Sabtu, 26 Desember 2015

[ TRANSLATE ] Oregairu Vol 6 Chapter 5 : Shiromeguri Meguri berinisiatif untuk membuat semua orang merasa nyaman


x  x  x











  Apa yang terus kau lakukan, tapi tidak pernah ada habisnya?

  Kerja.

  Aku menatap PC dengan tatapan kosong sementara kepalaku bermain-main dengan pertanyaan itu.

  Sejak kapan aku mendapat pekerjaan untuk menjadi notulis rapat? Yang harus mengerjakan itu, kalau tidak salah, si kelas tiga yang menjadi pimpinan asisten arsip.

  “Asisten arsip. Kita belum menerima notulen yang minggu lalu.”

  Kata-kata dari sang wakil ketua yang hebat memulai semuanya.

  Siapa yang bertanggung jawab? Pimpinan tidak hadir? Kalau di bawahnya lagi? Juga tidak hadir? Oke, dibawahnya. Dibawahnya. Dibawahnya...

  Dan sampailah ke diriku.

  Ketika kukatakan ‘akan kukerjakan’, aku mulai menggerutu “fuhi”.

  Aku tidak ingat satupun hal tentang rapat minggu lalu. Sambil mengarang bebas, aku gunakan kata-kata “sedang dalam pengerjaan”, “sesuai yang direncakan”, “dikerjakan sesuai rencana”, “Menyelesaikan berbagai macam rencana”, dan begitulah, kuisi dengan yang semacam itu sampai selesai. Bukanlah masalah besar, karena yang bertanggung jawab nanti adalah pimpinannya. Itulah gunanya dia ada.

  Setelah beberapa improvisasi ditambahkan, aku meminum teh yang kutuangkan sendiri tadi.

  Tampaknya aku melakukan banyak kemajuan karena suasananya terasa lebih sunyi dari biasanya...Aku memikirkannya sambil melirik ke arah ruang rapat.

  Orang-orang yang sedang bekerja kuhitung tidak sampai dua puluh. Tidak lupa kalau 5 orang diantaranya adalah pengurus OSIS. Banyak perwakilan dari kelas yang menjadi panitia festival, dimana diwakilkan dua orang per kelas dari total 30 kelas, tidak ada disini.

  Dalam grup tersebut, orang yang terlihat mengerjakan banyak sekali pekerjaan adalah Yukinoshita. Karena Haruno-san tidak ada hari ini, dia terlihat mengerjakan pekerjaannya tanpa ada masalah.

  Yukinoshita terlihat bekerja sangat keras dan lebih lama dari sebelumnya, tampaknya itu bermula sejak kejadian dengan Haruno-san tempo hari.

  Ada pula beberapa hal sepele yang menambah pekerjaan kita.

  Partisipasi Haruno-san bersama teman-temannya tampaknya memicu organisasi lain untuk berpartisipasi juga. Dan itu berarti kita butuh usaha ekstra untuk menangani mereka.

  Karena personel yang kurang, pekerjaan yang ada tidak bisa tertangani sepenuhnya. Tapi dibantu para pengurus OSIS dan kemampuan Yukinoshita, tidak lupa juga, kadang mampir ke sini membantu menyelesaikan pekerjaan, kemampuan dari Haruno-san, membuat kita masih mampu untuk menanganinya.

  Ketika beristirahat sejenak sekedar menarik napasku, aku melihat ke sekitarku, dan ada seseorang yang melakukan hal serupa denganku.

  Dia adalah Meguri-senpai. Ketika kedua mata kami bertemu, dia sepertinya hendak mengajakku bicara.

  “Ah, umm...”

  Tampaknya dia kesulitan memanggil namaku, tapi kuputuskan untuk memulainya lebih dulu, karena dia mulai memanggil namaku lagi dengan lembut.

  “Maaf ya, siapa namamu lagi?”

  “Terima kasih atas kerja kerasnya.”

  “Uh huh. Benar, kau juga,”

  Meguri-senpai tersenyum. Dari ekspresinya saja terlihat kalau dia kelelahan. Tapi dengan peningkatan beban kerja yang kami dapat disini, itu adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari.

  “Apa cuma perasaanku atau bagaimana, orang-orang disini setiap harinya terlihat lebih sedikit dari sebelumnya?”

  “...Yeah, tampaknya mereka sibuk dengan hal-hal lainnya.”

  Ruang konferensi ini, terlihat lenggang, terasa lebih luas daripada sebelumnya.

  “Ta-tapi aku yakin besok pasti akan datang lebih banyak lagi!”

  Meguri-senpai mengatakannya, tapi sayangnya, itu sulit terjadi.

  Apapun yang terjadi, orang yang datang pasti akan sedikit dan lebih sedikit lagi. Sekali mereka sadar kalau tidak ada satupun hukuman kalau tidak hadir, maka mereka akan menganggap remeh absensi mereka.

  Itu adalah sebuah pola pikir yang dinamakan teori ‘broken window’.

  Di sebuah kota dimana ada gedung dengan jendela yang rusak. Ketika gedung ditinggalkan, itu akan memicu sikap apatis, dan akan menurunkan moralitas serta memperkuat adanya tindakan kriminal di sekitarnya, atau semacam itulah teorinya.

  Secara insting, manusia akan selalu memilih jalan yang termudah baginya.

  Para panitia yang ada disinipun tidak semuanya yang memang berniat untuk kerja. Mungkin ada beberapa orang yang melawan nuraninya dan tetap hadir disini.

  Yang membuat mereka tetap bekerja karena mereka punya tanggung jawab yang ‘semua orang melakukannya’ dan itu menyakitkan bagi hati mereka. Jika kau hapus pemahaman itu ataupun menahan motivasi itu menyentuh dasar hatimu, kau pasti tidak akan datang.

  Itu karena terasa lebih mudah untuk mencari alasan untuk tidak melakukannya daripada mencari alasan untuk melakukannya.

  Semua orang memakai semua pengalaman mereka sebagai alasan. Belajar atau sedang diet; apapun itu. Entah cuacanya, entah suhunya, entah moodnya; apapun yang bisa digunakan untuk tidak hadir.

  Kadangkala, sebuah tindakan tegas perlu diambil.

  Itu adalah sesuatu yang Meguri-senpai sadari juga.

  Tapi tidak ada yang tahu tindakan tegas apa yang harus diambil. Lagipula, si Ibu Ketua sendiri tidak hadir dan hanya ada wakilnya yang ternyata lebih mampu darinya disini.

  Meguri-senpai dan diriku hanya terdiam, menikmati teh kita.

  Meskipun aku menikmati waktu minum teh ini (tentunya, dalam sunyi) dengan Meguri-senpai, aku tidak bisa istirahat terus-terusan seperti ini.

  Dengan aktivitas persiapan Festival Budaya yang semakin intens, jumlah pekerjaan terus menumpuk dan menumpuk.

  Pintu ruang rapat terdengar diketuk beberapa kali.

  Tampaknya, bunyi ketukan itu berasal dari seseorang yang membawa pekerjaan kesini.

  “Silakan masuk!”

  Meguri-senpai mengatakan itu karena tidak ada yang mengatakannya sejak tadi.

  Dengan suara “Permisi”, seseorang masuk ke ruangan ini.

  Orang yang mengetuk pintu tersebut adalah Hayama Hayato.










x x x









  “Saya ingin menyerahkan formulir sukarelawan...”

  Hayama menanyakan itu setelah melihat ke arah Yukinoshita.

  “Formulirnya taruh di sebelah kanan.”

  Terus menulis sambil menjawab pelanggan mungkin 0 poin dalam industri service, tapi ini adalah Yukinoshita, jadi sudah bisa diprediksi akan begitu. Mengetahui hal itu, Hayama mengatakan “terima kasih” sambil menaruh formulirnya.

  Hayama harusnya sudah menyelesaikan urusannya disini, tapi dia masih disini, aneh sekali. Bahkan, dia mendekatiku.

  “...Orang-orang disini kok sedikit sekali?”

  “Yeah, seperti itulah.”

  “Oh...”. Hayama menggaruk-garuk rambutnya seperti ragu. Apaan sih, ada yang mengganggumu, ngomong aja. Entah mengapa, seperti biasanya, ketika dia ada di dekatku, aku merasa sangat terganggu...

  “...Jadi, apa kau ada perlu sesuatu?”

  Aku langsung bertanya kepadanya agar ini cepat selesai.

  Dia lalu tersenyum.

  “Nah, sebenarnya tidak ada. Hanya menunggu formulirku diperiksa. Mereka sedang melihatnya untuk memeriksa apakah ada kesalahan.”

  Kalau itu gue tahu cok...

  Tapi ngapain lu deket-deket gue...? Itulah yang kupikirkan, tapi yang kutangkap adalah dia sepertinya sengaja begitu. Aku tidak tahu mengapa, tapi ini membuat kita terlihat seperti sebuah grup pertemanan, terutama ketika tidak ada pekerjaan. Mereka biasanya mendekat ke orang yang mereka anggap akrab. Kalau aku bisa membuat mereka terlihat seperti anak anjing, kurasa aku tidak akan merasa terganggu seperti ini.

  Setelah itu, beberapa pengunjung masuk dan keluar ruangan ini.

  Tidak hanya sukarelawan pengisi acara saja yang harus mengambil dan mengisi formulir; penampilan tiap kelas dan klub juga harus melakukan itu. Masalah sukarelawan masuk ke daerah seksi managemen sukarelawan, itu juga termasuk membicarakan slot waktu dan perlengkapannya. Tapi untuk sisanya, masalah konsumsi atau sejenis diserahkan ke divisi kesehatan. Sementara, para pimpinannya mereview dan menerima formulir itu.

  Hari ini, kulihat banyak sekali pengunjung, mungkin karena deadline penyerahan formulir sudah dekat. Karena timing waktunya, banyak sekali orang-orang berkumpul di tengah ruangan seperti suasana yang kacau saja.

  Tiba-tiba, ada pembawa formulir yang keluar dari kerumunan itu.

  Tampaknya dia ini kelas satu dan punya wajah yang lugu, gadis ini lalu menuju ke arah kami dan berbicara. Dengan Hayama...Hayama!

  “Umm...formulir sukarelawan...”

  “Formulir untuk sukarelawan taruh disana.”

  Dia meresponnya dengan tenang seolah-olah dirinya bagian dari panitia. Adegan tersebut memicu salah paham dan beberapa orang yang datang untuk mengurus formulir mulai bertanya macam-macam ke Hayama tentang berbagai hal.

  “Aku kurang paham bagaimana mengisi yang ini...Bisakah kau memberitahuku?”

  “Boleh, kalau kau tidak masalah.”

  Aku sangat yakin kalau gadis ini bertanya karena dia Hayama.

  Ketika Hayama membantunya mengisi formulir, di depannya berbaris beberapa orang.

  “Tolong bantu aku juga...”

  “Ah, hei.”

  Dia memaksaku untuk membantunya sebelum aku mengkomentarinya...Sialan, bahkan gadis yang formulirnya diberikan kepadaku, ekspresi wajahnya terlihat tidak senang.

  Baik Hayama dan diriku akhirnya terpaksa melayani antrian tersebut. Meguri-senpai datang dan membantu kami. Akhirnya, kumpulan orang-orang yang menyerahkan formulir ini selesai.

  “Maaf soal tadi ya. Terima kasih banyak!”

  Setelah situasinya tenang kembali, Meguri-senpai menuangkan teh. Untuk Hayama...Hayama!

  Well, mungkin dia merasa tidak enak karena ada orang diluar kepanitiaan sampai membantu. Hanya saja, um, aku juga ikut membantu tadi...sniff.

  Hayama berterimakasih ke Meguri-senpai, dan setelah meminum tehnya, dia berkata.

  “Apa kalian punya cukup orang disini?”

  “Aku tidak sempat memeriksa kepanitiaannya. Aku sendiri sudah disibukkan oleh pekerjaan seksiku sendiri sejak kemarin.”

  “Seksimu?”

  “Aku ada di Asisten Arsip.” jawabku.

  “Ahh,” Hayama menjawabnya. “Itu memang cocok denganmu...”

  “.....”

  Kau mau mengajak berantem?

  Seperti mengambil kesimpulan dari situasinya, Hayama mengangguk.

  “Begitu ya. Pasti banyak sekali masalah, ya?”

  “...Tidak, tidak begitu.”

  Tidak juga, ini bukanlah masalah. Sebenarnya, kau mengatakan ada masalah karena tidak melihat masalah.

  Sekarang ini, Yukinoshita sendirian mengerjakan mayoritas pekerjaan. Tidak hanya karena dia mampu, dia juga memegang kuasa dari jabatan wakil ketua, dan karena dia juga tidak berpartisipasi dalam kegiatan klub atau kelas, dia punya waktu luang. Dia menambal pekerjaan para panitia yang membolos, bahkan jika yang membolos itu berjumlah separuh dari total panitia.

  “Tapi yang sejauh ini kulihat, sepertinya Yukinoshita-san yang melakukan mayoritas pekerjaannya”.

  Hayama menoleh dan menyebut Yukinoshita.

  Yukinoshita terdiam, tapi Hayama terus menatapnya seperti menunggu jawaban darinya.

  “...Ya, begini lebih efektif.”

  “Tetapi tidak akan bertahan lama.”

  Bagi seorang pria bernama Hayama Hayato, sangat jarang sekali mendengarnya terlihat memaksa. Meguri-senpai seperti merasakan kalau suasananya bertambah panas.

  Hanya suara keyboard yang disentuh dan berbunyi clack clack clack mengisi latar suara ruangan ini.

  “.....”

  Itu benar, sangat yakin. Yukinoshita juga tidak berusaha menyanggahnya.

  “Jadi sebelum itu terjadi, sebaiknya membagi itu dengan orang lain.”

  “Benarkah? Kurasa tidak begitu.”

  Kataku, dan Hayama melihat ke arah mataku, menunggu kata-kataku selanjutnya.

  “Fakta kalau Yukinoshita yang melakukan semuanya sendiri itu membuat pekerjaannya selesai lebih cepat. Yang merasa dirugikan juga tidak banyak. Yang terpenting lagi, mempercayakan dan mempercayai pekerjaan ke orang lain itu terasa mengganggu. Dan itu diperparah dengan adanya perbedaan kemampuan tiap orang.”

  Kami berdua, atau setidaknya, aku, tidak bisa mempercayai dan mempercayakan sesuatu ke orang lain.

  Bahkan jika sesuatunya tidak berjalan dengan baik, maka tidak masalah jika aku yang disalahkan, tidak perlu ada orang lain yang jadi kambing hitam. Kalau kau memberikannya ke orang lain, maka akan menjadi hal yang tiada akhir.

  Itu bukanlah kebaikan hati ataupun perasaan tanggung jawab. Kalau ini tentang dirimu seorang, maka kau bisa menyerah begitu saja, tapi kalau ada orang lain terlibat? Kau tidak akan bisa.

  Jika saja dia melakukan prinsip ini waktu itu, jika saja dia melakukannya dengan benar waktu itu; hidup dengan membawa pikiran-pikiran ini sangatlah berat, menyakitkan, dan menyengsarakan.

  Jika itu yang akan terjadi, maka lebih baik melakukannya sendirian.

  Jika itu adalah sesuatu yang bisa kausesali sendiri, maka hanya dengan isak tangis dan beban itu hilang.

  Hayama menajamkan pandangannya, dan melepaskan embusan napasnya secara perlahan dengan simpati.

  “...Apakah akan baik-baik saja dengan itu?”

  “Apaan?”

  “Kalau sesuatunya bisa berjalan lebih baik dengan begitu, tidak masalah. Tapi sekarang, kalau tidak, segera, semuanya akan jatuh. Dan kamu sendiri kali ini tidak diperbolehkan untuk gagal, benar tidak? Itu berarti kau perlu mengubah caramu mengerjakan itu.”

  “Guh...”

  Pria ini, benar-benar argumen yang...Apa kamu ini semacam pabrik pengolahan teh? Dia dengan mudahnya membalikkan argumenku. Ketika diriku dilanda frustasi, ada sebuah suara terdengar.

  “...Kupikir begitu.”

  Tampaknya Yukinoshita juga tertusuk di tempat dimana dia terluka. Jari-jari tangannya tampak berhenti menulis di keyboard.

  Tapi Yukinoshita tidak memiliki seseorang yang bisa dia andalkan. Mungkin beda ceritanya kalau disini ada Yuigahama.

  “...Oleh karena itu, biar kubantu.” kata Hayama.

  “Tapi mempercayakan itu ke orang luar...”

  Hayama menjawab kekhawatiran Meguri-senpai dengan senyuman.

  “Tidak, aku akan mengkoordinasi sukarelawannya, hanya itu saja. Semacam, aku jadi perwakilan mereka.”

  Itu adalah proposal yang menarik. Tidak seperti organisasi resmi, para sukarelawan ini punya kelas dan klub masing-masing, dan juga jalur komando yang berbeda. Karena tiap grup punya kegiatan khusus yang berbeda-beda untuk ditampilkan, mengurusi mereka semua pasti berat sekali.

  Kalau semua itu bisa diurus dengan membuat perwakilan dari sekian banyak sukarelawan, maka itu akan mengurangi beban kerja, dimana saat ini, akan mengurangi beban di pundak Yukinoshita.

  Lebih jauh, jika para sukarelawan itu bisa mengkoordinasi diri mereka sendiri terpisah dari panitia, maka itu cukup masuk akal.

  Meguri-senpai terlihat sedikit khawatir, dia terlihat tersenyum.

  “Kalau begitu, oke. Akupun senang kalau kami bisa mempercayakan itu kepadamu...”

  “Bagaimana?” tanya Hayama.

  Yukinoshita menaruh tangannya di dagu dan berpikir.

  “.....”

  “Yukinoshita-san, sangat penting untuk mengandalkan orang lain,”

  Meguri-senpai mengatakannya seperti berusaha meyakinkannya.

  Hayama dan Meguri-senpai mengatakan hal yang tanpa ragu dan yakin kalau itu benar. Itu adalah yang terbaik, sangat menginspirasi, itu adalah sesuatu yang indah tentang kebersamaan mencapai tujuan bersama.

  Orang-orang terbiasa dibantu orang lain kurasa tidak ada yang salah.

  Tanpa ragu, mereka mengandalkan orang lain.

  Bekerjasama dan menyatukan kekuatan. Kalau melihat kata-kata tersebut lebih dalam, tentu kita akan merasa kalau itu adalah sesuatu yang indah.

  Tapi aku tidak berminat untuk memuji-muji hal itu.

  Maksudku, coba pikirkan saja.

  Kalau semua orang yang melakukannya bersama-sama adalah hal yang baik dan indah, bukankah itu berarti orang yang melakukan semuanya sendirian terlihat buruk?

  Mengapa orang-orang yang memilih jalan hidupnya untuk sendiri harus ditolak seperti ini?

  Ini adalah sesuatu yang tidak bisa kubiarkan terjadi.

  “...Bergantung ke orang lain itu penting, tapi hanya beberapa yang benar-benar melakukannya. Tidak masalah kalau mereka butuh bantuan, tapi akan ada orang-orang yang juga sedang mencari keuntungan darimu.”

  Aku mengatakannya dengan nada yang lebih agresif dari yang kubayangkan. Menyadari ekspresi Meguri-senpai yang berubah, aku mengubahnya agar terkesan sebagai candaan. Menakut-nakuti gadis yang cantik dan menyenangkan kurasa tindakan yang keterlaluan.

  “Spesifiknya, uh...umm, ah. Benar, seperti pria yang selalu memberiku pekerjaan tambahan. Serius nih, aku tidak akan memaafkan mereka. Aku tidak bisa menggampangkan itu karena diluar kuasaku...Tapi aku tidak akan memaafkannya!”

  “Kau buruk sekali!?” Meguri-senpai meresponnya santai, seperti menanggapi kata-kataku sebagai candaan.

  Yukinoshita lalu mengembuskan napas kecilnya.

  “Tentunya beban pekerjaan ini mulai memberi efek ke asisten arsip, jadi aku akan memikirkan ulang semua pekerjaannya. Juga, karena Meguri-senpai meyakini hal tersebut juga, kuterima usulmu tadi...Maaf ya.”

  Dia terus menatap ke arah PC. Entah kepada siapa dia meminta maaf.

  Aku merasa kalau dia mengatakan itu sebagai bentuk simpatinya kepadaku, tapi bukannya aku ini mau mendukung Yukinoshita. Dia tidak punya alasan untuk meminta maaf. Aku hanya tidak bisa memaafkan orang yang berpikir dirinya lebih baik daripada diriku. Sesederhana itu.

  Aku tidak bisa mentoleransi bagaimana orang yang sudah melakukan sesuatu sesuai apa yang dia yakini dan mulai dipengaruhi orang orang-orang luar. Aku tidak bisa menutup mata ketika ada orang yang berjuang dengan jalan yang dia yakini dan terlihat seperti orang yang salah.

  Aku bertindak karena itu.

  Sekali lagi, ini bukannya aku membantunya. Sebaliknya, ada pekerjaan baru yaitu membagi ulang pekerjaannya. Yang kulakukan itu sia-sia, itu saja.

  “Oke, mari kita bekerja dengan keras!”

  “Aku akan menghubungi orang-orang mulai besok.”

  Hayama tersenyum sementara Meguri-senpai mengangguk dengan antusias.










x  x  x








 
  “Tampaknya orang yang hadir lebih sedikit dari kemarin...”

  Ini adalah situasi kepanitiaan seminggu setelahnya. Bahkan hanya beberapa orang yang hadir. Tidak perlu membandingkan dengan yang sebelumnya. Hanya terlihat Yukinoshita dan beberapa orang dari pimpinan yang ada disini.

  Meguri-senpai menggerutu dengan khawatir.

  “Aku akan menghubungi beberapa orang. Aku harusnya menolak usul Sagami-san kapan hari...”

  Dia sepertinya merujuk ke opini Sagami tentang ‘kelas juga penting’.

  Setelah Meguri-senpai mengatakan permintaan maaf, Yukinoshita menghentikan tangannya yang sedang membuka-buka dokumen.

  “Ini bukanlah masalah. Aku akan mengatasinya dan menerima formulir dari berbagai seksi. Sampai mereka datang, kurasa kita bisa mengerjakannya tanpa masalah.”

  Sekilas, pekerjaannya tampaknya tanpa hambatan, mungkin karena efek dari membagi pekerjaan itu dengan orang lain.

  Ini mungkin kutipan dari beberapa anime atau manga, hanya 20% dari kawanan semut yang benar-benar bekerja. Dua puluh persen lagi tidak bekerja. Dan sisa 60% berada diantara bekerja dan tidak bekerja. Ini mungkin bisa kita aplikasikan ke manusia.

  Dengan kata lain, 60% panitia hanya terbawa arus antara pihak A atau B setelah melihat suasananya. Juga ada kemungkinan mereka condong ke salah satu sisi karena mereka bisa memperoleh alibi yang mudah untuk disampaikan.

  Dengan itu yang terjadi di kepanitiaan, para semut yang benar-benar bekerja ini terlihat punya masa depan suram.

  Terutama, ini bukan karena mereka tidak mau hadir, tapi ada pola pikir “kurasa tidak masalah kalau aku tidak hadir” menyebar di kepanitiaan.

  Jumlah yang besar meyakinkan orang-orang. Perasaan kalau tidak masalah melakukan itu jika orang lain juga melakukannya ternyata benar adanya.

  Kalau kita simpulkan dari sudut pandang lain, maka ‘Tren saat ini adalah tidak menghadiri kepanitiaan’.

  Kapanpun dan dimanapun, aku selalu menjadi bagian dari minoritas. Aku merasa dibuang dari surga saja.

  Tapi masih ada orang-orang yang benar-benar niat untuk bekerja. Para pengurus OSIS, seperti yang kauharapkan, solid dan bertanggung jawab. Mereka menunjukkan kemampuan administratif mereka dengan penuh tanggung jawab sebagai bagian dari panitia festival budaya.

  Itu mungkin terjadi karena karisma ketuanya, Meguri-senpai. Hari ini seperti hari-hari biasanya, para pengurus OSIS bekerja bersama untuk mensupport Meguri-senpai yang menebarkan aura nyaman, dan juga orang yang peduli.

  Meguri-senpai merespon dengan ramah dan membantu sebisanya. Dia berkeliling, berbicara ke orang-orang yang ada di ruangan.

  “Sepertinya situasinya sedang sulit, tapi mereka katanya akan datang, jadi kita harus bekerja dengan giat. Kami mengandalkanmu, oke?”

  “Hahaha, terima kasih...”

  Dia tidak lupa untuk berbicara denganku. Terima kasih...Kalau aku jadi satu-satunya orang yang tidak diajaknya berbicara, aku pasti akan mengatakan selamat tinggal ke tempat ini besok.

  Aku menaruh tasku dan melihat jadwal pekerjaan hari ini. Karena aku sudah menyelesaikan secara perlahan, jumlah pekerjaanku terlihat berkurang. Kalau terus begini, semuanya akan segera berakhir dengan cepat.

  Ketika aku berjalan, seseorang menepuk pundakku.

  Ternyata Hayama sedang memegang beberapa dokumen. Meski panitia yang lain belum datang, Hayama kadang datang sebentar, meskipun dirinya bukan bagian kepanitaan. Datang setiap hari mungkin terlihat memaksa, tapi kapanpun ada waktu kosong di jadwalnya, dia akan datang kesini.

  Hayama memang pria yang baik.

  “Maaf mengganggu pekerjaanmu. Aku butuh sekitar 30 menit denganmu untuk membahas permintaan perlengkapan.”

  “Be-benar.”

  Dia menyebutkan waktu dan tujuan yang spesifik, jadi aku tidak punya alasan untuk menolak. Ini bukanlah alasan yang buruk untuk menunda pekerjaanku.

  Memang benar-benar kualitas seorang bos.

  Dan sekarang, aku adalah anak buah Hayama. Ergh, aku ingin mati saja.

  Ketika kami bekerja, ada suara keras menghentak, berasal dari pintu yang dibuka. Di ruang dimana orangnya sedikit, suara itu menggema dengan baik.

  Dengan semua mata menatapnya, Hiratsuka-sensei melambaikan tangannya dan memanggil dari arah pintu.

  “Yukinoshita, ada waktu?”

  Yukinoshita melirik dari arah PC di mejanya.

  “Hiratsuka-sensei...Kedua tangan saya sedang agak sibuk saat ini...Apa tidak masalah jika saya mendengarkan anda dari sini?”

  Hiratsuka-sensei berpikir sejenak.

  “Fumu...Well, ini bukanlah sesuatu yang bisa kukatakan lagi di hari-hari berikutnya...”

  Dia lalu berjalan masuk ke ruangan dan berdiri di samping Yukinoshita.

  “Tampaknya kau belum mengembalikan kuisioner jurusanmu, tentang masuk IPA atau IPS.” kata Sensei.

  “...Maafkan saya. Sekarang ini waktunya kurang tepat.”

  Yukinoshita mengatakan itu dengan malu-malu. Dia lalu memindahkan kedua tangannya dari keyboardnya dan menaruhnya perlahan di lututnya.

  “Begitu ya...Aku tahu kalau kepanitiaan festival akan menyita banyak sekali waktumu, tapi tolong jangan ‘over’.”

  “Saya mengerti,” Yukinoshita menjawabnya.

  Hiratsuka-sensei tersenyum dengan lembut dan menyemangatinya.

  “Umu...Well, kami bisa menunggu sampai Festival Budaya selesai. Karena kamu ini siswa kelas Budaya Internasional, itu memang tidak mempengaruhimu sama sekali. Masih ada waktu. Ini hanya kuisioner formalitas. Bukan sesuatu yang harus kaupikirkan terlalu dalam.”

  Hiratsuka-sensei menepuk lembut kepala Yukinoshita seperti mempedulikannya, dia lalu melambaikan tangannya dan meninggalkan ruang rapat. Yukinoshita membetulkan rambutnya sambil melihatnya pergi dengan ekspresi kesal.

  Aku agak terkejut melihat Yukinoshita berubah menjadi seperti itu karena itu. Tapi aku bukanlah satu-satunya orang yang merasakan itu karena Hayama yang melihat ke arah Yukinoshita memiliki ekspresi yang ragu-ragu juga.

  Karena itu, kami berdua berhenti bekerja.

  “...Hei, bisa dilanjutkan?”

  Sangat sulit berbicara ketika orang lain bekerja secara diam-diam, tapi sekarang kita tidak melakukan apapun! Cepatlah dan bebaskan aku dari pekerjaan ini!

  Ketika aku berbicara, Hayama seperti kembali ke dirinya dan tersenyum.

  “Yeah, maaf. Ayo kita lanjutkan.”

  Aku tidak bermaksud begitu...”Bukankah ini waktunya kita selesai?” adalah yang ingin kukatakan...bukan, “bukankah ini waktunya kita lanjutkan lagi?”

  Aku ingin menjelaskan kata-kataku, tapi dengan senyum Hayama, aku tidak bisa benar-benar memberitahunya tentang maksudku. Masih ada waktu sebelum 30 menit yang dijanjikan habis...Oke, mungkin aku memang belum waktunya untuk bebas.

  Ketika aku menuliskan daftar, memasukkan detil kertas formulir ke program excel, Meguri-senpai yang bekerja di dekatku sedang mengobrol dengan Yukinoshita.

  “Yukinoshita-san, apa kamu mau pilih IPS atau IPA di kelas tiga?”

  “Aku masih belum tahu...”

  “Oh, begitu, baik, baik. Aku tahu rasanya ketika bingung. Aku mengkhawatirkan itu juga. Kalau begitu, pelajaran apa yang kau rasa fasih? IPA?”

  “...Itu, sebenarnya bukan begitu.”

  Yukinoshita tidak terlihat sedih, tapi responnya kurasa cukup dingin.

  Ketika Meguri-senpai tidak yakin bagaimana melanjutkan percakapannya, Hayama berhenti bekerja dan menegakkan kepalanya dari layar PC.

  “Yukinoshita-san juga fasih di IPS juga.”

  “Ah, begitu ya.”

  Meguri-senpai tampak lega ketika Hayama menambahkan.

  ...Benar, aku memang punya dugaan yang masih abu-abu, tapi Yukinoshita harusnya juga pintar di IPS.

  Aku ranking 3 dalam Sastra Jepang, ranking 2 ditempati Hayama, dan Yukinoshita di ranking pertama. Kita seperti top 3 yang tidak tergeser, dan kita akan terus ada di top 3 jika masuk IPS.

  Tambahan lagi, dia selalu membaca buku dan imagenya itu memang terlihat kalau dia cocok di IPS.

  “Tahu tidak, aku ini anak IPS. Jadi kalau kau bingung mau pilih mana, tanya saja ke aku!”

  “Haa...Terima kasih. Aku sangat menghargai tawaranmu.”

  Sangat sopan atau begitulah pikirku, tapi dia mengatakan penolakannya secara tidak langsung.

  Meguri-senpai, tampaknya tidak menyadari itu dan melanjutkan percakapannya dengan bersemangat.

  “Yep, yep. Oh, tapi aku tidak paham beberapa hal soal IPA, jadi aku mungkin tidak bisa jawab. Tapi kau bisa tanya ke Haru-san, dia dulu memilih IPA.”

  “...Itu, benar.”

  Sebuah bayangan menyelimuti ekspresi Yukinoshita. Meski begitu, Yukinoshita bertanya ke Haruno-san sesuatu sepertinya suatu hal yang mustahil.

  Kata-kata Yukinoshita seperti tidak membiarkan percakapan berlanjut. Meguri-senpai langsung terdiam melihat suasana yang memaksanya untuk berhenti.

  Yang terdengar setelahnya adalah suara click click tak tak dari keyboard dan kertas-kertas dokumen yang dibuka seperti memberitahu kode morse.

  Dengan suasana yang sunyi, sebuah suara batuk terdengar sekilas. Bahkan suara batuk kecil itu membuat mataku bergerak dengan sendirinya, mencari pemilik suara tersebut.

  “...Perwakilan 2F. Kau belum mengembalikan formulir tentang penampilan kelasmu.”

  Yukinoshita mengatakan itu sambil memegang dokumen di tangannya.

  Tampaknya ada seseorang yang belum mengembalikan formulirnya dan ini sudah lewat deadline? Untunglah. Mana orang sialan itu...? Oh, ternyata itu aku! Aku tidak merasa punya hubungan dengan kelasku jadi aku tidak sadar begitu saja.

  Sebenarnya, kudengar Sagami yang menulis dan mengembalikannya...Well, tapi aku tidak bisa mengkonfirmasi itu karena belakangan ini dia jarang sekali kesini.

  “...Maaf, aku akan segera menulisnya.”

  Aku ragu kalau menunggu akan terjadi sesuatu yang bagus, jadi mari kita karang saja asal-asalan.

  “Begitu ya...Kirim sebelum kegiatan kita berakhir hari ini.”

  Aku mengambil dokumen dari Yukinoshita dan mulai menulis.

  Jumlah partisipan, nama perwakilan kelas, nama kegiatan, peralatan yang dibutuhkan, nama wali kelas...Apaan, mereka juga meminta untuk menyertakan foto juga? Apa kau yakin mau menantang artis KW sepertiku?

  Aku akhirnya mengosongkan banyak sekali isian di formulir.

  Ternyata aku tidak tahu harus menjawab apa.

  Aku selama ini mampir sebentar ke kelas bukan untuk omong kosong. Itu, tentunya, berarti aku setidaknya ada petunjuk nama pertunjukan yang ditampilkan kelasku, juga kira-kira berapa orang yang berpartisipasi.

  Tapi itulah gunanya pria ini ada disini. Tidak, dia harusnya ada disini karena momen ini.

  “Hayama, bisa beritahu aku detail soal ini?” kataku.

  Hayama berpikir sebentar dan menjawab. “Maaf, aku benar-benar tidak tahu.”

  “Tidak masalah, seadanya saja. Aku tinggal mengarang sisanya.”

  “Kau harusnya tidak melakukan itu.”

  “...Aku bisa mendengarmu.”

  Yukinoshita merespon dengan suaranya, tidak sedikitpun memindahkan pandangannya dari layar PC.

  Hayama lalu tersenyum.

  “Kupikir akan lebih cepat jika kau mendatangi para gadis yang sekarang masih ada di kelas.”

  “Begitu ya.”

  Aku menyatukan kertas-kertas tersebut, meninggalkan ruang rapat, dan menuju ke kelasku.

 









x  x  x









  Ruangan kelas seusai jam sekolah sebelum Festival Budaya terlihat seperti lahan proyek. Suara-suara berisik yang bekerja dan banyaknya orang berpartisipasi menunjukkan semangat tiap kelas.

  Dalam sebuah percakapan antara siswa laki-laki dan perempuan, para laki-laki melihat seberapa populer mereka dilambangkan dengan (yH) dan seberapa banyak waktu yang mereka habiskan dengan bekerja (yH). Setelah itu bandingkan dengan nilai protagonisnya dengan mengalikan poin tersebut. Punya unit-unit dengan nilai yang sama tersebut memang sulit untuk dimengerti.
[note: Tampaknya ini permainan dari Watari. Inisial YH hanya merujuk ke Yukinoshita Haruno. Bisa jadi Hachiman sarkasme kalau festival budaya adalah festival ala Haruno.]

  Kelas 2F juga menunjukkan nilai yH. Ada sebuah panggung yang berasal dari beberapa meja dijadikan satu, kostum yang sedang dijahit di salah satu sudut, dan ada yang sedang latihan dialog.

  “Ya ampun, lakukan yang benar!”

  Beberapa laki-laki termasuk Ooka sedang dimarahi oleh Sagami.

  Jadi dia ada disini...

  Well, lagipula dia hadir di kepanitiaan saja belum tentu bisa mengerjakan sesuatu. Kadangkala, perbedaan kemampuan seseorang ini terlihat kejam.

  Apa aku harus memberitahunya agar hadir di kepanitiaan?

  Aku mempertimbangkan itu, tapi kata-kata dariku tampaknya akan membuatnya bergosip di belakangku, “Uhh, Hikitani, dia seperti, komplain terus kepadaku. Menjijikkan. Mau main keras? Tampaknya kekerasan seksual mungkin lebih tepat mempertimbangkan betapa menjijikkannya dia (haha). Aku akan menuntutnya (haha). Lagipula, dia bukanlah bosku (haha). Serius nih, memangnya siapa dia(haha)...? Eh, serius ini, dia itu siapa?”. Skenario seperti itu otomatis berputar di kepalaku seperti kekuatan supernaturalku tiba-tiba bangkit dan aku mendapatkan kemampuan untuk melihat masa depan.

  Aku melihat ke seluruh ruangan dan menyadari kalau teman-teman sekelasku tidak memakai seragam sekolah.

  Apakah mereka menyelesaikannya...?

  Senjata pemusnah yang menakutkan dan menghancurkan jiwa, kaos kelas...

  Kaos kelas. Sederhananya, kaos yang dibuat tiap kelas ketika Festival Budaya. Sebenarnya penjelasannya tidak berguna karena namanya sendiri sudah menjelaskan apa itu.

  Mungkin, kaos itu bertujuan untuk menunjukkan betapa bersatunya orang-orang di kelas, akrab, dan menunjukkan antusiasme mereka ke festival budaya, juga memberikan kenangan fisik yang berharga dan bukti dari masa muda.

  Menyinggung kaos kelas, nama tiap siswa tertulis di belakang. Menurut pengalamanku, ini bukanlah masalah utamanya.

  Dari semua nama yang tertulis, aku ingat ada nama asliku tertulis: “Hikigaya-KUN”. Mayoritas nama tertulis dengan campuran hiragana dan katakana, jadi menggunakan huruf kanji hanya untuk menulis namaku hanya membuatku terasa beda dari yang lain dan terlihat mencurigakan. Terutama bagian “KUN” dimana tertulis dalam katakana, ini menunjukkan beban berat yang ditunjukkan tukang sablonnya demi menulis nama tersebut, dan kesalahan tersebut berakhir dengan membuatku merasa bersalah soal itu.

  Aku sudah menerima damage yang luar biasa ketika festival kelas satu, tapi festival kali ini, silakan saja. Aku bahkan tidak keberatan  namaku tertulis dalam huruf kanji. Hahaha, setelah festival budaya selesai, aku akan memakainya sebagai kain lap. Itu bahkan tidak cukup bagus sebagai piyama karena tidak dibuat dari bahan yang berkualitas.

  Aku melihat sekelilingku untuk mencari Yuigahama.

  Uhh, Gahama, Gahama, err.

  Er, terlihat di depanku seseorang yang sangat cantik.

  Lengan yang kebesaran disertai mantel yang panjang, hanya memperlihatkan ujung jari-jemarinya yang keluar. Dia adalah Totsuka yang sedang memakai kostum “Pangeran Kecil”. Dia sedang diukur bajunya dan lipatan kain yang lebih itu ditahan menggunakan pin.

  Ketika Totsuka menyadariku, dia mengeluarkan tangannya dari lengan baju dan melambai.

  “Oh, Hachiman. Selamat datang.”

  “...Aku kembali.”

  Momen yang cukup memalukan, aku pulang dan aman!

  Aku hampir membungkuk dengan spontan juga. Kalau Totsuka mau menyapaku dengan itu setiap kali bertemu denganku, maka aku dengan bahagia akan pulang setiap hari.

  “Ah, benar”.

  Totsuka mengatakannya dan dia berlari kecil seperti ada sesuatu di pikirannya. Dia mengambil sesuatu dari tasnya dan kembali. Sekilas, aku mengharapkan kalau situasi ini akan berkembang menjadi ‘dia akan terpeleset karena menginjak lipatan mantel yang kebesaran itu dan jatuh tepat di dadaku!”, tapi hidup ternyata tidak sesuai imajinasi. Realita akan selalu lebih kejam tidak peduli kapan dan dimana.

  “Ini, terima kasih sudah meminjamiku ini.”

  Yang dia beri kepadaku adalah sebuah buku.

  Itu adalah novel yang kupinjamkan ke Totsuka kapan hari, “Sang Pangeran Kecil”. Karena aku sudah membacanya berkali-kali, pinggiran bukunya sudah terkelupas dan bukunya terlihat kusam. Aku juga sempat berpikir kalau buku tersebut tidak dalam kondisi yang layak untuk dipinjamkan ke orang lain.

  “Jadi aku sempat berpikir kalau aku ingin membalas ini...”

  Totsuka mengangguk dan menatapku dengan kagum.

  “Um...Hachiman, apa kau suka sesuatu?”

  Kamu.

  Dia hampir menanggapinya begitu. Sial, aku bahkan sadar kalau aku akan mengucapkan “K”.

  “K...Kurasa tidak ada untuk saat ini.”

  Aku menjawab itu untuk mengalihkan kesalahanku.

  Totsuka lalu menyilangkan lengannya seperti mengkhawatirkan sesuatu.

  “Oh oke...Ka-kalau begitu bagaimana dengan makanan favorit atau buku, atau...snack yang kamu sukai? Akan sangat bagus jika kau memberitahuku.”

  Kamu.

  Lagi-lagi, dia hampir menangkap responku. Bahkan aku sempat mengucapkan “Ka”.

  “Ka...Kamu membuatku tersudut dengan mengatakan itu tiba-tiba...Well, kalau memang harus kukatakan, kurasa aku suka yang manis-manis.”

  Misalnya MAX COFFEE. Juga, kacang miso, jelly malt, atau cream lembut dari Mother Farm, atau bahkan pai kacang Orandaya.

  “Yang manis-manis...Oke, aku akan membawanya lain kali!”

  Totsuka mengatakannya dengan senyum, lalu ada suara memanggilnya. Tampaknya mereka sudah selesai memperbaiki kostum celananya. Totsuka membalas mereka dan mengatakan kepadaku. “Oke, aku pergi dulu ya.”

  “Semoga perjalananmu menyenangkan.”

  Aku menjawab Totsuka yang melambaikan tangannya dan melihatnya pergi...Hal-hal semacam ini memanglah manis. Kalau bisa, aku mau melihat Totsuka pergi setiap pagi dari rumah. Meski, mengapa sangat menyakitkan melihat Totsuka direbut dariku.

  Sekarang karena aku ditinggal, aku melihat ke sudut ruangan kelas.

  Sisi manis Totsuka terlalu kuat untuk membuatku berpaling dari tugasku.

  Urgh, Gahama...

  Oh, dia ada disana.

  “Yuigahama.”

  Yuigahama, yang sedang memakan es krim entah dia beli dimana, sambil memilah-milah kertas atau semacam itu. Dia menaikkan kepalanya dan berjalan ke arahku.

  “Huh? Hikki, apa pekerjaanmu selesai?”

  “Terlihat tidak bekerja bukan berarti pekerjaanku berakhir.”

  “Apa-apaan sih yang kamu bicarakan?”

  Yuigahama mengatakan itu sambil melihatku seperti orang idiot.

  Tsk, ini adalah masalah yang melanda orang-orang di lingkungan buruh...Kenapa tidak kuajari gadis ini horor yang sebenarnya dari menjadi budak perusahaan? Tapi aku tidak berani mengatakan itu. Kebencianku terhadap pekerjaan kusimpan dulu di dalam hatiku, mari kita selesaikan tugas yang menyebalkan ini dulu.

  “Aku ini sedang bekerja. Maaf, bisakah kau beritahu aku apa saja yang perlu kuisi di formulir ini? Aku harus menyetornya sebelum kepanitiaan hari ini berakhir.”

  “Apa ini penting? Ah, bukankah Hayato juga ada disana?”

  ‘Disana’, dia mungkin mengatakan kepanitiaan.

  “Yeah.”

  “Oke, kita lakukan saja disana. Disini terlalu berisik. Aku mau memanggilnya kembali agar kita bisa mendiskusikan soal dramanya.”

  Ketika kami berbicara, Sagami berkata dari belakang.

  “Ah, aku juga pergi ke ruang panitia. Maaf, semuanyaaaa. Aku akan menyelesaikan ini dan pergi kesana.”

 









x  x  x










  Kami kembali ke ruang konferensi dan Yuigahama mendikteku tentang detil penampilan mereka.

  Standar seperti perlengkapan, jumlah orang, jumlah dana dan beberapa hal abstrak semacam tujuan memilih kegiatan itu dan sinopsis cerita juga ditulis. Terlebih lagi, kita bahkan membuat semacam peta atau blueprint, sesuatu yang harus aku konversi menjadi tulisan saja karena di formulir tidak ada ruang untuk itu.

  Ngomong-ngomong soal mengganggu.

  “Sudah kukatakan itu salah! Tulis begini, seperti, lebih booom! Cahaya yang keluar akan sangat keren, oke!”

  “Aku tidak paham maksudmu...”

  Aku bukannya mau mengatakan kalau gambarnya itu mengganggu, tapi yang dikatakan Yuigahamalah yang mengganggu.

  Kenapa penjelasanmu harus dramatis begitu...? Ini sudah mendekati titik menakutkan.

  “Juga, kau menuliskan jumlah orang yang salah disana.”

  “Sungguh memalukan sekali...Aku diajari oleh Yuigahama dari sekian banyak orang di sekolah ini...”

  “Apa-apaan barusan? Terserahlah, cepat dan perbaiki itu!”

  Aku seperti diajari oleh disiplin yang ketat, aku gerakkan pensilku di kertas dan akhirnya kami membuat kemajuan.

  Pemandangan dari siswa-siswa yang bekerja dengan rajin, para pimpinannya, ditambah lagi adanya motivasi dari Meguri-senpai yang tersenyum manis ketika mengerjakan pekerjaannya. Akhirnya, ruang konferensi ini menemukan kedamaiannya dalam melewati waktu.

  Yang mengganggu kedamaian itu hanyalah suara mekanik peralatan yang berisik.

  “Maaaf sudah telat! Oh, Hayama-kun, kau disini!”

  Mengikuti dari belakang Sagami, kedua temannya. Dia ini seperti sebulan sekali datang untuk bekerja. Dia memanggil Hayama dan mendekatinya, tapi sebelum dia bisa, Yukinoshita sudah berada di depannya. Meski Sagami agak kaget karena Yukinoshita tiba-tiba ada di depannya, tanpa membiarkannya untuk kaget, Yukinoshita memegang stempel dan setumpuk dokumen.

  “Sagami-san, aku membutuhkanmu untuk stempel disini. Aku pikir tidak ada masalah dengan pemeriksaan dokumennya. Aku sudah membetulkan kesalahan-kesalahan yang ada.”

  “...Benarkah? Terima kasih!”

  Tanpa ba bi bu pekerjaan langsung disodorkannya tepat di depan pintu.

  Entah karena dihalangi berbicara dengan Hayama atau tidak senang karena dicegat oleh tumpukan pekerjaan di pintu masuk, Sagami seperti memasang ekspresi zombie, tapi dia langsung memasang senyum dan menerima dokumen-dokumen itu.

  Sagami menstempel dokumen-dokumen tersebut satu-persatu tanpa melihat isinya sementara Yukinoshita, memeriksanya sekali lagi dan menaruhnya di tempat dokumen yang sudah disetujui. Ini bukanlah hal yang baru, tapi komposisi orang-orang ini sendiri sudah menimbulkan masalah, huh?

  Karena aku sudah lama di kepanitiaan, aku bisa membaca apa yang sedang terjadi, tapi bagaimana dengan tanggapan orang luar? Dengan itu di pikiranku, aku menatap ke arah Yuigahama dan bibirnya seperti tertahan disertai tatapannya yang merendah. Well, mungkin dia sudah tahu masalahnya. Dengan tidak adanya aktivitas klub dan perasaan aneh karena memiliki jarak antara dirinya dan Yukinoshita, di depan matanya terlihat adegan interaksi antara Yukinoshita dan Sagami. Melihat adegan itu bukanlah hal yang bagus.

  Di lain pihak, orang luar, Hayama, masih terlihat tersenyum. Malahan, dia meresponnya.

  “Kerja bagus, Sagami-san. Apa kau tadi dari kelas?”

  Sagami membalikkan badannya seperti katak dan menatap Hayama.

  “Uh huh, benar.”

  “Begitu ya...Jadi bagaimana situasinya?”

  “Kurasa situasinya berjalan dengan lancaaar,” jawab Sagami.

  Hayama berhenti sejenak.

  “Oh, maksudku bukan yang itu, tapi kepanitiaan festival. Maksudku, kelas sudah berjalan dengan baik karena sudah dihandle Yumiko.”

  Merasa teraduk-aduk dengan kata-katanya, entah dia sadar atau tidak, dia seperti menyebarkan racun. Jika Hayama memilih untuk mengatakan kata-kata itu secara sengaja, pasti ada sesuatu di baliknya. Maksud aslinya pasti semacam “Apakah tidak apa-apa bolos kerja di kepanitiaan?”.

  Tapi Sagami melanjutkan pembicaraan seperti tidak menyadari apapun, racunnya kurang mempan.

  “Aah...Miura-san, dia memang terlihat lebih cerewet dari biasanya, seperti bisa diandalkan.” (translate: Miura kampret! Tidak hanya dia dipuji, dia sangat mengganggu karena ikut campur urusan orang.)

  “Hahaha, maksudku dia membantu dan semacamnya. Itu bukanlah hal yang buruk.” (translate: Kau sebaiknya tidak berbicara lebih jauh lagi, oke?)

  Aku pasti habis makan Jelly Penerjemah karena aku secara otomatis bisa membaca kata-kata mereka...

  Aku bukannya membaca itu dengan mengamati beberapa poin kata-katanya, hanya saja pemilihan kata-kata dari Sagami sangat buruk sehingga aku bisa membacanya. Bahkan aku bisa membaca maksud dari kata-kata pria baik seperti Hayama.

  Aku mengikuti subtitle yang sedang bergerak di otakku tentang apa yang ada di depan mataku, tapi ada yang menepuk kedua tangannya di depan mataku.

  “Ayolah, cepat dan selesaikan. Aku ingin kembali secepatnya.”

  “Tunggu, lagian, ini bukanlah pekerjaank...”

  Sebenarnya, ini adalah sesuatu yang Sagami harusnya lakukan. Kenapa sekarang malah aku? Aku tidak paham.

  “...Berisik sekali,” Yukinoshita secara pelan menggumamkan itu, seperti merespon suara yap yap yap yang terdengar di ruangan ini.

  Yuigahama dan diriku tiba-tiba menutup mulut kami, tapi Sagami melanjutkan percakapan menyenangkannya dengan Hayama, tampaknya gumaman darinya tadi tidak terdengar olehnya.

  “Oh tidak, aku sebenarnya ingin seperti Miura-san aku mengagumi bagaimana dia memimpin yang lain!” (translate: Aku sangat ingin membacoknya dan mengambil tempatnya!)

  “Sagami-san, kau juga punya kelebihan, apakah itu tidak cukup?” (translate: Sudah kubilang berhenti membicarakannya lebih jauh? Kau harusnya sadar posisimu demi kebaikanmu sendiri, oke?)

  “Ehhh? Tapi tidak ada satupun hal bagus dengan diriku!” (translate: Ayolah, aku sebenarnya cuma merendahkan diriku! Tolong puji aku! Puji aku! Hayama-kun, puji aku!).

  “Semua orang itu berbeda. Kau mungkin berpikir begitu, tapi bagi orang lain, mereka hanya bisa melihatnya saja.” (translate: Tidak, maaf, aku tidak terbiasa memuji orang, jadi aku akan memberimu nasehat saja).

  Percakapan itu dipotong suara panggilan HP dan Sagami membuka HP-nya.

  “Hikki, jangan gerak-gerak terus. Kita menjadwal ulang pertemuan soal dramanya menjadi nanti malam, jadi kita harus menyelesaikan ini secepatnya, oke?”

  “Dua puluh menit lagi sebelum jam sekolah tutup...”

  Semua beban seperti bertumpuk di kepalaku.

  “Well, tampaknya kita tidak akan sempat ke kelas, tidak ada yang bisa kita lakukan karena delay ini, benar tidak?”

  Hayama tampaknya mendengarkan percakapan kita dan menambahkan.

  Pria yang baik sekali. Meski, sebenarnya aku tidak harus kena kekacauan ini jika dia mengerjakan formulir ini sejak kapan hari. Tapi karena ini juga termasuk dalam pekerjaan panitia, jadilah seperti ini. Dengan itu di pikiranku, aku harus menerimanya...

  ‘Aku adalah ketuanya, tahu tidak? Jadi pekerjaanku itu harus kau kerjakan, terima kasih!’ (translate: Kau kerjakan dengan serius ya, dasar kuli. *meludah*). Itulah yang ada di pikiranku.

  Sabarlah...sabarlah...Aku akan membuatnya membayarnya dua kali lipat di ronde selanjutnya. Bisakah aku tidak kehilangan kesabaranku sampai saat itu tiba?

  Ngomong-ngomong, setelah beberapa waktu berlalu, kami akhirnya menyelesaikannya.

  “Akhirnya selesai...”

  “Pastinya begitu,” Yuigahama menjawabnya dengan ekspresi kelelahan.

  “Maaf soal ini. Kau sudah membantuku. Terima kasih.”

  “Eh? Tidak, itu tidak masalah. Tidak masalah sama sekali. Ini memang jarang melihat Hikki meminta bantuan.”

  “Kupikir juga begitu. Bahkan aku sendiri tidak pernah berpikir kalau hari itu akan datang.”

  “Kamu ini menganggapku idiot tingkat berapa sih!?”

  Aku tidak mempedulikan suara Yuigahama dan memberikan formulir tersebut ke Yukinoshita, dia menerimanya tanpa mengatakan satupun kata. Dia melihat halaman pertama, kedua, dan setelah selesai, dia merapikannya menjadi satu, lalu menaruhnya di meja.

  “Tampaknya oke, terima kasih atas kerja kerasnya.”

  Tanpa sedikitpun menatapku, dia merapikan dokumen tersebut.

  “Bukannya kalau diterima akan distempel?”

  “...Ah.”

  “Itu benar,”

  Yukinoshita menjawabnya singkat dan mengambil dokumen itu lagi.

  Sebuah kesalahan yang kebetulan.

  Itulah mengapa dari tadi aku merasa ada yang janggal.

  “Sagami-san. Aku membutuhkanmu untuk menstempel ini.” kata Yukinoshita.

  Sagami lalu menghentikan obrolannya dan mengambil dokumen-dokumen itu.

  “Oh, tentu. Sebenarnya, aku akan memberikanmu stempelnya dan kau bisa lakukan sendiri, oke?”

  “Sagami-san, kau sudah terlalu jauh disini,”

  Meguri-senpai tidak membiarkan itu terjadi dan menasehatinya.

  Sagami tidak terlihat malu.

  “Ehhh? Tapi bukankah lebih efisien begini? Kupikir yang terpenting adalah apa yang kita lakukan dan tidak kaku dengan formalitas, benar tidak? Tahu tidak, semacam saling percaya atau sejenisnya?”

  Mendengarkan kosakatanya barusan saja seperti mendengarnya mengatakan teori-teori yang luar biasa. Tapi demi kenyamanan, akan lebih efisien jika Yukinoshita memegang stempel daripada Sagami. Meguri-senpai tampaknya punya pikiran yang sama dan hanya bisa menggerutu, kehabisan kata-kata.

  “Kalau Yukinoshita-san tidak masalah, maka tidak masalah...”

  Meguri-senpai menatap ke arah Yukinoshita untuk melihat responnya.

  Yukinoshita mengangguk.

  “Aku tidak masalah. Kalau begitu, aku akan menyetujui semuanya dari sekarang.”

  Setelah dia menerima stempelnya, dia langsung menstempel kertas-kertas tersebut.

  Dengan begini, pekerjaan hari ini selesai. Bel baru saja berbunyi.

  “Oke, kurasa itu menyudahi kegiatan kita hari ini. Aku yang akan mengunci ruangan ini, jadi kalian bisa pulang duluan. Bagi para pimpinan, tolong periksa apa ada yang ketinggalan,”

  Meguri-senpai memberikan instruksi dan para pengurus OSIS langsung menyebar. Bagi para panitia yang diberitahu untuk bisa pulang, mereka tampaknya tidak melewatkan peluang itu untuk pulang bersama.

  Kami mulai menyiapkan diri kami untuk pulang dan meninggalkan ruangan konferensi.

  Dalam perjalanan menuju pintu keluar, Sagami yang mengobrol dengan teman-temannya mendatangi kami.

  “Oh, apa kalian ingin mampir sebentar untuk makan? Yeah?”

  Orang ini hanya menatap ke arah Hayama ketika menanyakan itu...

  Hayama dan Yuigahama terlihat memalingkan mata mereka. Tampaknya mereka ingin melihat-lihat situasinya dulu. Yuigahama lalu menatap ke arah Yukinoshita.

  Dia menjawabnya berbeda, sepertinya dia sudah tahu apa maksud semua ini.

  “Aku masih ada pekerjaan yang harus kuselesaikan.”

  Itu bukanlah alibi untuk menolak karena dia sebenarnya memang benar-benar punya pekerjaan untuk dilakukan. Tidak lupa kalau dia juga dipercayakan pekerjaan itu karena kepercayaan Sagami.

  Tanggung jawab dan pekerjaannya mulai membesar secara cepat.

  “Oh, begitu ya, tentu, mau bagaimana lagi.” (translate: Tidak, aku sebenarnya memang tidak mengundangmu.)

  Subtitlenya ternyata belum hilang dan aku bisa melihat dengan mudah maksudnya. Kau jangan meremehkan kekuatan dari Wicked Eye...

  Mengikuti penolakan Yukinoshita, aku juga menolak.

  “Aku akan langsung pulang.”

  “Oke, aku paham.” (translate: aku memang tidak akan menyediakan tempat duduk untukmu!).

  Aku tahu kalau aku sebenarnya tidak diundang, tapi kurasa barusan adalah hal yang bagus dariku karena aku memastikannya untuk menolak. Maksudku, ayolah, diberitahu, “Eh, umm, kau mau kemana? Kau tidak harus pergi, oke?” akan membuatku sedih. Tidak ada satupun yang boleh gembira. Lagipula, kenapa aku harus dilarang-larang setelah pulang bekerja, huh?

  Orang-orang yang diundang Sagami bukanlah Yukinoshita ataupun diriku, tapi mereka berdua.

  Yuigahama mengatakan sesuatu dengan datar, seperti sudah menyiapkan jawabannya terlebih dahulu.

  “Ha-hari ini tidak bisa buatku...Aku harus menghadiri rapat kelas soal dramanya sebentar lagi.”

  “Ehhh? Yui-chan tidak bisa, huuh? Ayolaah!” (translate: Hei, hei, kalau kamu tidak ikut, maka Hayama juga tidak ikut, tahu tidak? Kamu becanda nih?).

  Whoa, responnya agak berbeda kali ini. Kali ini jauh lebih terbuka, benar tidak?

  “Yeah, rapat soal dramanya, benar tidak? Aku akan pergi kesana juga.” (translate: Aku pilih alasan yang ini saja).

  Hayama tampaknya mencoba mencari keuntungan dari peluang yang barusah dia dengar dan menolak tawarannya.

  Sagami terlihat bisa menerima alasan ajakannya ditolak.

  “Oh, oke, begitu ya. Tampaknya semua orang sudah ada rencana masing-masing. Mungkin lain kali.” (translate: kalau Hayama-kun tidak ikut, ya sudahlah!).

  Meskipun aku tahu kalau membaca maksud dibalik kata-kata orang itu adalah hal yang tidak lucu, aku tidak bisa menghentikan diriku dari membaca subtitle yang lewat itu.

  Diriku yang punya sifat seburuk ini, ternyata punya kemampuan yang spesial.

  Sampai di depan pintu depan, subtitle dari Sagami belum juga hilang. Tampaknya Sagami dan yang lain akan berjalan bersama Hayama, melanjutkan obrolan mereka.

  Aku pasang sepatuku dan keluar setelah mereka.

  Sore sudah berlalu dan bayangan dari malam mulai menyebar.

  “Aku pulang dulu kalau begitu,” Yukinoshita mengatakannya dengan beberapa kata dan pulang dengan tergesa-gesa. Dia membetulkan posisi tasnya ke bahunya, sepertinya tasnya sangat berat dengan banyaknya dokumen yang dia taruh di dalamnya, dia lalu berjalan pulang.

  “Oke, Hikki, sampai jumpa besok.”

  Yuigahama menepuk bahuku dan berlari pergi. Dia ada pertemuan kah? Tampaknya berat sekali.

  Aku menuntun sepedaku dari parkir sepeda yang sepi.

  Cahaya dari lampu jalanan membuatku lemas. Tampaknya aku sudah menggunakan terlalu banyak mataku untuk hari ini. Fitur subtitle tadi tampaknya membuat mataku cepat lelah.

  Dengan berbagai macam pikiran yang tidak berguna mengisi kepalaku, ada satu hal yang menarik perhatianku.

  Ngomong-ngomong, aku tidak melihat subtitle aneh tersebut di orang lain, huh?











x Chapter V | END x






  Maaf dari Yukino itu ditujukan ke Hachiman, karena sudah membelanya agar tetap menjadi dirinya sendiri, dimana pada akhirnya Yukino lebih memilih untuk mengikuti saran Meguri dan Hayama.

  Itu karena di vol 1 chapter 1 Hachiman pernah konfrontasi ke Yukino kalau melarikan diri dan menjadi apa yang orang lain inginkan merupakan sebuah kekalahan atas dunia ini.

  ...

  Kalau kita cermati, solusi Hayama sebenarnya salah alamat. Hayama jelas tahu kalau pangkal permasalahannya adalah Sagami, tapi meminta Yukino untuk menerima Hayama sebagai bagian dari kepanitiaan jelas memiliki maksud terselubung. Menambah satu orang daripada membuat kembali seluruh perwakilan kelas di kepanitiaan jelas lebih efektif solusi yang terakhir.

  ...

  Jawaban mengapa subtitle hanya muncul di Hayama dan Sagami, sedang yang lain tidak, baru terjawab di vol 6 chapter 9. Monolog Hachiman ketika berhadapan dengan Sagami di atap gedung sekolah.

  Ada dua cara bagi dua orang yang berada di level paling hina di dalam komunitas untuk berkomunikasi. Pertama, saling menjilati luka masing-masing. Kedua, dengan saling menjatuhkan satu sama lain.

  Karena Hayama juga memiliki subtitle, Hayama juga sebenarnya orang brengsek. Tapi itu baru terbuka di vol 10 chapter 7.

  ...

  Monolog Hachiman yang berharap Yukino masuk IPS karena cocok dengan imagenya yang suka membaca buku, sungguh tidak masuk akal. Hanya karena suka membaca buku, bukan berarti Yukino cocok di IPS. Tapi jika melihat fakta Hachiman akan memilih IPS kelak, maka ini menjadi masuk akal. Manusia hanya ingin melihat apa yang ingin dia lihat, monolog vol 5 chapter 7.

  ...

  Monolog Hachiman setelah menolak usulan Hayama. Tentang seseorang yang harusnya waktu itu melakukan sesuatu, tapi tidak dilakukan. Lalu orang itu membuat sebuah beban besar ke seseorang.

  Itu adalah Hachiman, mengenai masalah tabrakan setahun yang lalu, dan Yukino sebagai penumpangnya. Hachiman menyesalkan dirinya yang harusnya menyelesaikan itu lebih dini, tapi memilih untuk tidak melakukannya. Tapi itu menjadi masalah yang berantai, hingga Yukino memilih untuk menjadi Wakil Ketua Sagami untuk menghindarinya. Pada akhirnya, Yukino malah mendapatkan masalah yang lebih besar.

1 komentar: