Minggu, 15 November 2015

[ TRANSLATE ] Oregairu Vol 9 Chapter 2 : Rapat berjalan lancar dan menggebu-gebu, tetapi entah mengapa tidak ada keputusan yang dihasilkan





x Chapter II x






  Community Center yang dikatakan Isshiki sebagai tempat pertemuan adalah tempat yang cukup dekat dengan sekolah. Hanya beberapa menit saja dengan sepeda dan akupun sudah sampai.

  Sejujurnya, aku belum pernah masuk ke Community Center. Tapi karena hampir setiap hari melewati tempat itu, aku tidak punya kesulitan berarti ketika mencari tempat tersebut.

  Dekat dengan stasiun  tersebut adalah sebuah kawasan bisnis yang disebut MARINPIA (disingkat: MariPin). Menjelang sore, banyak sekali ibu rumah tangga yang berasal dari perumahan sekitar berbelanja untuk makan malam disana. Juga, keramaian sore di kawasan ini berisi para siswa yang baru pulang dari sekolah mereka. Untung ada MariPin, karenanya para siswa memiliki tempat untuk nongkrong atau semacamnya ketika pulang sekolah. Begitu pula diriku, aku biasanya berhenti di toko buku, tempat permainan, bahkan battling center di area tersebut.
[note: Battling center adalah area dimana anda bisa berlatih memukul bola baseball yang dilempar oleh mesin.]

  Setelah tiba di Community Center, aku parkir sepedaku di tempat parkir.

  Aku mencoba untuk mengamati sekitarku terlebih dahulu, tapi aku tidak bisa melihat Isshiki. Tapi masuk akal sih, kita kan tidak menyepakati secara spesifik waktunya.

  Kalau tahu begini, aku harusnya terima saja ajakannya untuk jalan bersama tadi...

  Mau bagaimana lagi, aku memang harus bertemu dengan Isshiki di tempat yang jauh dari sekolah karena aku tidak boleh ketahuan oleh Yukinoshita dan Yuigahama kalau aku membantunya. Menerima request yang berhubungan dengan Pengurus OSIS di depan Yukinoshita terdengar ‘tega’ kepadanya. Tapi, kalau menolak requestnya, maka aku tidak bertanggung jawab ke Isshiki. Oleh karena itu aku memutuskan untuk tidak melibatkan Yukinoshita. Tapi entah mengapa, aku merasa seperti mengkhianatinya. Kalau melihat situasi Klub Relawan saat ini, memilih jalan ini harusnya adalah pilihan yang terbaik.

  Aku mengambil kesimpulan tersebut dan duduk di depan tangga Community Center.

  Aku duduk saja disana dan melihat sebuah sosok keluar dari minimarket di seberang jalan, itu adalah Isshiki! Dia memegang tas belanjaan yang terlihat berat sekali. Dia lalu melihat ke arahku dan bergegas ke arahku.

  “Aduh maaf yaaaaaaaa sudah membuatmu menunggu. Aku tadi berbelanja sebentar...”

  Isshiki mengembuskan napas beratnya seperti merasakan juga kalau tas yang dibawanya cukup berat.

  “...Tidak, tidak masalah.”

  Ketika aku menjawabnya, aku mendekatinya dan menjulurkan tanganku kepadanya. Ketika kulakukan, entah mengapa Isshiki berusaha menghindari tanganku itu dan menatapku dengan aneh.

  “Huh?”

  “Apa-apaan ekspresi wajahmu itu? Bukankah bahasa tubuhmu  yang mengatakan kalau aku sebaiknya membawakan tas belanjaanmu itu karena terasa berat?”

  Mendengar itu, Isshiki menggosok-gosok rambutnya secara lembut dan memalingkan pandangannya dariku. Wajahnya terlihat memerah seperti kebingungan akan sesuatu.

  “Haa...Aah, bukan begitu, aku memang terlihat seperti ini setiap harinya...”

  Benarkah begitu? Bukankah dia setiap harinya melihat para pria seperti kuli kasar baginya, jadi yang kupikirkan tentangnya barusan memanglah wajar. Ini juga wajar jika melihat Tobe menjadi ‘office boy’ bagi dirinya selama ini.

  Isshiki seperti menjadi beku, namun dia seperti menyadari sesuatu dan mengambil jarak dariku.

  “Ha! Ataukah kamu ini sengaja ingin membuatku terkesan? Aduh maaf ya, memang tadi sudah berhasil membuat jantungku berdebar-debar, tapi kalau kupikir dengan logis, taktikmu itu tidak akan berhasil!”

  “Aah, begitu ya...”

  Berapa banyakkah tolakan yang harus kuterima dari gadis ini...? Bahkan penolakannya barusan ini terdengar lebih kasar dari sebelumnya.

  “Ya sudahlah, terserah kamu.”

  Aku memutuskan untuk tidak membahas kata-katanya barusan dan mengambil begitu saja tas belanjaan itu darinya.



  “Ah...Terima kasih banyak...”

  Isshiki meremas kedua lengan cardigannya dan membungkukkan kepalanya. Meski aku tidak bisa melihat ekspresinya seperti apa, tapi kesopanannya yang barusan itu membuatku merasa sedikit malu-malu.

  “...Tidak apa-apa. Ini sudah kewajibanku.”

  Jika dia terus memperlihatkan sikapnya yang seperti itu, lama-kelamaan dia akan mirip dengan Komachi ketika mengatakan “Terima kasih banyak Onii-chan, aku mencintaimu!”, sial! Tapi, tampaknya aku menyesali hal itu setelahnya.

  “Waaa! Sangat bisa diandalkan! Kalau begitu, tolong bantuannya untuk seterusnya yaaa♪.”

  Dia tersenyum sambil menaruh beberapa jarinya di depan dadanya.

  Aah, dan tas belanjaan ini mulai terasa lebih berat dari biasanya...Lagian, ini isinya apa sih?

  Karena tas belanjaan ini terlihat lebih berat dari biasanya, aku akhirnya melihat sebentar ke tas tersebut dan disana banyak sekali snack dan jus. Memang, untuk rapat semacam ini akan wajar jika kita membawa konsumsi atau semacam itu.

  Meski begitu, memilih snack apa yang akan kita beli bisa dibilang sebuah kegiatan yang sulit. Snack yang suaranya berisik ataupun aromanya menyengat juga bisa mengganggu orang lain. Oleh karena itu, aku ingin tahu snack macam apa yang dia beli.

  Fumu. Snack coklat berukuran sedang, permen rasa buah-buahan dan rice crackers...Yep, pilihannya bukanlah pilihan yang buruk. Dan yang terpenting, mereka memiliki bungkus yang sendiri-sendiri, dia seperti mendapat banyak poin dariku. Dengan begini, kamu tidak perlu menyiapkan piring dan semacamnya, juga kamu tidak perlu takut tanganmu akan kotor. Dan yang terpenting, tidak akan merepotkanmu untuk membersihkan bungkusnya ketika tiba saatnya pulang ke rumah.

  “Hoo, aku terkejut. Kau ternyata sudah memikirkan baik-baik apa yang kaubeli ya?”

  “Apa yang kau maksud dengan ‘terkejut’? Nih kuberitahu ya, aku ini orang yang memikirkan dulu sebelum bertindak. Aku juga membeli ini meski tahu kalau pihak Kaihin juga mempersiapkan hal serupa.”

  “Oh, kalau begitu bukankah pembelian ini tidak dibutuhkan? Maksudku mereka kan sudah menanggung konsumsi rapatnya. Kenapa kita tidak makan saja apa yang sudah disediakan oleh mereka?”

  “Kita tidak boleh begitu...”

  Dia menjawabnya dengan ekspresi serius.

  Memang, kuakui dia ternyata sudah mengkalkulasi ini semua dengan baik. Meski pihak lain sudah menyiapkan sesuatu, kita tidak bisa datang begitu saja dengan tangan kosong. Ya, kurang lebih begitu.

  Aku memang akan merasa terganggu jika kita kesini berstatus tamu. Tapi karena ini adalah dua kegiatan yang disponsori bersama, berarti kita memiliki posisi yang setara dengan mereka. Maka, kita harus mempertahankan hubungan setara itu sampai hal yang terkecil, yaitu snack.

  Bekerjasama dengan sekolah lain adalah masalah yang cukup mengganggu. Ini karena kegiatannya pasti berskala besar dan berarti pekerjaan yang banyak. Ini mulai menggangguku bahkan sebelum dimulai, yaitu membuat tas belanjaan yang berada di tanganku ini bertambah berat dari yang seharusnya.








x  x  x








  Atas undangan Isshiki, aku mulai melangkah masuk ke Community Center.

  Aku belum pernah mengunjungi Community Center, jadi sebenarnya apa yang mereka lakukan di dalam sana?

  Setelah masuk, di dalamnya seperti berada di sebuah kantor pemerintah dengan suasana dingin dan damai. Suasana yang membuatmu berpikir dua kali untuk berteriak keras-keras. Mungkin alasan utama menempatkan perpustakaan di lantai pertama adalah untuk itu.

  Aku lalu mengikuti Isshiki ke lantai dua dan suasananya berubah. Suara orang-orang yang mengobrol dan musik bisa kudengar.

  Tangganya ternyata bersambung dengan lantai di atasnya, dan musik yang kudengar tadi berasal dari lantai tiga.

  “Apa yang mereka lakukan disana?” Aku mengatakannya sambil melihat ke atas tangga dan begitu pula Isshiki.

  “Ada sebuah aula besar di lantai tiga. Tampaknya mereka mengadakan semacam acara Natal disana.”

  “Hooh...”

  Tampaknya mereka mengadakan semacam acara dansa atau klub yang semacam itu, aku bisa menyimpulkan itu karena bisa merasakan getaran lantai tiga yang bergetar dengan ritme tertentu.

  Fumu...Jadi pada dasarnya, ini mirip dengan gedung umum milik pemerintah. Tempat dimana warga lokal mengadakan aktivitas dan kegiatan event yang bermacam-macam. Jadi apakah perbedaan Community Center ini dengan gedung milik pemerintah? Apa skala kegiatannya?

  Aku tidak begitu familiar dengan desain gedung ini jadi aku berjalan sambil melihat kesana-kemari. Isshiki yang berjalan di depanku berhenti di depan pintu sebuah ruangan.

  Di atas pintu tersebut tertulis “Training Room”. Tampaknya mereka menyewa tempat ini untuk dijadikan tempat rapat.

  Isshiki lalu mengetuk pintunya.

  “Silakan masuk.”

  Ketika ada suara mempersilakan masuk terdengar, Isshiki mengambil napas kecil dan menaruh tangannya di pintu.

  Ketika pintu terbuka, suara ramai mulai terdengar keluar. Banyak sekali kursi dan meja, membuatmu merasa kalau ruangan ini semacam ruangan kelas di sekolah.

  “Terima kasih atas kerja kerasnya.”

  Isshiki mulai menebar sapaannya yang manis ketika dia masuk terlebih dahulu ke ruangan itu. Meski aku mengikutinya dari belakang, tidak ada tanda-tanda kalau keramaian orang yang mengobrol ini mulai mereda. Yang terpenting, tidak ada satupun orang yang menatapku. Orang-orang disini tampaknya sibuk dengan obrolan mereka masing-masing dan tidak punya ketertarikan terhadapku.

  Tapi Isshiki langsung disapa oleh salah seorang di grup, lalu dia keluar dari grupnya untuk menemuinya. Setelah kulihat baik-baik, orang yang memanggilnya adalah seorang pria yang memakai seragam SMA Kaihin.

  “Iroha-chan, disini.”

  “Aaah, selamat sore.”

  Isshiki melambaikan tangannya dan berjalan mendekatinya. Akupun secara alami mengikutinya dari belakang. Ketika kami sudah berada di depannya, pria yang memanggil Isshiki itu melihatku dengan ekspresi penuh tanda tanya. Lalu dia berbisik ke telinga Isshiki.

  “Siapa dia?”

  “Aah, dia sukarelawan yang akan membantu pekerjaan kasar kita.”

  Woi, penjelasannya tentang diriku cukup kasar! Tidak lupa itu juga terdengar olehku, Isshiki. Tapi dengan perkenalan semacam itu, si pria seperti mengatakan “ooh” dan mulai menatapku.

  “Saya Tamanawa. Saya adalah Ketua OSIS SMA Kaihin Sogo. Senang berkenalan denganmu!”

  “...Ah, senang bertemu anda.”

  Mendengar perkenalan yang formal dan sopan tersebut, aku kebingungan apakah aku harus memberitahu namaku atau tidak. Tapi, Tamanawa tampak tidak mempedulikan itu dan melanjutkan kalimatnya.

  “Saya sangat senang bisa membuat sebuah kegiatan bersama dengan SMA Sobu. Saya memikirkan kalau PARTNERSHIP ini akan memberikan efek SYNERGY dimana pada akhirnya akan menimbulkan RESPECT bagi kedua pihak.”

  ...Jangan langsung menghajarku dengan kata-kata begitu, gan!  Separuh dari kata-katanya tadi masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri. Meski begitu, tampaknya Tamanawa adalah orang yang mengorganisir rapat event Natalnya. Aku menyadarinya dari kata-kata yang dia keluarkan tadi.

  Karena posisi Tamanawa sebagai Ketua OSIS SMA Kaihin, membuat orang-orang di dekatnya mulai ikut dalam pembicaraan kita. Lalu, mereka memperkenalkan diri mereka masing-masing. Jujur saja, aku tidak bisa mengingat nama-nama mereka. Meski begitu, ketika kegiatan ini berakhir, kita tidak akan bertemu lagi, jadi kupikir aku tidak perlu capek-capek mengingat nama mereka di kepalaku.

  Aku menyerahkan situasi itu ke Isshiki, lalu mencari tempat duduk dan melihat Isshiki bersosialisasi dengan yang lainnya.

  Ketika sedang berjalan mencari kursi, kedua mataku melihat seseorang yang sedang menatapku dari kerumunan orang-orang tersebut. Orang tersebut mengedip-ngedipkan matanya karena kaget melihatku. Lalu, orang itu berdiri dan menuju ke arahku.

  “Oh, Hikigaya?”

  “...Oh.”

  Meski namaku dipanggil oleh orang yang tidak disangka-sangka, entah mengapa keringat dingin mulai membanjiriku.

  Gadis yang memakai seragam SMA Kaihin mendekatiku, dia berjalan sambil merapikan rambut keritingnya dengan jari-jarinya.

  Orimoto Kaori.

  Dia adalah teman sekelasku ketika SMP dan dia adalah gadis yang pernah kutembak waktu itu. Belakangan ini, kami bertemu secara tidak sengaja dan terlibat dalam situasi yang tidak pernah diduga-duga. Dan kejadian yang pernah terjadi di masa lalu dengannya adalah hal-hal yang membuat memori buruk di kepalaku.

  Ngomong-ngomong, Orimoto bersekolah di SMA Kaihin, bukan? Kalau dia ada disini artinya dia adalah pengurus OSIS SMA Kaihin, kah?

  Tampaknya, kecurigaan itu juga dialami olehnya. Dia lalu mengatakan sesuatu dengan nada terkejut.



  “Hikigaya, kamu pengurus OSIS ya?”

  “Tidak...”

  Ketika aku mengatakannya, Orimoto mengangguk.

  “Aah, begitu ya. Kalau begitu kita berdua sama. Aku disini karena diajak oleh temanku loh!”

  Ketika dia mengatakannya, Orimoto memeriksa ke arah sekitarku. Apa dia mencari seseorang?

  “Hikigaya, kamu sendirian?”

  “Yeah, seperti biasanya.”

  Mendengar jawabanku, Orimoto tertawa sambil memegangi perutnya.

  “Apa-apaan itu, itu lucu sekali!”

  “Tidak, bukan itu maksudku...”

  Tidak ada yang lucu disini!

  Meski begitu, karena Orimoto, aku merasa tidak begitu asing berada di keramaian ini. Meskipun ini adalah rapat antara dua OSIS yang berbeda, tampaknya mereka juga mengundang beberapa sukarelawan untuk membantu mereka.

  “Apa kamu adalah orang terakhir yang menjadi sukarelawan dari sekolahmu? Atau hanya perasaanku saja kalau jumlah kami kebanyakan di ruangan ini?”

  “Entahlah...?”

  Ini adalah pertamakalinya aku disini, jadi aku tidak terlalu menyadari situasi ruangan ini. Tapi ketika aku melihat ruangan ini dengan baik, aku hitung kalau siswa SMA Kaihin ada sekitar 10 orang. Dan siswa SMA Sobu ada sekitar...

  Huh? Dimana para pengurus OSIS kami...Ah disana. Mereka berkumpul di pojokan. Mengesampingkan Isshiki dan diriku, mereka ada satu, dua..., empat orang? Tidak seperti para siswa dari SMA Kaihin, jumlah kami tampak berbeda jauh.

  “Benar juga, jumlah kami tidak begitu banyak disini...”

  “Duh, melihatnya sekilas saja sudah tahu kok! Well, tapi itu tidak masalah sih.”

  Ketika dia mengatakannya, dia terlihat tidak berminat untuk melanjutkan pembicaraannya dan duduk di kursinya lagi. Isshiki lalu berjalan dan berdiri di sampingku. Isshiki lalu menatap ke Orimoto dan berkata.

  “Senpai, apa ada kenalanmu disana?”

  Kamu mengatakannya seperti bilang “kamu ternyata punya teman?”. Hentikan itu, Irohasu! Juga, bukankah kau harusnya pernah bertemu dengannya setidaknya sekali? Tapi, dia mungkin tidak mengingatnya karena posisinya agak jauh. Ketika aku mulai ragu harus menjawabnya apa, aku menemukan sebuah alasan yang bagus.

  “Yeah. Dia sekelas denganku ketika SMP dulu.”

  “Heeeeeh...”

  Meskipun Isshiki melihat kepadanya, dia tidak tampak tertarik untuk membahasnya. Dia lalu mengambil tas belanjaan tadi dan membagikan snack yang dia beli. Melihat itu, orang-orang dari SMA Kaihin juga membagikan snack dan minuman mereka.

  Tampaknya rapat akan segera dimulai.

  Para peserta rapat berjalan dan duduk di tempat mereka masing-masing. Pola tempat duduk ini membentuk huruf C.

  “Senpai, tolong duduk disini~”

  “Eh, aku di pojokan saja tidak apa-apa...”

  Meski begitu, Isshiki tidak mau melepaskan lenganku. Aku mencoba melepaskannya, tapi dia malah memegangku lebih kencang lagi. Apa-apaan ini? Caranya memegangku memang manis sekali, masalahnya aku tidak bisa melepasnya...

  “Ayolah, ayolah, ini mau dimulai looooh~”

  Dia malah menarikku lebih kencang lagi.

  “Oke, oke. Jangan kencang-kencang, seragamku nanti robek.”

  Mau bagaimana lagi, berapakali aku bilang akan duduk di pojokan, tampaknya ini tidak akan berakhir seperti yang kuinginkan. Kalau begitu, kursi yang di depannya banyak snacknya ini tampaknya bisa sedikit mengobati kekecewaanku. Aku menyerah saja dan duduk di samping Isshiki.

  Meski meja dan kursinya membentuk pola C, tampaknya satu-satunya kursi di tengah diduduki oleh Ketua OSIS SMA Kaihin, Tamanawa. Para siswa SMA Sobu duduk di sebelah kanan.

  Dan seperti yang Orimoto katakan, SMA Kaihin memang mendatangkan siswa yang lebih banyak dari kami. Jumlah mereka hampir dua kali lipat jumlah kami. Meski begitu, aku tidak merasa kalau itulah yang membuat perbedaannya terasa. Alasan utamanya mungkin karena mereka jauh lebih berisik daripada kami. Para siswa SMA Kaihin tampaknya sangat menikmati situasi disini daripada kami yang terlihat seperti mayat hidup.

  Kalau dilihat-lihat, disisi sana adalah pihak yang mengusulkan event. Bisa jadi situasi ini terjadi karena perbedaan motivasi. Semacam mereka adalah penggagas dan organizer utama event, sedangkan pihak kami hanyalah suporter atau membantu eventnya terlaksana. Dan ini tampaknya terlihat jelas dari cara mereka menyusun pola kursinya.

  Kalau begitu, tampaknya kekuatan utama lebih condong ke pihak Kaihin Sogo sebagai yang mengatur segalanya sedangkan SMA Sobu diatur sebagai support saja.

  Ketika Tamanawa melihat ke arah semua peserta rapat seperti mengkonfirmasi semua sudah duduk di tempatnya masing-masing, dia kemudian menepuk kedua tangannya.

  “Eeerm, sekarang kita mulai rapatnya. Mohon bantuannya.”

  Dia berbicara seperti sudah biasa melakukannya dan semua orang menundukkan kepalanya.

  Akhirnya, rapat dimulai.

  Tamanawa lalu memanggil satu orang dari SMA Kaihin dan orang itu berjalan menuju papan tulis.

  “Sama seperti sebelumnya, mari kita lakukan BRAINSTORMING.”
[note: Brainstorming adalah sebuah istilah pertemuan atau rapat dengan mempersilakan semua peserta rapat untuk memberikan idenya dan ditampung sebagai masukan. Sayangnya, di chapter 1 dikatakan Iroha sudah menghadiri rapat ini seminggu dan seminggu masih brainstorming!]

  Eh, apa-apaan itu? Itu terlihat keren! Apa aku bisa menggunakan skill semacam itu juga?

  Begitulah yang kupikirkan, tapi ini hanyalah sekedar brainstorming. Banyak definisi yang menggambarkan istilah itu, tapi pada dasarnya peserta rapat disini bebas mengeluarkan ide mereka.

  “Topik diskusi kita melanjutkan yang kemarin dan kami ingin mendapatkan beberapa IDEAS yang berhubungan dengan CONCEPT dan konten eventnya...”

  Sementara Tamanawa melanjutkan bisnisnya, pihak Kaihin Sogo mulai mengangkat tangannya satu-persatu, mereka tampaknya hendak memberikan pendapatnya.

   Aku mengamati mereka sejenak. Maksudku, begini. Memberikan idemu dimana kamu sendiri tidak tahu untuk apa datang kesini hanya akan membuatmu menjadi pengganggu. Bukannya aku hendak menghilang di pojokan dan kabur dari tugasku disini, aku hanya mencoba peduli!

  Lalu seseorang di seberang meja kami mengatakan ini.

  “Kalau kita mau mempertimbangkan selera siswa SMA, kita harus punya INNOVATIONS di sektor yang menarik MINDS para pemuda...”

  Fumu, begitu ya. Oke, bagus itu.

  Lagi, seorang siswa berbicara.

  “Kalau begitu, artinya kita harus mencari solusi WIN-WIN dengan pihak COMMUNITY agar bisa berjalan.”

  O-Oke. Well, kurasa aku paham.

  Sekali lagi, seseorang dari pihak mereka berbicara.

  “Kalau begitu, maka kita harus punya strategi yang mempertimbangkan COST PERFORMANCE. Jadi kita membutuhkan CONSENSUS dalam hal ini...”

  Y-Ya...Oke.

  Melihat rapat ini sampai saat ini, terlintas sesuatu di kepalaku.

  ...Apa-apaan rapat ini?



  Bukan hanya aku tidak tahu apa yang mereka bahas, akupun juga tidak tahu apa yang mereka katakan. Mungkinkah karena aku ini semacam idiot sehingga aku tidak paham?

  Masih diselimuti perasaan penuh tanda tanya, aku melihat ke arah Isshiki yang duduk di sebelahku. Dia tampak menganggukkan kepalanya sambil mengatakan “Whoa...” dengan ekspresi terkesan.

  Aku merasa buruk jika hanya aku yang tidak paham rapat ini, maka aku mencoba bertanya kepada Isshiki.

  “Isshiki, apa yang mereka bicarakan saat ini?”

  “Eh...? Entahlah?”

  ‘Entahlah?’, jangan bilang kalau kamu...

  Gadis ini tidak paham satupun yang mereka bicarakan dan dia masih melakukan ekspresi semacam itu? Aku melihatnya dengan ekspresi terkejut, tapi Isshiki tampaknya tidak mempedulikannya. Senyum kecilnya itu seperti berkata “Jangan khawaaaaatir, ini baik-baik saja.”

  “Bagaimana ya, pihak mereka itu sedang memberikan pendapat mereka.”

  “Hoohm...”

  Jadi tugas pihak sana adalah berpikir, kalau begitu pihak sini bertugas mengerjakan pekerjaan kasarnya...Well, kalau begitu, aku sendiri saja sudah cukup.

  Aku tidak pernah membenci pekerjaan yang sederhana. Mengulang-ulang pekerjaan yang sama, tanpa akhir, akan membuat jiwamu keropos. Tapi jiwaku memang sudah keropos sampai tidak tersisa sejak awal.

  Mmkay, kalau begitu aku lebih baik mendengarkan dahulu sampai aku tahu apa yang harus kulakukan. Tapi entah mengapa pembicaraan mereka tidak ada yang membahas ‘apa yang harus dilakukan’...

  Tamanawa yang memimpin diskusi ini tampaknya merasakan hal yang sama.

  “Semuanya, bukankah kita punya hal yang lebih penting dari ini...?”

  Ketika Tamanawa mengatakannya dengan nada yang berat, bulu kudukku serasa berdiri. Ekspektasiku terhadap Ketua OSIS SMA Kaihin memang tidak mengecewakan, sikapnya ini memang sangat mengagumkan. Semua peserta rapat tampak mengarahkan perhatian mereka kepadanya dan menunggu apa yang akan dia katakan.

  Lalu, Tamanawa menatap ke seluruh peserta rapat di ruangan ini dan menggerak-gerakkan tangannya seperti menggerakkan sebuah roda dan berbicara.

  “Kita perlu menggunakan LOGICAL THINKING ketika kita mencoba berpikir logis tentang suatu hal.”

  Bukankah itu sama saja? Berapa kali kau akan berpikir?




  “Kita perlu mempertimbangkan CUSTOMER SIDE dari view pelanggan.”

  Seperti kataku barusan, bukankah ini sama saja? Berapa banyak pelanggan yang kau inginkan?

  Aku merasa wajahku sedang memasang senyum yang kecut saat ini. Tapi semua orang tampak punya ekspresi “begitu ya...” dan menatap ke wajah Tamanawa dengan mata yang berbinar-binar.

  ...Ini buruk sekali. Ketua OSIS ini dan yang lainnya hanya mengikuti pola yang sama.

  Harusnya, ini adalah pertemuan dimana orang-orang yang memiliki tujuan yang sama dan memutuskan sesuatu. Tapi aliran rapat ini tampaknya tidak akan berubah dan terus mengalir seperti tadi.

  “Kalau begitu, kita harus mempertimbangkan OUTSOURCING juga.”

  “Tapi dengan METHODS kita saat ini, akan terasa sulit, dari sisi SCHEMATIC.”

  “Begitu ya. Maka, kita harus memikirkan kemungkinan RSCHD.”
[note: RSCHD adalah singkatan dari re-scheddhule alias jadwal ulang.]

  Apa-apaan RSCHD? Apa itu sebuah restoran yang menjual masakan lidah sapi?

  Sebuah inovasi yang mengalami INNOVATION! Sebuah diskusi dan negosiasi yang NEGOTIATION! Mencari jalan keluar yang menjadi SOLUTION! Kata-kata semacam itu terus berulang. Aku berpikir kalau ide mereka tidaklah HIP-HOP karena pikiran mereka sedang HOP-UP.
[note: Hop up dalam istilah slank amerika bisa berarti menggunakan narkoba.]

  Fuee...Kesadaranku seperti hilang entah kemana...aku merasa kesadaranku yang tidak seberapa itu sedang berjalan-jalan entah kemana.









x  x  x








  Dari mana kita datang, dan kemana kita akan pergi?

  Ini adalah hal yang ada di pikiranku tentang rapat ini. Rapat ini muncul dari mana dan maunya kemana?

  Rapatnya berakhir dengan kesimpulan kalau rapat belum memutuskan sesuatu.

  Tapi BRAINSTORMING memang sejenis dengan itu. Sebuah brainstorming adalah momen dimana kamu melemparkan semua idemu. Tujuannya adalah mencari sebuah jalan keluar. Jadi rapat ini tidak bisa dikatakan sia-sia juga.

  Ada momen dimana rapat ini menarik perhatianku dan kebanyakan saran berasal dari SMA Kaihin. Meskipun kenyataannya, pihak SMA Sobu tidak mengatakan apapun. Bahkan Ibu Ketua Isshiki tidak mengatakan apapun.

  Ngomong-ngomong soal Isshiki, tampaknya dia sedang terlibat pembicaraan serius dengan Ketua OSIS SMA Kaihin.

  Saat itu, aku tidak punya sesuatu yang bisa kukatakan, jadi aku melihat Isshiki dari kejauhan saja. Ketika aku sedang menatapnya, Isshiki melihatku sedang menatap dirinya dan permisi keluar dari grup tersebut untuk menemuiku.

  “Senpai, apa kamu sudah menangkap apa yang mereka bicarakan?”

  “Tidak sama sekali...Aku tidak ada bayangan apa yang mereka bicarakan di rapat tadi.”

  Isshiki mungkin bertanya apakah aku paham apa yang mereka diskusikan di rapat. Aku paham yang mereka lakukan, tapi tampaknya, akan terasa aneh kalau aku mengatakan paham yang mereka katakan di rapat tadi.

  Melihat ekspresiku ini, Isshiki lalu melanjutkan kata-katanya.

  “Aah, mereka memang mengatakan banyak sekali kata-kata sulit.”

  Well, sebenarnya tidak semua kata-kata tersebut sulit, tapi memang terlalu melenceng dari inti kalimatnya, dan itu membuat maksud mereka sulit untuk dipahami. Tapi perbedaan itu tampaknya menjadi masalah bagi Isshiki yang sedang tersenyum manis kepadaku.

  “Tapi ketika aku katakan ‘luar biasa’ dan ‘aku akan lakukan yang terbaik!’, mereka menanggapinya serius. Lagipula, mereka memberiku tugas untuk dokumentasi rapat ini dan untungnya aku bisa memahami tugas ini.”

  “Kalau kau begitu terus, suatu hari akan ada yang memanfaatkanmu...”

  Mungkin bukan sekarang, tapi entah kapan dia akan dimanfaatkan orang, dan ini membuatku khawatir. Hal-hal ini semacam lumrah jika terjadi ke pria tidak populer yang mudah sekali dihasut, lalu sebuah tragedi terjadi...Pria tidak populer biasanya hanya punya satu jenis pikiran, karena itulah mereka sangat mudah sekali untuk salah paham. Apa-apaan ini? Tapi kalau dipikir-pikir, pria tidak populer adalah pria yang luar biasa! Kalau begitu, kenapa mereka tidak populer? Itulah misterinya!

  Ketika aku memikirkan hal-hal tersebut, Isshiki seperti sedang memikirkan sesuatu.

  “...Tapi Senpai, bukankah kamu yang mencontohkan hal tersebut, ingat tidak? Seperti bagaimana menunjukkan seberapa pintarnya dirimu atau seberapa pedulinya dirimu terhadap orang lain.”

  Dia seperti hendak tersenyum ketika mengatakannya. Tepat ketika dia mengatakan ‘peduli orang lain’.

  “Jangan samakan aku dengan mereka. Aku bukanlah tipe orang yang mempedulikan orang lain. Aku adalah orang yang hanya mempedulikan diriku sendiri.”

  Orang yang peduli kepada orang lain adalah orang yang mampu menunjukkan perhatian mereka terhadap perkembangan orang lain. Mereka adalah orang-orang yang dulunya berasal dari bocah-bocah yang sudah dilatih untuk menunjukkan kemampuan mereka yang unggul dari orang lain. Mereka itu tidak jauh berbeda dengan kumpulan Chuunibyou.

  Di lain pihak, orang yang hanya peduli dirinya sendiri juga berasal dari bocah yang bermasalah juga.

  “Haa, aku tidak paham maksudmu. Ngomong-ngomong, pekerjaan kita sudah tiba, ayo kita mulai?”

  Isshiki lalu menunjukkan tumpukan dokumen yang dia bawa.

  Begitu ya. Jadi yang dia lakukan tadi tidak sekedar obrolan basa-basi, tapi dia bertanya tentang pekerjaan spesifik kita, SMA Sobu, dimana kita sendiri tidak menyumbangkan ide apapun ketika rapat tadi.

  Ada pula waktu dimana mengadakan rapat adalah hal yang sia-sia. Tidak akan ada satupun yang bisa diputuskan karena bisa diputuskan dari balik layar dengan mudah oleh orang-orang yang memiliki jabatan.

  Dia sekarang berada di area itu. Dia adalah gadis kelas satu yang manis dan diperlakukan dengan baik oleh mereka.

  “Kau tampaknya cukup dekat dengan mereka.”

  “Mmm. Ya, kurasa begitu.”

  Isshiki lalu menaruh jarinya di dagu dan seperti menemukan sesuatu, dia lalu tersenyum.

  “...Tunggu! Kaulah yang mengajariku itu, Senpai. Katamu gadis yang lebih muda dan sedang mencari pengalaman adalah gadis yang manis.”

  “Aku tidak ingat telah mengatakannya kepadamu.”

  Memang benar, aku mengajarinya banyak hal untuk mengambil keuntungan-keuntungan yang bisa dia peroleh dari jabatannya itu, tapi aku tidak mengingat betul pernah mengatakannya. Tidak, jika dipikir-pikir aku adalah Isshiki dan mendengar kata-kataku waktu itu, maka apa yang ada di pikiranku?...Sial, ini buruk sekali, aku sepertinya sudah melahirkan seekor monster?



  “Kalau begitu, kau bisa mengandalkan mereka. Kau tidak benar-benar butuh diriku disini, benar tidak?”

  “Aah, umm, sebenarnya...”

  Ketika aku bertanya kepadanya, Isshiki terlihat menunduk, dia ragu-ragu untuk menjawabnya. Dia tampak mengkhawatirkan sesuatu. Tapi, itu tidak pernah terjadi.

  Itu karena ada seseorang mengetuk-ngetuk meja ini.

  “Hei, Iroha-chan. Bisakah saya minta tolong untuk ini? Aku akan ambil pekerjaan besarnya.”

  Orang itu adalah Ketua OSIS SMA Kaihin, Tamanawa. Tampaknya dia ingin menambahkan sesuatu dengan dokumen yang Isshiki tunjukkan tadi. Dia kemudian memberikan Isshiki beberapa dokumen lagi.

  “Ah, oooke!”

  Isshiki menerimanya dengan gembira.

  “Saya percayakan ini padamu. Jika ada yang tidak kamu mengerti, tolong beritahu saya. Nanti akan kuajari bagaimana caranya.”

  Tamanawa tampak tersenyum sambil melambaikan tangan kepadanya yang sedang meninggalkannya.

  “Oke, bisa kita mulai?”

  Dia kembali ke sampingku, merapikan dokumen-dokumen tersebut, lalu menyerahkannya ke pengurus OSIS yang berada di dekatnya.

  “Tugas kita disini adalah mencatat dan mengorganisir notulen rapatnya. Oke, tolong kerjasamanya.”

  Meski dia mengatakannya dengan cara yang seperti itu, respon mereka sangat lemah. Motivasi adalah barang langka yang ada di pengurus OSIS SMA kita saat ini.

  Mau bagaimana lagi, memang kita harusnya kurang termotivasi jika mendapatkan pekerjaan. Tidak, kurasa logika barusan itu janggal.

  Tapi melihat pekerjaan kita hanyalah sebuah pekerjaan yang diberikan pihak lain, aku bisa paham mengapa pengurus OSIS kita tidak merasa nyaman dengan itu. Itu mungkin karena pekerjaan pengurus OSIS yang mereka bayangkan akan mereka dapatkan ternyata berbeda dengan kenyataan lapangannya.

  Aku juga mengambil beberapa dokumennya. Ada beberapa hal yang tertulis seperti rencana ke depan dan topik-topik yang sudah dibahas. Tampaknya pekerjaan kita hari ini hanyalah menyalin ini.

  Kami melakukan pekerjaan kami dengan diam.

  Lalu ada pengurus OSIS yang berdiri dan memberikan dokumen ke Isshiki.

  “Bu Ketua, ini sudah bagus?”

  “Ah, biar kulihat dulu.”

  Isshiki dengan dokumen yang ada di tangannya tampak lemas ketika memeriksanya. Si pria yang memintanya melakukan itu lalu berkata.

  “Aah, soal ini...”

  “Ya...”

  “Tidak, tidak perlu, lupakan kata-kata saya tadi...”

  Pria yang memiliki ‘tampang’ seperti anak kuliahan itu seperti menelan kata-katanya sendiri dan melihat ke arah lain. Dia lalu mengatakan ‘terima kasih’ dan kembali ke kursinya.

  Ketika aku menatapnya dari tadi seperti pernah melihatnya entah dimana, Isshiki menyadari apa yang kupikirkan dan berkata kepadaku.

  “Dia adalah Wakil Ketuaku.”

  Ketika dia memberitahuku, aku menyadari itu. Aah, dia siswa kelas dua kalau tidak salah...Memang, aku tidak tahu namanya, tapi aku memang pernah melihatnya di lantai yang sama dengan kelasku. Jadi dia Wakil Ketua OSIS kita ya? Kamu memang bisa hapal nama Ketua OSISmu tapi belum tentu untuk yang lainnya karena popularitas mereka sendiri tidaklah begitu besar.

  Tapi, seangkatan denganku ya? Itu menjelaskan mengapa Isshiki berbicara kepadanya dengan nada yang sopan.

  Fumu. Memang ini situasi yang kompleks. Anak buahnya berada satu angkatan di atasnya membuatnya sulit untuk bekerja, tapi memiliki atasan yang lebih muda tidak akan membuatmu merasa mudah. Dulu ketika aku bekerja sebagai karyawan toko paruh waktu, pegawai barunya ternyata lebih tua dariku dan aku sulit sekali bekerja sama dengannya...Kau harus mempertimbangkan untuk memperlakukannya dengan sopan ketika memberinya instruksi.
[note: Di beberapa volume novel Oregairu Hachiman pernah disebutkan bekerja paruh waktu sebagai karyawan swalayan ketika liburan musim panas kelas satu SMA. Tapi Hachiman memutuskan berhenti di tengah jalan.]

  Meski Isshiki dikagumi oleh orang-orang yang lebih tua darinya, tampaknya dia tidak mendapat pengecualian akan hal itu.

  “Tampaknya situasimu cukup sulit juga.”

  “Aah...Kupikir aku juga tidak terlalu disukai. Tapi akan selalu seperti ini untuk pertama-tama. Nantinya akan terbiasa, betul tidak?”

  Dia tersenyum dengan ekspresi provokatif ketika mengatakannya.

  Memang benar, pada awalnya akan sulit dan berakhir dengan biasa-biasa saja.

  “Senpai?”

  Ketika dia mengatakannya, aku langsung menyadarkan diriku. Ketika itu, Isshiki menatapku dengan wajah yang penuh dengan tanda tanya. Tanganku seperti berhenti bekerja. Tanganku kemudian otomatis menulis sesuatu untuk menghilangkan suasana aneh ini.

  “Meski begitu, sampai kapan kita akan disini?”

  “Kurasa sudah saatnya...Ini sudah waktunya bagi kita untuk pulang ke rumah, kupikir begitu.”

  Ketika Isshiki mengatakannya, aku melihat ke arah jam dinding dekat pintu masuk. Ini memang waktu dimana aktivitas klub harusnya usai dan mulai pulang ke rumah.

  Pintu yang berada di bawah jam dinding tersebut terbuka.

  “Oh, kalian tampaknya sedang bekerja keras.”

  Wanita yang berbicara tersebut sedang memakai jubah putih, dan tidak lain adalah Hiratsuka-sensei. Dia lalu merapikan rambut panjangnya dan berjalan ke arah kami dengan suara highheelsnya yang berisik.

  “Sensei.”

  Kenapa orang ini ada disini...? Seperti melihat tanda tanya di wajahku, Sensei menjawabnya.

  “Entah mengapa, aku diserahi untuk mengawasi kegiatan ini...Mau bagaimana lagi. Mereka memberiku pekerjaan ini kepada guru muda memang membuatku mendapat masalah tambahan.”

  Begitu ya. Sensei memang muda, sih...Entah mengapa, aku terus melihat ke arahnya.

  “...Kamu sendirian, Hikigaya? Dimana Yukinoshita dan Yuigahama?”

  Dari nadanya, tampaknya dia mengasumsikan kalau aku ada disini, maka mereka berdua yang ada di Klub akan ada disini juga. Aah, ngomong-ngomong, Isshiki memang pernah mengatakan kalau Sensei adalah orang yang menyuruhnya untuk melakukan ini...

  Dengan kata lain, request Isshiki ini memanglah rencana darinya, termasuk menjadikan request ini sebagai kegiatan Klub Relawan. Memang benar, jika ini klub yang lama, maka request ini akan diterima oleh Klub Relawan sepenuhnya.

  Tapi, klub sudah berbeda saat ini.

  “Aah, tidak, saya disini membantu atas nama pribadi.”

  Aku lalu memalingkan pandanganku ke arah dokumen-dokumen di tanganku ini.

  “Fumu...”

  Sensei melihat ke arahku. Aku tidak menjelaskannya lebih lanjut dan hanya menggerak-gerakkan tanganku.

  “...Well, itu tidak masalah.”

  Sensei mengatakannya sambil melihat ke arahku dan Isshiki.

  “Meski begitu, Hikigaya dan Isshiki ya...? Pasangan yang sangat menarik.”

  “Apa maksud anda?”

  Terlibat masalah bersama-sama bukanlah hal menarik bagi kami. Isshiki tampaknya memiliki ekspresi yang sama denganku. Eh, kalau dia merasa tidak menarik karena harus bersamaku, bukankah ekspresinya barusan terlihat sangat kejam, Irohasu...?

  Hiratsuka-sensei melihat wajah kami dan tertawa.

  “Oh tidak,tidak apa-apa...Ngomong-ngomong, ini sudah saatnya. Tinggalkan pekerjaan kalian untuk pertemuan selanjutnya dan pulanglah ke rumah. Pihak lainnya juga sudah bersiap-siap untuk pulang.”

  Diberitahu seperti itu, aku lalu melihat ke arah siswa SMA Kaihin. Mereka tampak bersiap-siap untuk pulang.

  “Saya pikir begitu. Ayo kita bersiap-siap untuk pulang juga?”

  Ketika Isshiki mengatakan itu ke pengurus OSIS yang lain, mereka kemudian membereskan mejanya masing-masing. Isshiki mengatakan itu dengan pelan, mungkin sungkan mengatakannya dengan keras di depan Sensei. Lalu dia berbisik di telingaku.

  “Aku menerima ajakan makan malam bersama para Pengurus OSIS SMA Kaihin. Senpai, kamu tidak perlu menungguku dan bisa pulang lebih dulu.”

  Mereka bahkan tidak menawari diriku untuk ikut makan malam dengan mereka, bukan begitu...? Itu sangat berat di dadaku. Dia tampaknya memahami hal itu sehingga mengatakannya secara pribadi.

  “Oke, kalau begitu aku akan pulang duluan.”

  “Ya. Aku tunggu kehadiranmu besok, Senpai.”

  Isshiki kemudian membungkuk ketika dia mengatakan itu, lalu aku berjalan menuju pintu keluar. Sebelum melewati pintu, aku lupa bertanya kepadanya.

  “Aah, benar. Apa besok akan mulai di waktu yang sama?”

  “Ya, seperti biasanya.”

  “Begitu ya. Oke.”

  Waktu rapatnya memang dirancang untuk mengantisipasi perjalanan dari SMA Kaihin dan SMA Sobu akan memakan waktu. Kalau begitu, kami punya banyak waktu luang sebelum pertemuan dimulai.

  Sambil memikirkan aku harus menghabiskan waktu luangku itu dengan kegiatan apa, aku kemudian meninggalkan Community Center.









x  x  x









  Apa itu kebahagiaan, kalau boleh kujawab?

  Jawabannya adalah kotatsu.

  “Ah, Onii-chan. Selamat dataaaang.”

  Hari yang melelahkan telah usai ketika aku sampai di rumah, dan di ruang keluarga terdapat Komachi. Dia tampak sedikit mengantuk dari kelopak matanya. Tampaknya dia tertidur di kotatsu.

  Setidaknya, alat ini seperti terlahir kembali...Alat reproduksi dari Iblis. Kotatsu adalah alat yang memproduksi orang-orang tidak berguna. Aku bahkan punya rencana untuk mengirimkan banyak sekali kotatsu ke musuh-musuhku ketika musim dingin tiba, dengan begitu aku akan mudah menaklukkan mereka.

  “Komachi, jangan belajar di kotatsu. Kau akan ketiduran dan terkena flu. Kotatsu hanya akan mengubah orang baik menjadi orang tidak berguna.”

  Ketika aku mengatakannya, Komachi menatapku dengan ekspresi yang penuh sarkasme.

  “Tunggu dulu, itu bukanlah sesuatu yang bisa kau katakan sementara kau sendiri mengatakan itu sambil duduk nyaman di kotatsu...”

  Hahaha, apa yang kau katakan, Komachi-chan? Aku tidak sedang duduk nya....Whoaa! Aku ternyata sudah duduk di kotatsu tanpa aku sadari!?

  Hanya becanda. Aku hanya melakukan rutinitas becanda dengan Komachi sambil duduk di kotatsu.

  ...Mfmmeoow.

  Dengan berakhirnya hari yang melelahkan ini, hangatnya kotatsu seperti menghilangkan dingin yang kudapatkan dari suasana jalanan ketika malam tiba. Ketika aku berusaha meluruskan kakiku, sepertinya kakiku menabrak sesuatu yang lembut.

  Ketika aku melakukannya, sesuatu yang lembut itu seperti menempel di kakiku. Benda macam apa ini...? Mungkinkah ini kaki Komachi? Aku lalu melihat ke arah Komachi dan dia juga menatap ke arahku, dia hanya bisa tersenyum kecil.

  Memikirkan kalau dirinya itu ingin kedua kaki kita saling menyelimuti satu sama lain di bawah kotatsu...Tampaknya, belakangan ini adikku agak sedikit aneh. Apa-apaan ini? Ini sangat memalukan...! Dasar gadis penggoda!

  Aku berusaha mendorong kakinya untuk berhenti melakukannya. Akhirnya, benda yang lembut itu pergi entah kemana.

  Lalu, sesuatu berjalan keluar dari kotatsu. Itu adalah kucing kami, Kamakura. Tampaknya, barusan itu bukanlah kaki Komachi, tapi Kamakura. Kenapa sih kucing suka menggunakan kaki kita sebagai bantal?

  Ketika Kamakura meninggalkan Kotatsu, dia meregangkan badannya dan terlihat kecewa. Apa-apaan dia barusan? Dia seperti orang tua yang baru keluar dari sauna.

  Ketika dia melihat ke wajahku, dia seperti kesal. Dia pasti kesal karena aku mendorongnya keluar memakai kakiku. Ataukah karena kakiku bau? Yang terakhir itu membuatku khawatir, jadi tolong hentikan reaksimu itu, oke...?

  “Onii-chan, kamu menatap Kaa-kun dengan tajam. Apa ada sesuatu?”

  “Tidak ada apa-apa...”

  Meskipun Kamakura terlihat baru keluar dari kotatsu, tampaknya di luar masih terasa dingin sehingga dia melompat ke kaki Komachi dan tidur disana. Yang dia lakukan hanyalah tidur sepanjang sore, dan sekarang dia akan tidur lagi? Menjadi kucing memang enak. Aku ingin hidup seperti itu.

  Er, benar juga. Melihat ke arah Komachi membuatku teringat akan sesuatu.

  “Heei, Komachi. Apa maksudmu dengan ini?”

  Aku keluarkan kertas yang kusimpan di saku seragamku sejak pagi.

  “Eh? Bukankah sudah tertulis dengan jelas.”

  “Hoh...”

  Jadi dia memang ingin diriku membelikannya rumah...? Apa ini benar-benar adikku?



  Dia tampak tidak mempedulikan komplainku dan bermain-main dengan Kamakura.

  ...Well, jika dibahas lebih jauh, pesan di surat ini memang agak memalukan. Aku akan gunakan daftar ini ketika memikirkan untuk memberi hadiah ke Komachi di lain hari.

  Kami akhirnya menghabiskan waktu dengan berdiam diri tanpa membuat banyak percakapan.

  Tiba-tiba, Kamakura berdiri. Dia menggaruk telinganya dengan kakinya, setelah itu dia meninggalkan ruang keluarga. Dia menuju pintu depan rumah.

  Tampaknya, ibu kami baru saja pulang. Kamakura tampaknya sangat luar biasa ketika berurusan dengan bertemu ibuku atau Komachi saat mereka pulang. Ngomong-ngomong, dia tidak pernah mau menemui diriku dan ayahku ketika pulang ke rumah.

  Ketika itu, terdengar pintu depan terbuka. Suara langkah kaki menggema ketika mereka naik ke tangga dan muncullah di ruang keluarga, ibu kami. Kamakura terlihat berada di belakangnya.

  “Aku pulaaang. Aaah, lelahnya.”

  Ibuku menaruh tasnya di lantai dan meniup kopi yang dia beli di perjalanan pulang, tampaknya itu kopi yang dijual di kafe. Komachi dan diriku menyapanya.

  “Selamat datang, maaaaaa.”

  “Ah, selamat datang. Dimana ayah?”

  Kalau ayah juga bersamanya, maka aku ingin meminta uang kepadanya untuk membeli hadiah Komachi, tapi ibuku malah menjawabnya dengan ekspresi terkejut.

  “Eh, entahlah?”

  “Maksudnya?”

  Hei, hei, ibu? Kau kan istri dari ayahku? Kau harusnya setidaknya tahu dia dimana? Atau kau ini memang tidak tertarik membahas suamimu itu?

  “Di bulan-bulan seperti ini, dia tidak bisa begitu saja pulang ke rumah karena dia baru saja mengacaukan beberapa agenda bisnisnya tempo hari, mungkin? Ibu saja bisa pulang karena membawa pekerjaan kantor ibu untuk dikerjakan disini.”

  Hmm, memang alasannya cukup wajar. Pekerja kantoran pada musim-musin ini memang sangat sibuk, bukan begitu? Mustahil aku bisa mengerjakan pekerjaan ketika Natal sudah dekat, serius ini. Ketika dewasa, aku ingin menjadi seorang ayah yang menghabiskan waktunya dengan keluarga ketika Natal. Aku pasti tidak ingin bekerja. Ketika aku berusaha memperkuat keinginanku itu, ibuku mengatakan sesuatu.

  “Ah benar juga, Hachiman. Kamu kan senggang, benar tidak? Pesankan paket pesta, dan juga kue untuk Natal ya.”

  “Ahn?”

  Kenapa harus aku? Dan lagi, aku sendiri belum mengatakan kalau diriku senggang apa tidak? Jawaban ‘Ahn’ tadipun juga tidak terdapat satupun huruf membentuk kata ‘oke’.

  “Ibu biasanya meminta Komachi untuk melakukannya, tapi tampaknya tahun ini tidak bisa seperti itu.”

  “Aah, tentu. Berikan aku uangnya kalau begitu.”

  Kalau itu alasannya, maka aku bersedia melakukannya. Sampai saat ini, aku benar-benar tidak menyadarinya, tapi ketika dulu aku hendak menghadapi ujian, Komachi mungkin melakukan semuanya untuk kami. Sebenarnya, sampai sekarangpun pekerjaan di rumah ini memang ditangani oleh Komachi. Setidaknya, kali ini biarkan aku yang melakukannya.

  Ketika mendengar jawabanku itu, Komachi lalu berbicara.

  “Komachi bisa melakukannya kok.”

  Tapi ibuku malah tersenyum dan melambai-lambaikan tangannya.

  “Itu tidak apa-apa. Kita semua sudah memberikan banyak sekali pekerjaan sebelumnya kepadamu, Komachi. Setidaknya, biarkan Onii-chanmu yang melakukan.”

  Tidak, salah itu. Itu benar-benar salah. Aku sebenarnya selama ini sudah berniat untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Tapi entah mengapa ketika sudah membulatkan tekadku, Komachi sudah menyelesaikannya untukku.

  Mempunyai adik perempuan yang berkompeten adalah sebuah berkah dan juga kutukan, tapi ibuku tampaknya tidak tertarik membahas sikapku ini dan dia mengambil dompetnya di tas.

  “Ah, ibu lupa ambil uang di ATM tadi. Kalau besok tidak apa-apa?”

  “Oke.”

  Setelah aku menjawabnya, ibuku mengatakan terima kasih sambil memijiti bahunya, setelah itu dia meninggalkan ruang keluarga.

  Melihat hal tersebut, Komachi berkata.

  “Dia harusnya tidak perlu mengkhawatirkan Komachi.”

  “Well, dia hanya melakukan pekerjaannya, yaitu memberikan cinta dari orang tua. Jangan khawatirkan itu dan fokus saja dengan belajarmu.”

  Ketika aku mengatakannya, Komachi terlihat kaget. Lalu dia tertawa dan berkata.

  “Mmm, mendengar Onii-chan mengatakan itu terdengar agak...”

  “Ah, lupakan saja tadi. Aku tidak tahu harus bilang apa...”

  Aku hanya berusaha membuatnya fokus ke belajarnya saja, tapi dari sudut pandang siswa yang akan menghadapi ujian, itu memang kata-kata yang terdengar melelahkan.

  Memberitahu orang untuk memberikan yang terbaik sementara yang mereka lihat sendiri adalah dia memang sedang melakukannya, adalah hal yang seharusnya tidak perlu dikatakan. Dan yang terpenting, diberitahu oleh orang yang tidak pernah terlihat belajar keras memang terlihat mengganggu.

  Jadi bagaimana caraku untuk membuatnya senang? Ketika aku memikirkannya, Komachi tersenyum.

  “Onii-chan, kau hanya perlu mengatakan ‘aku mencintaimu’ pada saat seperti ini.”

  “Oh begitu ya. Aku mencintaimu, Komachi.”

  “Meski Komachi tidak merasakan adanya hal itu, tapi terima kasih Onii-chan!”

  “Kata-katamu tega betul...”

  Tiba-tiba setetes air mata jatuh dari mataku. Baru saja, sebagian dari diriku yang bernama ‘Onii-chan’ sedang terluka.

  Komachi lalu tersenyum dan berdiri. Tampaknya dia akan pergi belajar di kamarnya.

  “Oke! Kurasa ini cukup untuk menyegarkan suasana.”

  “Aku cukup senang mendengarnya...”

  “Onii-chan, kau juga berusahalah untuk mengganti suasana hatimu menjadi lebih baik, oke? Seperti, jika suasana hatimu memburuk, sebaiknya kamu mencoba memalingkan perhatianmu ke sesuatu yang lain, tahu tidak?”

  “Itu...Well, yeah, benar juga.”

  Itu hanyalah alasan untuk melarikan diri, benar tidak? Aku mencoba menegaskan hal itu.





  Entah mengapa, ketika pria itu memang sengaja memalingkan pandangan matanya darinya, aku sendiri seperti tidak mampu memberitahunya.








x Chapter II | END x







  Apa yang membuat Hachiman tidak ragu bersikap kepada Iroha dan terlihat akrab karena Hachiman menganggap Iroha adalah gadis yang targetnya jelas. Menurut Hachiman, Iroha ini menyukai Hayama, dan Iroha tahu kalau Hachiman mengetahui hal tersebut. Jadi, tidak akan ada salah paham, Iroha tidak mungkin menaruh hati padanya. Setidaknya, itulah yang ada di kepala Hachiman.

  ...

  Kemungkinan besar, yang mengajak Kaori sebagai sukarelawan event adalah Tamanawa. Karena di vol 11 chapter 6, Tamanawa ternyata menyukai Kaori.

  ...

  Kita semua pasti tahu kalau antara Kaori dan Hachiman pernah terjadi sesuatu di SMP. Iroha sendiri tidak pernah melihat ada orang yang berbicara kepada Hachiman dan mengaku teman SMP-nya. Juga, para pengurus OSIS yang hadir disana juga tidak ada satupun yang mengenali Hachiman sebagai teman satu SMP atau Senpai waktu SMP dulu. Jika tiba-tiba ada yang kenal Hachiman dan mengaku satu SMP dengannya, patut dipertanyakan, setidaknya...Ada apa dengan Hachiman sehingga dia ada di SMA Sobu?

  ...

  Nyonya Hikigaya pulang terpisah dengan suaminya, juga tidak tahu keberadaan suaminya. Artinya, kemungkinan besar suami-istri ini bekerja di kota yang berbeda, dan Kota Chiba merupakan titik tengah alias tempat terdekat yang lokasinya diantara tempat mereka berdua bekerja.

  Juga ini membuktikan, kalau Nyonya Hikigaya adalah orang paling berpengaruh di keluarga.

  ...

  Pria yang berusaha memalingkan pandangannya, monolog di akhir chapter.

  Pria tersebut adalah Hachiman, dimana di vol 9 chapter 0 Hachiman terus berusaha memalingkan wajahnya dari Yukino, tapi image wajah Yukino selalu terbayang di kepalanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar