tidak memaafkan orang yang ikut campur urusanmu.

  Di sinetron dan manga, akan selalu ada happy ending yang menunggu kedua orang tersebut. Tapi realita tidak sebaik itu. Bahkan lebih kejam dan menyedihkan.

  Tidak ada hal yang lebih penting. Kau akan kehilangan hal yang paling penting dan tidak tergantikan dalam hatimu, ketika kau sadar kalau kau tidak akan mampu memperolehnya lagi.

  Dan akupun, tidak bisa menyebut Hayama seorang pengecut, ataupun menertawakannya.

  Kau bisa menyebut kalau ketidakmampuannya untuk maju dari garis itu adalah keputusan yang tepat. Kalau itu demi sebuah kebahagiaan, maka itu sudah benar.

  Aku tidak bisa menemukan satupun jawaban untuk menolak hal itu.

  Aku tidak bisa menemukan satupun hal yang salah.

  Ketika aku hanya diam berdiri saja disini tanpa menolak argumennya, lalu dia berkata.

  “Kau benar sekali...Ini semua hanya cerminan dari sikapku yang sedang menuruti egoku.”

  Hayama mengatakan itu sambil tertawa. Tawa yang penuh dengan perasaan kesepian.

  Tawa itu seperti membuatku berada di tempat yang berbeda.

  “Jangan membuat ekspresi yang menyedihkan itu, Hayama. Aku bukanlah orang yang dengan mudahnya berubah pikiran hanya karena kata-kata dan sikap orang lain.”

  Aku adalah tipe pria yang melihat makna dibalik kata-kata tersebut. Pemilik dari sifat tidak berguna itu adalah aku.

  “Tapi aku tidak percaya begitu saja ketika kau katakan kalau kau hanya menuruti egomu.”

  “...Hikigaya.”

  Ekspresi Hayama terlihat sangat terkejut. Sebenarnya, tidak ada yang perlu terkejut dengan hal semacam itu.

  Aku juga tahu kalau diluar sana ada orang yang menginginkan hal yang sama.

  Dan dengan kata lain, orang-orang yang sepertiku.

  Orang itu adalah seorang gadis yang sedang berusaha melindungi sesuatu yang berharga baginya.

  Hayama Hayato tidak ingin seorangpun terluka. Karenanya, Hayama tidak bisa bertindak karena dia tahu akan ada seseorang yang terluka.

  Dan orang yang terluka itu bisa menghancurkan sesuatu yang dia dan mereka miliki.

  Lagipula, siapa yang berhak untuk menghakimi orang-orang yang berjuang sampai mati untuk melindungi apa yang mereka anggap berharga?

  Kita semua hanya hidup di dunia yang begitu sempit, dunia yang dipenuhi oleh para badut, dan dengan waktu yang sedikit.

  Tidak perlu kujelaskan kalau masa SMA kita juga tidak akan berlangsung selamanya.

  Siapa yang berhak mengkritisi keinginanmu agar memiliki kenangan berharga dengan waktu yang sedikit itu?

  Aku sangat paham sekali bagaimana rasanya agar tidak ada orang yang terluka.

  Apa yang akan kulakukan sudah diputuskan.

  Hayama Hayato tidak punya satupun pilihan. Banyak sekali hal yang harus dia pertahankan dan dia anggap berharga dalam hidupnya.

  Hikigaya Hachiman memang tidak bisa memilih. Mungkin lebih tepatnya, jalan yang tersedia baginya hanya ada satu.

  Ironisnya, Hayama dan diriku sama karena “tidak punya pilihan”, selebihnya adalah hal yang berbeda dariku.

  Jujur saja, aku tidak paham apa yang ingin Hayama pertahankan dan lindungi.

  Mungkin ada baiknya aku tidak tahu. Dan karena itulah hanya aku yang bisa melakukannya.

  Ketika aku mulai membalikkan badanku untuk meninggalkan tempat ini, Hayama memanggilku.

  “Sejujurnya, aku tidak ingin mengandalkanmu untuk masalah ini...”

  Akupun begitu, dasar bajingan.

  Cinta dan pertemanan adalah hal yang diagung-agungkan oleh banyak orang. Tapi itu adalah hak yang hanya bisa diperoleh oleh para pemenang.

  Sedang isak tangis para pecundangnya hanya didengar oleh kumpulan orang-orang tuli.

  Kalau begitu, kutampung saja para pecundang itu. Kuubah tangisan mereka menjadi suara nyanyian yang sangat keras.

  Nyanyian balada dari para pecundang yang tersiksa dalam diamnya.

  Ini adalah tindakan yang suci dan hanya bisa dilakukan oleh para pemberani. Bahkan jika sang pemberani tersebut sudah memiliki seseorang yang berarti di hatinya.







x Chapter VIII | END x

Menuju Chapter Terakhir










  Kata-kata Yukino yang ingat dengan ujian Komachi, ini ada relevansi dengan monolog Hachiman di vol 7 chapter 6, dimana Hachiman juga bahagia jika ada orang lain yang perhatian ke Komachi.

  Lucu, karena Hachiman awalnya mengira obrolan Yukino dengannya di lobi hotel, tentang Komachi adalah basa-basi. Sekarang, Hachiman tahu kalau itu tidaklah basa-basi karena Yukino ingat betul keinginan Hachiman tentang Komachi.

  ...

  Dengan Miura tahu kalau request tersebut berasal dari Tobe, maka Miura dan Hayama juga bisa menebak kalau rencana Tobe untuk mampir ke kafe yang disarankan Yukino merupakan usaha Klub Relawan untuk membuat TobexEbina dekat. Mereka mensabotase lagi dengan mengalihkan rutenya.

  ...

  Tebakan Hachiman soal kata-kata Yukino mengenai suasana orang yang akan menembak. "Pengalaman pribadimu...?"

  Kalau kita menilik vol 3 chapter 4, Haruno mengatakan kalau itu pertamakalinya Yukino berkencan. Juga, vol 1 chapter 2, Hachiman menganggap Yukino kutu buku. Artinya, harusnya lebih logis jika Hachiman berpikir kalau Yukino mengutip komentar tersebut dari buku, bukan dengan mengatakan kalau itu pengalaman pribadi.

  Lalu apa yang membuat Hachiman berpikir itu dari pengalaman pribadi?

  Hachiman pernah menjadi pria yang hendak menembak gadis, yaitu Kaori.

  Juga, Hachiman pernah menjadi pria yang hendak ditembak seorang gadis, yaitu Yui.

  Merujuk vol 3 chapter 6, dimana Hachiman tahu kalau Yui mencintainya, mudah saja menebak kalau vol 5 chapter 6 dimana Hachiman dengan sengaja menggagalkan Yui yang hendak mengatakan sesuatu, karena Yui hendak menembaknya.

  ...

  Kesimpulan Hachiman mengenai request Ebina, adegan dekat jembatan Togetsukyo.

  Ebina ingin melihat Ooka, Yamato, Tobe, dan Hayama kembali akrab. Tapi Ebina ingin melihat hal tersebut di tempat yang jelas baginya. Disini, ini adalah hari terakhir darmawisata. Artinya, jika Ebina menginginkan Hachiman bertindak, maka Ebina ingin melihat hasilnya di kelas nanti. Sederhananya, yang ingin Ebina lihat di kelas nanti adalah grup Hayama, tetap berkumpul dengan grupnya, grup Miura, setelah darmawisata nanti.

  Lalu kita lihat kata-kata penutup Ebina, aku mengandalkanmu. Jelas tidak relevan jika dikatakan request tersebut ke Klub Relawan. Harusnya, aku mengandalkan kalian. Sederhananya, ini adalah request pribadi Ebina, dimana Ebina berpikir hanya Hachiman yang bisa melakukannya. Ebina dan Hayama sudah berbicara empat mata di vol 7 chapter 1, artinya...Request ini hanya bisa dilakukan oleh Hachiman, Hayama tidak bisa.

  Lalu kembali ke vol 7 chapter 2, Hachiman mengatakan resiko jika Tobe ditolak, yaitu hubungan pertemanan menjadi renggang. Lalu ke vol 7 chapter 7, Miura mengatakan orang luar yang sekali lihat sikap Klub Relawan dan Tobe, pasti tahu kalau hendak mendekati Ebina. Jelas, dalam pikiran Hachiman saat ini, Ebina tahu kalau Tobe akan menembaknya.

  Jika Ebina hendak menerima Tobe, maka kekhawatiran hubungan grup renggang tidak akan terjadi. Tapi karena disini Ebina meminta bantuan Hachiman agar grup mereka tidak pecah, maka Ebina sejak awal sudah punya jawaban tentang Tobe, yaitu menolaknya.

  Lalu, Ebina menganggap Hayama tidak bisa mengatasi requestnya. Jika kita telaah baik-baik, apa yang membedakan Hayama dan Hachiman? Yaitu Hayama adalah teman satu grup Ebina, sedang Hachiman orang luar grup. Jika Ebina menganggap dia butuh bantuan orang luar grup untuk menyelesaikannya, kenapa Ebina juga tidak meminta bantuan Yukino? Baik Hachiman dan Yukino adalah orang asing bagi Ebina.

  Lalu apa beda Yukino dan Hachiman? Dari sudut pandang orang luar, dua-duanya sama saja. Penyendiri dan anti-sosial. Tapi ada satu perbedaan jelas, yaitu Yukino seorang gadis, dan Hachiman seorang pria. Artinya, Ebina meminta tolong ke Hachiman, dimana solusinya hanya bisa dilakukan oleh seorang pria yang berada di luar grupnya.

  Kita lihat kesamaan misi dari Miura, Ebina, dan Hayama : Tobe mengurungkan niatnya untuk menembak Ebina.

  Jika anda menjadi Tobe, anda akan mengurungkan niat anda menembak Ebina, dalam situasi apa? Pertama, jika Ebina sudah punya pacar. Tapi ini dieliminasi karena Tobe tahu Ebina single. Kedua, jika Ebina tidak mau berpacaran untuk saat ini, dengan siapapun juga. Memang ada opsi ketiga, yaitu punya orang lain yang disukai. Tapi opsi ini akan muncul di chapter terakhir. Untuk memudahkan, opsi ketiga bisa kita hapus terlebih dahulu.

  Jika opsi kedua dianggap lebih masuk akal, lalu dari mana Tobe akan tahu kalau Ebina sedang tidak berniat untuk berpacaran? Jika tidak ada yang memberitahu Tobe, maka Tobe akan tahu dari mendengarnya secara langsung. Tentunya, di chapter ini Hayama memberitahu Hachiman kalau dia sudah membujuk Tobe, tapi gagal. Artinya, Tobe harus mendengar secara langsung dari Ebina kalau dia memang tidak ingin berpacaran.

  Sederhananya, Ebina meminta Hachiman untuk menembaknya di depan Tobe, sehingga Tobe mendengarkan jawaban Ebina.

  Disini sedikit tricky. Mengapa harus Hachiman? Bisa saja Ebina meminta tolong orang yang pernah bekerja dekat dengannya dan memiliki hobi otaku, misalnya Zaimokuza, mereka rekan kerja di Festival Olahraga. Atau misalnya Oda atau Tahara (entah siapa namanya) ketua kelas 2F. Itu mudah terjawab dengan quote populer LN ini, manusia hanya ingin melihat apa yang ingin mereka lihat. Ebina ingin melihat Hachiman menembaknya.

  ...

  Pura-pura tidak terjadi sesuatu, lalu tidak benar-benar kehilangan semuanya.

  Kata-kata Hachiman ketika konfrontasi dengan Hayama. Itu mengingatkan Hachiman dengan apa yang terjadi di volume 6. Hachiman dan Yukino pura-pura tidak tahu soal kecelakaan itu. Tapi, sikap Hachiman di vol 6 chapter 6 berhasil mengembalikan hubungan mereka kembali.

  ...

  Monolog Hachiman, Hayama Hayato tidak bisa bertindak, karena akan ada orang yang terluka.

  Itu terjawab di vol 10 chapter 7, Hayama tidak bisa menembak Ebina karena Hayama butuh kestabilan dalam hubungannya dengan Miura.

  ...

  Bahkan Hayama sendiri mengakui kalau grupnya sendiri kumpulan orang yang pandai berpura-pura.

  Harusnya, Hachiman disini menyadari kalau ini bertentangan dengan idealismenya di vol 1 chapter 1. Dalam chapter tersebut, Hachiman mengatakan tidak mau menjadi orang yang berpura-pura. Kalau Hachiman menjadi pelindung kumpulan orang yang suka pura-pura, bukankah itu sama saja dengan mengatakan Hachiman adalah raja pembohong?

  Yang Hachiman tidak sadar disini, adalah ada seorang gadis yang bernama Yukino, mempercayai kata-kata Hachiman tentang idealismenya, dan menjadikan Hachiman sebagai contoh baginya dalam menghadapi masalah keluarganya. Tentu situasi ini akan menjadi rumit jika sang gadis tahu kalau idealisme Hachiman hanyalah basa-basi belaka.


7 komentar:

  1. kurasa pesan moral nya perubahan sikap agar tidak terlalu jd penyendiri,karna memang idealisme hachiman harus dipikir lbh jauh lagi,belum jd suatu pembenaran.

    BalasHapus
  2. Sampai bicara ke masa depan Yukino. Spoiler ya nggak enak sekali

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  4. "Itu terjawab di vol 10 chapter 7, Hayama tidak bisa menembak Ebina karena Hayama butuh kestabilan dalam hubungannya dengan Miura."

    Ga paham sama pembahasan yg ini, jadi Hayama suka sama Ebina? Dan bukannya Hayama sukanya sama Yukino? Ga tau ini typo adminnya atau gua yg kurang paham.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Supaya tobe nyerah nembak ebina maka mesti ada orang lain yg nembak dia. Nah disini admin mengumpamakan kalo hayama yang nembak. Tapi kan hayama nggak mungkin. Hayami dipaksa oleh lingkungannya untuk tidak melakukan apa2.

      Hapus
  5. intinya hachiman itu pembohong dah itu aja

    BalasHapus
  6. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus